Oleh Ummu Syakira 
Muslimah Peduli Negeri


Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan orang dewasa, kisaran umur 20-79 tahun, yang mengidap diabetes di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa pada 2021. Bahkan nilainya diprediksi mencapai 28,57 juta jiwa pada 2045. Sebuah fakta yang tidak boleh dianggap enteng, karena diabetes termasuk salah satu penyebab kematian tertinggi.

Sementara itu, menurut beberapa penelitian sering mengonsumsi minuman berpemanis berisiko meningkatkan sejumlah penyakit seperti obesitas, diabetes tipe 2, jantung, hingga kanker. Sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun merespon dengan merekomendasikan agar negara-negara anggota menerapkan fiskal terhadap minuman berpemanis, dan ada sekitar 85 negara yang sudah menerapkan kebijakan itu di wilayahnya. WHO menyoroti pengalaman negara-negara yang telah berhasil menerapkan pajak, termasuk Meksiko, Afrika Selatan, dan Inggris Raya. (Tirto, 5/2/2024).

Kebijakan Kapitalistik

Di Indonesia, kebijakan cukai minuman berpemanis sangat kontraproduktif, karena bagai jauh panggang dari api. Kenapa tidak justru pemerintah melakukan edukasi akan bahaya mengonsumsi minuman yang mengandung pemanis buatan? Sementara bagi produsen harusnya diedukasi untuk menyajikan produk yang sehat secara komposisi. Karena fakta di lapangan menunjukkan produsen lebih cenderung berupaya mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan meminimalisir biaya produksi, diantaranya dengan menggunakan pemanis buatan tanpa mempertimbangkan efek kesehatan bagi pemakaiannya dan untuk jangka panjangnya.

Sementara pemerintah seolah lost control pada produsen, sehingga mereka dengan mudah mendapatkan sertifikasi halal atau keamanan dari BPOM dalam pengawasan makanan dan minuman yang mengandung pemanis buatan. Hal ini terbukti pada banyak merek minuman yang laris manis di pasaran, karena harganya yang sangat terjangkau.

Dan relasi semacam ini wajar ada dalam sistem kapitalisme, di mana negara hanya berperan sebagai regulator terhadap kelancaran bisnis para kapitalis atau produsen. Negara hanya memandang bahwa produsen merupakan objek pajak yang akan bisa membawa pemasukan pada APBN. Hal ini lumrah, karena dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber APBN yang utama. Alhasil, dampak produk yang berbahaya bagi rakyat pun diabaikan.

Padahal efek pemanis buatan, bukan hanya sekedar memicu munculnya penyakit diabetes tetapi juga bisa menyebabkan kanker, seperti aspartam. Pun WHO telah menyatakan pemanis buatan aspartam masuk kategori karsinogen penyebab kanker pada manusia. Produk yang mengandung aspartam tersebut, merupakan produk yang laris manis setiap harinya dikonsumsi bahkan oleh anak-anak. Maka wajar jika terjadi peningkatan kasus diabetes pada anak.

Mirisnya, realitas di lapangan kita dapati justru pemerintah membiarkan produk tersebut beredar. Pemerintah melalui Kemenkes hanya memberikan edukasi bahwa aspartam merupakan pemanis buatan yang berbahaya, tetapi tak menghentikan apalagi memberi sanksi pada perusahaan yang masih menggunakan aspartam. Inilah buah simalakama hubungan antara pemerintah dengan pengusaha minuman pemanis buatan.

Relasi seperti ini sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme, sekali lagi karena penguasa dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator bukan raa’in (pelayan). Rakyat sendiri karena terbalut kemiskinan, akhirnya terbiasa mengonsumsi minuman yang murah atau terjangkau, tanpa mempertimbangkan lagi aspek komposisinya, merugikan kesehatannya atau tidak. Karena tentu saja, produk makanan berpemanis buatan dengan yang menggunakan pemanis alami harganya berbeda jauh.

Islam Menjamin Kesehatan

Hal ini tentu akan sangat berbeda, jika negara menerapkan syariat Islam sebagai aturan kehidupan. Menjaga kesehatan sebagai bekal untuk menguatkan ibadah, merupakan aspek penting yang akan dijaga oleh negara. Sekaligus negara akan menciptakan sistem ekonomi yang kondusif, sehingga memungkinkan untuk rakyatnya meraih kesejahteraan secara merata. Sebab dalam Islam, kesejahteraan masyarakat tidak dinilai dari penghasilan rata-rata seperti dalam kapitalisme melalui gross national product (GNP). Namun, kesejahteraan dalam Islam diraih dari terpenuhinya kebutuhan pokok individu per individu rakyat.

Selain itu, negara yang berdasarkan syariat Islam akan menjamin secara gratis pelayanan kesehatan dan pendidikan, yang tentu saja akan membantu setiap kepala keluarga dalam pengeluaran keuangan keluarga. Sehingga kepala keluarga, hanya terbebankan pada urusan kebutuhan pokok yakni pemenuhan sandang, pangan, dan papan.

Apalagi bagi rakyat yang tak mampu dan tak punya wali untuk memenuhinya maka negara akan mengambil alih peran wali itu, dengan pemberian santunan secara langsung bagi warga yang tak mampu. Hal ini dicontohkan langsung oleh Khalifah Umar bin Khattab saat beliau berkeliling memantau warganya. Ketika mengetahui ada warganya yang miskin yakni memasak batu, beliau langsung menuju baitulmal untuk memanggul gandum sendiri, mengantarkan sendiri, dan memasakkan. Inilah wujud negara sebagai raa’in (pelayan).

Di samping itu, negara berlandaskan syariat Islam yang disebut dalam fikih sebagai negara Khilafah, tidak menjadikan pajak sebagai pemasukan utama bagi APBN. Sehingga negara tidak akan membiarkan produsen menggunakan barang berbahaya dalam komposisi produk makanan atau minumannya demi meraih keuntungan dan sebagai sumber pemasukan dari pajak.

Sumber pemasukan APBN negara Khilafah adalah anfal, ganimah, fai dan khumus, kharaj, jizyah, harta milik umum (barang tambang, hutan, dan lainnya), harta milik negara (semisal tanah mati), usyur, harta tidak sah dari para penguasa dan pegawai negara, harta hasil usaha yang terlarang dan denda, harta orang-orang murtad dan yang tak ada ahli warisnya, dan pajak yang bersifat kondisional, yakni saat negara tak punya harta, bersifat sementara serta dibebankan pada rakyat yang mampu.

Dengan demikian dapat dipastikan, negara Khilafah tak akan mengambil cukai dari pemanis buatan, bahkan akan melarang penggunaan pemanis buatan sebagai bahan dasar untuk makanan. Karena melihat bahayanya, rakyat pun diedukasi untuk senantiasa mengonsumsi makanan yang halal dan tayib. Sebagaimana yang Allah Swt. firmankan dalam QS Al-Baqarah ayat 168,

“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.”

Sungguh relasi indah ini, yakni rakyat yang sadar untuk senantiasa mengonsumsi makanan yang halal dan tayib, sementara negara memfasilitasi, hanya akan terwujud pada negara yang berdasarkan syariat Islam. Tidakkah kita rindu pada khilafah? 
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم