Oleh Leihana 
Ibu Pemerhati Umat

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman ...." Penggalan lagu tahun 1970-an dari grup band legendaris Koes Plus ini seakan-akan benar-benar menjadi sebuah legenda. Di mana lirik lagu yang menggambarkan kesuburan dan kekayaan Tanah Air itu hanya sekadar cerita di masa lalu dan tak tergambar di realitas saat ini. 

Fakta bahwa tanah di Indonesia subur memang masih benar adanya, tetapi entah mengapa di atas tanah subur kini tidak lagi menjadi surga pangan bagi penduduknya. Sebab, di atas lahan dan tanah yang subur perlu keseriusan hingga modal yang memadai agar lahan tersebut benar-benar menghasilkan bahan pangan yang melimpah hingga terwujud ketahanan pangan yang didamba semua orang. 

Keseriusan negara belum tergambar nyata dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2025 yang dipaparkan Presiden Joko Widodo yaitu sebesar Rp124,4 triliun. Sebab, meski angka anggaran tersebut cukup tinggi, tetapi menurut pengamat pertanian Saiful Bahri anggaran tersebut tidak menampakkan keseriusan dan kejelasan–yang merinci kepada peningkatan produksi pangan–terutama dalam sektor pertanian. Contohnya adalah anggaran penyediaan bibit  dan pupuk  justru terus berkurang. (mediaindonesia.com, 16 Agustus 2024)

Memang diperjelas anggaran tersebut akan digulirkan oleh pemerintah untuk beberapa sisi mendukung ketahanan pangan Tanah Air dalam sektor praproduksi, produksi, distribusi, pemasaran, hingga ke konsumen. 

Namun, yang menyita perhatian justru anggaran sangat besar dianggarkan untuk program Makan Bergizi  Gratis (MBG) yang dianggarkan di tahun 2025 mencapai 0,29% dari PDB yaitu Rp71 triliun. Sedangkan program-program yang menunjang terhadap ketahanan pangan langsung seperti meningkatkan produksi pertanian dan perikanan mendapatkan posisi anggaran yang tidak lebih besar dari program MBG. (antaranews.com, 16 Agustus 2024)

Padahal ketahanan pangan merupakan persoalan penting bagi negara, bahkan berkaitan langsung dengan kedaulatan negara. Namun, justru tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam sektor produksi peningkatan ketahanan pangan tersebut. Fakta tersebut menunjukkan kurangnya komitmen dan keseriusan yang kuat dari negara untuk mewujudkan harapan ketahanan pangan.  

Dikarenakan dukungan juga bantuan pada petani tidak tampak–adanya upaya serius dari pemerintah untuk  memperbaiki produktivitas pertanian–yang seharusnya diperhatikan dari hulu sampai hilir. 

Sehingga generasi saat ini tidak banyak yang tertarik untuk menggeluti bidang pertanian, peternakan, dan perikanan yang akan menopang ketahanan pangan negara di masa depan. 

Masa depan kelam ketahanan pangan Indonesia sudah mengintai, jika tidak ada lagi generasi yang mau menjadi seorang petani ataupun menggeluti perikanan dan peternakan. Memang ada rencana pengurangan impor oleh negara di tahun 2024, tetapi sinyal adanya impor bahan pangan masih kuat. 

Sebab, setiap ada kelangkaan dan tingginya harga bahan pangan seperti minyak goreng, gula pasir, dan kebutuhan pokok lainnya, negara sering kali menjadikan impor sebagai solusi. Tentu saja realitas ini sangat jauh berbeda dengan ajaran Islam. 

Ajaran Islam memandang bahwa ketahanan pangan harus diwujudkan karena berkaitan dengan kedaulatan negara dan posisi sebagai negara adidaya. Selain itu,  negara dalam sistem Islam juga memiliki kewajiban untuk memenuhi setiap kebutuhan dasar individu rakyatnya. Jika untuk memenuhi kebutuhan dasar individu rakyatnya bergantung kepada negara lain dan lewat keran impor maka negara sulit untuk berdaulat. 
 

Selain itu, dalam Islam negara  diposisikan sebagai raa’in yaitu  membuat kebijakan yang akan menguatkan ketahanan pangan, bahkan juga kedaulatan pangan, sehingga petani terlindungi dan optimal dalam produksi. Negara sebagai pelindung ketahanan pangan bagi rakyatnya akan mengupayakan hal-hal yang mendasar terutama dalam sektor produksi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan terpenuhinya kebutuhan pokok seluruh individu rakyatnya. 

Berbeda dengan cara pandang sistem ekonomi kapitalisme, di sistem pemerintahan demokrasi yang memosisikan negara sebagai penguasa dan sebagai kontrak sosial rakyat–yang dipilih selama lima tahun sekali–dengan upah tertentu dan setiap institusi selalu memandang untung rugi dalam pelaksanaan kewajibannya. Sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dan tidak bergantung pada negara lain, tidak ada jalan lain selain menerapkan kembali sistem Islam yang kafah di bawah institusi Khilafah Islamiyah. 

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama