Oleh Ummu Syakira 
Muslimah Peduli Negeri


Ramai menjadi perbincangan perihal wacana pemberian cuti ayah kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) pria. Cuti ayah diberikan kepada pegawai pria untuk mendampingi istri melahirkan dan mengasuh bayi. Lama waktu cuti yang akan diberikan bervariasi, berkisar 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari. Hal ini akan dimuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen ASN. RPP ini ditargetkan bisa rampung paling lambat April 2024.

Harapannya dengan pemberian hak cuti ayah, kualitas proses kelahiran anak bisa berjalan dengan baik. Mengingat itu merupakan fase penting untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) terbaik penerus bangsa. (IDN Times, 14/3/2024).

Kegagalan Kapitalisme

Padahal kualitas generasi dipengaruhi banyak faktor yang mengitari perjalanan hidup seorang anak. Maka pembentukan generasi yang berkualitas membutuhkan supporting system yang prima dan berkualitas sepanjang hayat anak, termasuk ayah berkualitas. Namun sayang, ayah hari ini juga menjadi korban sistem yang diterapkan sehingga belum memenuhi kualifikasi ayah berkualitas. Mereka dituntut untuk bekerja keras dalam memenuhi nafkah keluarga, sehingga hanya fokus pada dunia kerja, tanpa sempat memperkaya diri dengan ilmu parenting.

Hal ini sebagai imbas inflasi pangan, sehingga membutuhkan income yang lebih banyak dalam keluarga. Di samping itu, pendidikan ayah terkait ilmu parenting bahkan tidak diberikan secara khusus di sekolah, sehingga wajar ketika berumah tangga hanya berbekal ilmu seadanya. Karena bekal ilmu yang kurang itulah, membuat ayah kurang optimal dalam menjalankan perannya sebagai 'kepala sekolah' dalam rumah tangga. Banyak anak mendapatkan kondisi fatherless, tak punya sosok ayah yang menjadi teladan dalam kehidupan, serta hanya mendapatkan sedikit dari waktu lelah ayah ketika sampai di rumah.

Alhasil, peran ayah tak cukup signifikan dalam membentuk generasi berkualitas. Cuti ayah memang sangat diperlukan, tetapi bukanlah problem solver mendasar yang menyentuh akar permasalahan. Dari sini tampak nyata cara negara menyelesaikan persoalan yang ada di tengah umat. Penyelesaian yang hanya bersifat pragmatis, sementara, bak jauh panggang dari api, hingga wajar jika persoalan generasi tidak terselesaikan dengan tuntas.

Inilah bukti kegagalan sistem kapitalisme sekuler dalam membentuk ayah berkualitas, demi melahirkan generasi yang berkualitas. Menjadi sebuah keniscayaan, karena pemimpin dalam sistem kapitalis sekuler, bukanlah raain (pelayan umat), sehingga ketika menyelesaikan problematika seolah hanya sebuah lip service.

Supporting System Islam

Meski tidak dimungkiri, ada banyak hal mendasar yang dibutuhkan dalam membentuk generasi berkualitas. Yang tentu saja, membutuhkan supporting system, utamanya dari negara. Ayah akan bisa optimal berperan dalam membentuk generasi berkualitas, jika dilandasi oleh kesadaran akan perannya yang utama sebagai ‘kepala sekolah’, selain sebagai tulang punggung keluarga dalam memenuhi nafkah, serta adanya lingkungan yang aman di sekitar anak juga berpengaruh dalam membentuk generasi yang berkualitas.

Di sinilah supporting system itu menentukan, dan itu tak akan terwujud dalam sistem kapitalisme sekuler. Justru yang terwujud dalam lingkungan sistem hari ini, anak terkondisikan pada situasi yang menghalanginya untuk menjadi generasi yang berkualitas. Misalnya, kebebasan mengakses pornografi di negeri ini begitu mudah, membuat anak matang secara seksual dalam kondisi dini, sehingga menyalurkan dengan melakukan gaul bebas. Belum lagi suguhan tontonan hedonisme, yang membuat generasi hari ini tumbuh menjadi generasi strawberry, yang alay dan lemah dalam menghadapi tantangan hidup. Sehingga makin kompleks, kondisi yang membuat generasi hari ini sulit untuk menjadi generasi yang berkualitas.

Oleh karena itu dibutuhkan perubahan supporting system, yang mampu membentuk ayah berkualitas, menyuguhkan lingkungan yang kondusif, dan itu hanya bisa terwujud dalam supporting system yang berlandaskan Islam. Karena Islam menjadikan kualitas generasi tidak hanya menjadi tanggung jawab orangtua, ayah dan ibu, tetapi juga disertai dengan supporting system, termasuk peran penguasa dan masyarakat. Supporting system itu berupa penerapan Islam secara kafah yang meniscayakan terbentuk generasi berkualitas, beriman, bertakwa, terampil, dan berjiwa pemimpin.

Islam mewujudkan supporting system itu dalam beberapa bentuk kebijakan, yakni:

1. Islam mewajibkan kepada para laki-laki sebagai 'kepala sekolah', yakni pemimpin dalam keluarga yang memberikan kurikulum pendidikan yang akan dijalankan oleh ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anak, dengan bekal ilmu penting yang diberikan sejak di masa sekolah atau dalam kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam

2. Islam mewajibkan kepada para ayah untuk bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Dengan memberikan peluang lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya, serta jaminan kebutuhan pokok dasar, berupa pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh warga negara, sehingga akan meringankan beban ayah dalam mencari nafkah yang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Ayah pun punya waktu untuk mendampingi dan mengontrol ibu dalam menjalankan perannya sebagai madrasatul ula.

3. Islam mendidik perempuan untuk menjadi ummun warobbatul bait, madrasatul ula bagi anak-anaknya, yang juga masuk dalam kurikulum pendidikan di sekolah, serta menutup pintu pikir sesat feminisme (kesetaraan gender) yang membuat para perempuan dan ibu lebih senang berkiprah di luar rumah, dan melupakan tugas utamanya.

4. Islam akan membentuk masyarakat yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, sehingga akan membentuk lingkungan yang positif dan kondusif bagi tumbuh kembang anak untuk menjadi generasi yang berkualitas.

5. Negara akan berperan sebagai raain (pelayan umat), dengan melakukan pengawasan agar peran ayah dan ibu berjalan optimal, serta dengan memberikan sanksi bagi ayah atau ibu yang tidak mau melaksanakan kewajibannya yang itu menjadi hak anak. Baik bagi ayah yang tidak mau bekerja, sehingga tidak akan membiarkan perempuan yang mengambil alih beban mencari nafkah dan berujung menelantarkan anaknya sebagaimana dalam kondisi hari ini.

Negara juga akan menutup pintu akses yang merusak moral generasi, baik itu berupa tayangan digital. Dan negara akan memberikan kurikulum pendidikan yang berbasis akidah Islam, sehingga membentuk moral generasi yang beriman dan bertakwa sejak di usia dini. Selain itu, negara akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggaran dalam kehidupan sosial, seperti perzinaan, dan lain sebagainya, sehingga akan terwujud lingkungan yang kondusif, penuh dengan nuansa ketakwaan.

Khatimah

Dengan itu semua, maka menjadi sebuah keniscayaan akan terbentuk generasi yang berkualitas. Supporting system itulah yang akan diberikan oleh negara Islam, yang dalam fikih Islam disebut sebagai Khilafah Islamiyah. Ini bukan isapan jempol, tapi sudah terbukti selama 1300 tahun lamanya, yakni sejak berdirinya negara Islam pertama di Madinah, kemudian diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin, dan kekhilafahan berikutnya hingga runtuh pada 3 Maret 1924, telah tercetak ribuan generasi berkualitas. Mulai dari ulama kontemporer Imam Syafi'i, Ibnu Sina yang ahli dalam bidang kesehatan, Aljabar penemu angka nol, dan Al-Fatih sang penakluk Konstantinopel. Tidakkah kita merindukan sistem Khilafah untuk hadir kembali? Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم