Oleh Suci Halimatussadiah 
Ibu Pemerhati Umat


Berbicara kepemimpinan hari ini, banyak hal yang kita rasakan dan saksikan tidak sesuai dengan hati nurani. Bahkan semua menyaksikan konstitusi ditabrak demi melanggengkan kekuasaan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, penguasa justru sibuk membangun dinasti politiknya.

Selama dua periode Presiden Joko Widodo memimpin Indonesia, para ekonom sepakat bahwa Jokowi berhasil membangun infrastruktur dan gencar menggaet investor. Hanya saja di sisi lain, pakar politik dan pegiat HAM mengatakan, warisan Jokowi di bidang pembangunan tersebut harus dibayar mahal dengan kemunduran demokrasi. (bbc.com, 06/02/2024)

Firman Noor, peneliti politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menilai, banyak dari warisan pembangunan Jokowi tidak mencerminkan proses yang demokratis dan justru mencerabut hak masyarakat yang terdampak. Proyek IKN merefleksikan semua itu. Bila diperhatikan, polanya serupa dengan proyek-proyek investasi besar lain seperti di Pulau Rempang, Desa Wadas, Air Bangis, Mandalika, dan lain-lain. 

Realitas tersebut membuat Jokowi di tahun terakhir jabatannya mendapat “peringatan keras” dari para akademisi, mahasiswa, hingga para ekonom. Presiden dituding mengintervensi konstitusi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai kepala negara demi memuluskan langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilu 2024.

UU yang Dibentuk Banyak Melanggar Hak Rakyat

Berbagai undang-undang yang disahkan oleh pemerintah Jokowi pun tidak hanya dianggap kurang menghormati kepentingan hak asasi manusia dari kalangan rakyat, seperti petani, buruh, dan masyarakat adat, tetapi juga proses pembentukannya dilakukan dengan banyak melanggar hak-hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik. 

Misal pada 2019, pemerintah dan DPR mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih mengandung pasal-pasal karet, seperti penghinaan presiden, pemerintah, dan pengadilan, pasal yang memuat ancaman pidana bagi aksi demonstrasi tanpa pemberitahuan, pasal penodaan agama, mengkriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan, dan pasal-pasal bermasalah lainnya.

Lalu, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang oleh Amnesti dianggap mengancam HAM karena sangat berpihak pada investor dan mengancam kesejahteraan buruh, justru disahkan pada 2023 dengan cara yang sama. Begitu pun revisi Undang-Undang KPK yang dianggap “melemahkan” lembaga tersebut. Salah satu dampaknya, terlihat dari merosotnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 ke titik terendah dalam 10 tahun terakhir. 

Bahkan, Firli Bahuri yang dipilih pemerintah dan DPR sebagai Ketua KPK memiliki rekam jejak pelanggaran etik. Dalam beberapa bulan belakangan, bahkan terjerat kasus suap dan menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.

Selanjutnya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang juga banyak ditentang dan kontroversi tetap disahkan secara kilat tanpa partisipasi publik. UU IKN tersebut disahkan hanya dalam waktu kurang dari dua pekan sejak tim panitia khusus pembahas RUU dibentuk di DPR. Adanya rentetan aksi massa yang protes ke jalan dan kritik luas dari masyarakat tidak mampu menghentikan pengesahan beragam UU tersebut. Padahal, yang demikian jelas mengancam kebebasan berekspresi. 

Oleh karenanya, kebebasan menjadi sesuatu yang mahal hari ini. Dengan adanya sejumlah fakta tersebut telah jelas bagi kita betapa sistem demokrasi begitu lemah. Hal tersebut sekaligus menjadi alarm bahwa demokrasi sedang menunggu kehancurannya dan itu hanya soal waktu.

Dalam Islam, seorang kepala pemerintahan merupakan khalifah di muka bumi. Oleh karenanya, seorang pemimpin harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya (Allah Swt.) yakni Rabb semesta alam. Kewajibannya tiada lain menerapkan hukum Allah di muka bumi.
Islam melalui ajarannya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk yang berkaitan dengan persoalan politik. Islam tidak memandang politik sebagai metode untuk meraih kekuasaan semata, tetapi yang paling utama adalah demi kemaslahatan dan keselamatan manusia, baik di dunia maupun akhirat kelak.

Islam dan politik keduanya dipahami sebagai sarana untuk menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan serta pengaruh dari masyarakat semata. Begitu pun dengan politik, juga tidak hanya sekadar dipahami sebagai sarana menduduki posisi dan kekuasaan.

Tentang kepemimpinan, Islam sangat peduli terhadap etika dan moral yang harus dimiliki seorang pemimpin. Tentunya sosok pemimpin ideal dalam Islam adalah Rasulullah Muhammad saw. Untuk menakar kepemimpinan yang ideal, tiga dari empat sifat wajib bagi para nabi dan rasul berupa siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas) bisa menjadi landasan kriteria pemimpin yang baik.

Apabila melihat kepemimpinan dari sisi hadis, Rasulullah pernah menegaskan kepada salah satu sahabatnya untuk tidak meminta jabatan. Ucapan ini terekam dalam hadis riwayat al-Bukhari yang artinya, “Dari Abdurrahman bin Samurah, beliau mengatakan, Rasulullah saw. berkata kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya, maka kamu akan ditolong, tetapi jika kamu diberinya karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik.” (HR Bukhari)

Oleh karena itu, ada kriteria yang bisa ditetapkan terhadap para calon pemimpin. Sifat rakus dan tamak adalah sifat buruk yang seharusnya tidak ada di dalam jiwa seorang pemimpin. Kerakusan dan ketamakan akan melahirkan kecurangan ketika menjalankan amanah kepemimpinannya, sedangkan pemimpin yang curang disinggung oleh Nabi saw. tidak akan masuk ke dalam surga.

Kemudian sifat amanah dan bertanggung jawab merupakan sifat mendasar yang wajib ada pada seorang pemimpin. Sifat amanah dan bertanggung jawab ini akan berpengaruh terhadap setiap kebijakan yang diambilnya. Setiap menangani kasus dan problematika masyarakat ia akan selalu ingat tanggung jawabnya sehingga memperhatikan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. 

Maka, sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam hanya bergantung kepada Allah dan menerapkan sistem yang bersumber dari Sang Pemberi Hidup (Allah Swt.), hukum yang sempurna, dijamin tanpa cacat. Dengan izin Allah, semua kebaikan akan terwujud ketika sistem Islam kafah diterapkan di muka bumi.

Oleh karena itu, turut berjuang mewujudkannya merupakan kewajiban seorang muslim. Kini, saatnya umat bersatu menegakkan institusi Daulah Khilafah yang akan menaungi seluruh umat muslim di dunia. Negara yang akan menjadi solusi bagi setiap permasalahan umat baik yang bersifat individu, masyarakat, maupun negara.
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama