Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK


Maju mundurnya suatu negara salah satunya ditopang dari kualitas pendidikannya. Banyak negara yang kagum dengan kemajuan Jepang misalnya, itu diawali dari perbaikan kualitas pendidikannya. Pascakekalahan Negara Sakura tersebut di Perang Dunia II, tak lama dari itu reformasi pendidikanlah yang pertama kali diperhatikan. Daya dukung demi majunya pendidikan tentu menjadi prioritas, tak terkecuali dana pendidikannya.

Program Indonesia Pintar (PIP) adalah salah satu instrumen kebijakan dukungan dana pendidikan di Indonesia. Periode 2023, bantuan untuk jenjang SD, SMP, SMA, SMK itu dilaporkan oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim telah 100 persen dari total anggaran Rp9,7 triliun dibagikan kepada 18.109.119 siswa.

Tahun ini, dilaporkan bahwa sasaran penerima PIP akan ditambah sebanyak 567.531 pelajar SMA dan 99.104 pelajar SMK. Bahkan besaran penerimaan bantuannya pun naik menjadi Rp1.800.000 dari yang sebelumnya Rp1.000.000. Mas Menteri berharap dengan semangat Merdeka Belajar, kolaborasi antara pihak Kemendikbudristek dari unsur nasional, Pemda, dan satuan pendidikan dapat terjalin baik demi teraihnya pemerataan dan perbaikan kualitas pendidikan. (Republika, 26/1/2024)

100 Persen Penyaluran, Bukan 100 Persen Jumlah Peserta Didik

Pencapaian bantuan biaya pendidikan hingga 100% memang sudah seharusnya dilakukan. Ini tentu butuh diapresiasi. Namun kita juga harus ingat, yang dimaksud tuntas tersebut bukan tuntas membiayai keseluruhan dari peserta didik yang membutuhkan uluran bantuan yang ada di negeri ini. Terlebih dari keseluruhan generasi yang masih dalam usia sekolah.

Terlebih merujuk dari filosofi nama kebijakannya pun, tentu berbeda antara pembiayaan dan bantuan. "Pembiayaan" itu artinya 100 persen dari semua kebutuhan bidang pendidikan di-handle oleh negara. Sementara "bantuan" itu filosofinya pun sekadar untuk membantu terlaksananya proses pendidikan, tanpa dipastikan cukup atau tidaknya.

Bayangkan 1 juta rupiah dibagikan untuk satu tahun, artinya sebulan kurang lebih 84 ribu rupiah. Di sekolah-sekolah negeri, SPP memang gratis, tapi hal itu tidak mencukupi baik untuk kebutuhan peralatan tulis; pengadaan tugas-tugas; buku bahan ajar; seragam, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Quota internet untuk kelancaran KBM (kegiatan belajar mengajar). Belum lagi jika jarak rumah dengan sekolah yang tidak dekat tentu butuh biaya transportasi juga. Lantas apa kabarnya untuk yang sekolah di swasta? Bagaimana pula dengan mereka yang tidak terjaring PIP padahal nyatanya mereka pun berasal dari keluarga prasejahtera. 

Apalagi jumlah keluarga rentan miskin, miskin, hingga miskin ekstrem di negeri ini setiap saat terus bertambah. Mereka dengan ayah/orang tua yang mengalami PHK jumlahnya pun tak bisa dibilang sedikit, justru terus meningkat. Iklim usaha bagi orang tua mereka kini terasa demikian menghimpit. Sementara beban hidup keluarga bukan hanya urusan pendidikan anak, ada pangan, sandang, papan, juga urusan kesehatan dan lainnya. Ini secara mikro alias problem di kalangan individu rakyat.

Problematik di level makro yang menyentuh urusan sarana prasarana pendidikan, baik  kuantitas ataupun kualitas menjadi PR yang hingga kini sulit dituntaskan. Layanan pendidikan di wilayah terpencil kerap membuat miris. Ketimpangan pendidikan demikian sulit untuk diratakan. Terbatasnya anggaran bidang pendidikan tampak menjadi persoalan sistemik yang menjadi salah satu penyebab karut marutnya ketimpangan pembiayaan. 

Belum lagi dengan masalah korupsi yang mengiringi kemana arah aliran dana. Di mana ada dana mengalir, di situ potensi korupsi membersamai. Bahkan untuk urusan PIP saja, korupsi tak absen dari perjalanannya. Selama tahun 2022 saja setidaknya 35 dugaan kasus penyelewengan dana pendidikan dilaporkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). 

Problem Lain Dunia Pendidikan 

Faktanya problem dunia pendidikan itu bukan melulu soal dukungan dana. Untuk meraih kualitas pendidikan juga dibutuhkan kurikulum dan SDM pendidiknya yang mumpuni.

Dari sisi kurikulum didapati pergantian yang terus terjadi sepanjang masa sejak negeri ini merdeka terhitung 11 kali perubahan. Istilah ganti menteri ganti kurikulum menjadi persoalan tersendiri baik bagi peserta didik, terlebih bagi pelaksanaan pendidikannya.

SDM penyelenggara pendidikan pun tampak terengah mengikuti perubahan kurikulum yang diberlakukan negara. Alih-alih fokus menyelenggarakan aktivitas belajar mengajar di sekolah, para pendidik lebih disibukkan dengan penguasaan kurikulum baru hingga urusan administratif yang tidak berhubungan langsung dengan proses mengajar. 

Pendidikan di Sistem Kapitalisme Sekuler

Itulah yang terjadi ketika sistem kapitalisme sekuler dianut negeri ini. Kapitalisme mengamanatkan negara sekadar menjadi regulator bukan eksekutor. Pendidikan sebagai bagian dari urusan rakyat tak mendapat porsi pengurusan secara full oleh negara. Pembiayaan untuk terselenggaranya pendidikan yang gratis, merata, dan berkualitas menjadi angan-angan yang mustahil terwujud. Beragam mekanisme berbasis bantuan dengan besaran yang tak mencukupi untuk menutupi semua kebutuhan pendidikan setiap individu rakyat akhirnya menjadi pilihan.

Kapitalisme pula biang bermunculannya kemiskinan sistemik di tengah masyarakat. Harta kekayaan alam yang melimpah di perut bumi nyata tak dapat dinikmati rakyat untuk mengakses kebutuhan pendidikannya menjadi gratis, nyaman, dan berkualitas. Alih-alih dikelola negara untuk hasilnya dijadikan biaya pengurusan rakyat, yang ada justru diserahkan ke tangan korporat dengan basis bisnis yang hanya mengenyangkan perut oligarki. 

Di sisi lain, liberalisasi bidang pendidikan sebagai turunan sistem kapitalisme demokrasi memungkinkan kurikulum terus berubah mengikuti kepentingan dari rezim. 

Dengan asas sekuler pakem agama dijauhkan dari pengaturan urusan pendidikan oleh negara, lahirlah beragam kecurangan semisal penyelewengan, korupsi, dan seterusnya. 

Islam Mengatur Urusan Pendidikan 

Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan dan pandangan menyeluruh berkenaan dengan kehidupan, urusan pendidikan salah satunya. Pendidikan adalah bagian dari tanggung jawab negara, dalam semua aspeknya, baik pembiayaan, SDM pelaksana, kurikulum, dan beragam persoalan lainnya.

Pendidikan dipandang Islam sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat yang wajib diurus oleh negara. Maka rakyat berhak mendapat akses pendidikan yang berkualitas dengan mekanisme gratis dari negara. 

Dari mana negara memiliki sumber daya yang banyak untuk menggratiskan pendidikan? Islam memiliki jawabannya. Islam mengamanatkan kepada negara untuk memberlakukan sistem ekonomi berbasis syariat dimana kekayaan alam menjadi sumber daya melimpah untuk membiayai urusan pendidikan salah satunya. 

Sistem pendidikan Islam juga memiliki pakem akidah Islam dalam pengaturan urusan kurikulumnya. Tujuan kurikulum berbasis akidah adalah untuk mencetak generasi bersyakhsiyah (berkepribadian) Islam. Dimana di dalam diri generasi akan dibentuk iman yang kuat, jiwa kepemimpinan yang tangguh dan mulia, hingga kemampuan penguasaan terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dengan pendidikan diatur dan diurus oleh sistem Islam, dibersamai secara komprehensif pemberlakuan Islam di semua lini kehidupan, bermunculanlah ulama-ulama sekaligus ahli-ahli ilmu pengetahuan dan teknologi yang mumpuni. Sepanjang Islam diterapkan secara kafah (menyeluruh) lahirlah sosok-sosok luar biasa, seperti Ibnu Sina (Bapak Kedokteran), Al-Khawarizmi (Matematikawan dan ahli astronomi), Al-Farabi (filsuf, matematikawan, ahli kosmologi), dan masih banyak lainnya. 

Begitulah hasil yang dituai dari proses pendidikan berbasis syariat dan akidah Islam. Kemuliaan akidah Islam yang menyandarkan semua pandangan dan pengaturan kehidupan hanya kepada bimbingan dari Zat Pencipta semesta, manusia, dan kehidupan. Ia menghasilkan keteraturan, kegemilangan, dan kesejahteraan yang berkeadilan. Karena Allah Zat Yang Maha Tahu apa yang dibutuhkan oleh setiap makhluk-Nya. Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم