Oleh Triana Amalia, S.Pd. 
Aktivis Muslimah


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan diadakan pada tanggal 27 November–16 Desember 2024. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa, calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2024 tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya. 

Jabatan yang dimaksud oleh Hasyim adalah DPR/DPD/DPRD untuk jajaran provinsi/kabupaten/kota Pemilu 2019, dan kembali terpilih dalam Pemilu 2024. Hal ini sesuai dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024. (tirto.id, 10/05/2024)

Beberapa partai politik sudah sepakat akan berkoalisi. Misalnya, koalisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar Depok sepakat mengusung Imam Budi Hartono dan Ririn Farabi A. Rafiq sebagai bakal calon wali kota dan wakil wali kota Depok di Pilkada Depok 2024. Pasangan calon wali kota tersebut sudah disampaikan ke DPD Partai Golkar Jawa Barat. (Tempo.co, 12/05/2024)

Sementara itu, Pilkada yang akan diadakan di Bandung memunculkan nama para artis. Mereka merupakan bakal calon wakil Bupati dari PKB. Beberapa artis itu, antara lain: Denny Cagur, Irfan Hakim, Rachel Maryam, pelawak Oni SOS, Abdel Achrian hingga kader PAN yang juga adik Raffi Ahmad, Annisa Ahmad. (RRI.co.id, 10/05/2024)

Pada akhirnya, Jawa Barat menjadi perhatian utama dalam peta politik Indonesia. Ini disebabkan Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Sejumlah koalisi partai besar akan bertarung di Pilkada Jawa Barat. (Pikiran Rakyat.com, 12/05/2024)

Pilkada ini merupakan ajang beberapa publik figur, menunjukkan keinginannya menjadi pemimpin. Sementara, partai politik berharap memperbesar wilayah kekuasaannya. Mereka pun akan bermodal janji-janji manis untuk menyejahterakan warga sekitar. 

Kehadiran pilkada ini, akan menjadikan suara rakyat penting lagi. Suara-suara warga biasa diburu untuk jabatan semata. Bantuan-bantuan sosial akan diberikan hanya demi banyaknya pemilih. Pemilihan kepala daerah ini, dalam negara yang memercayai materi sebagai pusat dunia yang disebut kapitalisme. 

Kontestasi politik ini untuk kepentingan kekuasaan beberapa orang saja. Mereka adalah manusia yang mengandalkan popularitas dan janji manis. Begitulah gambaran pilkada di sistem pemerintahan demokrasi. Bukti-bukti sudah jelas, setelah para pemimpin terpilih menjabat. Mereka justru sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan golongannya.
 
Kekuasaan digunakan untuk gaya hidup mewah atau memuluskan kepentingan bisnis. Sedangkan, suara rakyat yang dahulu dibutuhkan, mereka lupakan. Para pejabat menghilangkan keluh kesah warganya dari pikiran. Padahal, rakyat lebih membutuhkan pemimpinnya disaat sudah terpilih. Kapabilitas pemimpin pun tidak dipedulikan dalam sistem demokrasi ini. Para elite oligarki berburu kedudukan untuk sendiri. Inilah sebuah kenyataan pahit yang harus dipahami umat. 

Di negeri mayoritas muslim ini, seharusnya para pemangku kebijakannya amanah. Tidak memandang rakyat hanya sumber suara saja. Ini sejalan dengan hadis Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Jabatan adalah amanah penuh tanggung jawab, di hadapan Allah Swt. Artinya, jika rakyat yang dipimpin masih ada yang kelaparan, kesusahan, miskin, dan terzalimi, maka mereka akan menuntutnya di akhirat kelak. Pemimpin yang memikirkan kepentingan rakyat, tidak akan lahir dari sistem demokrasi. Pemimpin amanah hanya lahir dari sistem sahih, yakni sistem politik Islam yang disebut Khilafah. 

Kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam, bukan untuk diperebutkan apalagi hanya agar mendulang popularitas. Islam memandang hal tersebut sebagai tanggung jawab yang harus memihak rakyat. Jika rakyatnya sejahtera maka pemimpin itu akan dicintai Allah Swt. Namun, jika rakyatnya menderita maka pemimpinnya akan hina di mata Allah Swt. 

Ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. “Sesungguhnya, orang yang paling dicintai Allah kelak pada hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya dengan Allah subhanahu wa ta’ala adalah pemimpin yang adil, adapun orang yang paling dibenci Allah kelak pada hari kiamat dan paling jauh tempat duduknya dengan Allah Swt. adalah seorang pemimpin yang lalim.” (HR. At-Tirmidzi)

Terkait kepala daerah dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah, dikenal dengan wali atau amil. Seorang wali bertanggung jawab di wilayah setingkat provinsi. Wilayah dibagi dalam beberapa imalah atau setingkat kabupaten. Penanggung jawab imalah disebut amil, adapun syarat menjadi imalah.
 
Sebagaimana wewenang dan syarat seorang wali, baik wali atau amil adalah wakil pemimpin pusat (khalifah). Tugas mereka untuk memerintah atau mengurus suatu daerah. Dengan kata lain, mereka, adalah perpanjangan tangan khalifah dalam mengurusi rakyat. Bukan penguasa tunggal suatu daerah. 

Tata cara pemilihan kepala daerah, dalam sistem pemerintahan Islam dilaksanakan secara sederhana. Pemilihannya cepat dan murah serta efektif. Hal ini disebabkan kepala daerah (wali atau amil) dipilih langsung oleh khalifah. Wewenangnya pun ditentukan oleh pemimpin pusat tersebut. 

Akad pun, dilaksanakan oleh keduanya. Ini juga dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika menjadi pemimpin negara di Madinah. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah menunjuk Utab bin Usaid untuk menjadi wali di Makkah setelah kota itu ditaklukkan. Kemudian setelah masuk Islam, Badzan bin Sasan diangkat menjadi wali di Yaman. Khalid bin Walid menjadi amil di Shun’a. Agar tidak adanya penyelewengan hukum, seorang wali bertanggung jawab di depan khalifah dan majelis syura. Kepala daerah bisa dipecat oleh khalifah, apabila ada pengaduan dari majelis syura. 

Majelis syura merupakan perwakilan dari masyarakat wilayah setempat wali atau amil yang berkuasa. Paling penting untuk dipahami bahwa kekuasaan dalam Islam hanya untuk menegakkan hukum Allah Swt. secara praktis. Wajib terlaksana amar makruf nahi mungkar. Hal ini dituturkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Hisbah. 

“Sesungguhnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, juga ditujukan untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, sama saja apakah pada wilayah al-harbi al-kubra, seperti pendelegasian kekuasaan negara, ataukah wilayah al-harbi al-shugra, seperti kekuasaan kepolisian, hukum, atau kekuasaan maaliyah (harta), yakni kekuasaan-kekuasaan diwan-diwan keuangan maupun peradilan (hisbah).” (Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah, 1/9)

Prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan, adalah ketakwaan dan kafa’ah (kapabilitas). Pemimpin ini ada, manakala sistem pemerintahan Islam hadir di tengah umat. Bukan sistem demokrasi yang hanya cocok untuk politikus egois. 

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم