Oleh Alfaqir Nuuihya 
Ibu Pemerhati Sosial


Memasuki 2024, Indonesia dihadapkan dengan ketidakpastian ekonomi. Perusahaan kecil hingga besar, hampir di seluruh sektor, perusahaan konstruksi, keuangan, dan lain-lain terindikasi akan melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya.

Dengan alasan yang relatif serupa, ketidakmampuan menghadapi resesi dunia, bahkan berkembangnya teknologi, seperti penggunaan AI yang mampu menggantikan penggunaan pekerja, menjadi alasan banyaknya perusahaan memutuskan PHK. Hal ini membuktikan negeri ini tak mampu menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan kesejahteraan rakyat. (CNBC Indonesia, 29/12/2023)

Akibat resesi, permintaan barang dan jasa disinyalir menurun, sehingga perusahaan harus mengurangi biaya produksi. Fenomena ini pun nyatanya terjadi pula di sekitar penulis. Sebuah perusahaan memutuskan kontrak kerja dengan seluruh karyawan, meski dengan iming-iming diberikan sejumlah pesangon.
Meskipun faktanya, pesangon yang diperoleh jauh dari ketetapan, hanya 0,5%.

Unjuk rasa dilakukan, meski merupakan hal yang percuma. Perusahaan memiliki cuan untuk bisa membungkam hukum sehingga para karyawan dibuat sadar, tidak ada yang bisa dilakukan oleh buruh kecil selain hanya bisa nerimo. Karyawan pun menyadari, perusahaan melakukan PHK besar-besaran karena enggan mengalami kerugian. 

Pada akhirnya, jumlah pengangguran di Indonesia akan terus mengalami peningkatan. Sangat bertolak belakang dengan apa yang selalu digembar-gemborkan pemerintah, yang katanya akan menciptakan lapangan pekerjaan yang mampu menghapuskan pengangguran dan salah satu upaya untuk mencegah kemiskinan. 

Sekalipun lapangan pekerjaan itu ada, perusahaan mayoritas milik swasta atau asing, bukan milik negara. 

Para korporat memiliki wewenang untuk merekrut pekerjanya dari negara asal mereka. Kalaupun ada rakyat kita yang menjadi bagian dari perusahaan tersebut maka itu hanya sedikit dan tak lebih hanya sebagai buruh rendahan, tidak mendapat jabatan strategis. 

Di sisi lain, utang luar negeri yang berbasis riba, yang digaungkan untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia nyatanya omong kosong belaka, bahkan membawa kehancuran dalam setiap aspek, bukan hanya ekonomi. 
Begitulah buruknya ekonomi kapitalis.
 
Investasi dikuasai oleh asing, produk lokal kalah bersaing, pengusaha hanya memikirkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Perusahaan hanya berorientasi bagaimana cara menghemat biaya tanpa memikirkan dampak buruknya bagi para pekerja dan keluarganya. 

Di negara kapitalis, pihak asing sebagai pemilik modal menjadi hal biasa dan bebas mengelola SDA. Akhirnya rakyat tidak punya kesempatan untuk mengelola SDA. Bahkan betapa banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan industri, sehingga membuat petani terpaksa harus menjelma menjadi buruh kasar. 

Pengusaha yang bersifat arogan dan egois didukung oleh pemerintah yang berwatak kapitalis. Pengusaha lebih mementingkan bagaimana bisnisnya bertahan tanpa memikirkan dampak negatif bagi para pekerjanya. Pada akhirnya kemiskinan semakin pekat mewarnai negeri ini, akibat meningkatnya jumlah rakyat miskin. Ketimpangan sosial merata di seluruh penjuru, bahkan depresi mengintai setiap individu. 

Negara pun abai dalam menjaga dan melindungi rakyat, bahkan dalam menyediakan lapangan pekerjaan pun tidak mampu. Lebih parah lagi, UU Ciptaker adalah salah satu wujud bahwa pemerintah memuluskan jalan bagi para pemilik modal, meski lagi dan lagi harus mengorbankan rakyat sendiri. Negara betul-betul menjadi regulator bagi para pemilik modal. 
Kondisi tersebut sangat berbeda dengan Islam. 

Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Ekonomi Islam mampu menjamin kesejahteraan dan keamanan rakyat. Lapangan pekerjaan memadai, negara memiliki SDM yang unggul, bahkan bisa mengimbangi kemajuan teknologi. Bahkan dalam Islam, SDA sebagai kepemilikan umum tidak boleh ada campur tangan asing atau swasta dalam pengelolaannya. 

Lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan rakyat, adalah masalah yang krusial bagi Islam. Negaralah yang harus menjaminnya. Di dalam Islam, mencari kekayaan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan atau untuk kebanggaan, tetapi justru untuk mengatur roda ekonomi yang merata sesuai ketetapan Islam.

Dengan ketangguhannya, ekonomi Islam mampu menyelesaikan persoalan PHK sampai ke akarnya. Namun, kita pun tetap membutuhkan institusi negara untuk menjalankan sistem ekonomi Islam tersebut. Institusi yang mampu menjalankan syariat Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan. 

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم