Oleh Siti Hoirun Nisa
Pegiat Literasi dan Aktivis Dakwah
Pada awal tahun ini, Prabowo Subianto menerbitkan instruksi presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. (Kompas.com, 12/2/2025)
Menurut Inpres Nomor 1/2025 tersebut, terdapat 16 pos pengeluaran yang dipangkas dengan total mencapai Rp 306,6 triliun. Efisiensi ini terdiri atas Rp 256,1 triliun belanja kementerian atau lembaga dan Rp 50,5 triliun untuk di transfer ke daerah (DAK). (Antaranews, 16/2/2025)
Selain ke 16 kementerian atau lembaga tersebut yang juga terkena imbas pemotongan anggaran adalah kementerian Pekerjaan Umum (PU), Menteri Komunikasi dan Digital (MENKOMDIGI), Kementerian Kesehatan (KEMENKES), serta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (MENDIKDASMEN).
Kepala biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kemenkeu Deni Surjantoro menekankan upaya penghematan itu murni untuk mendukung program prioritas pemerintah. Salah satu program prioritas yang dimaksud adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) Badan Gizi Nasional (BGN) membenarkan program MBG akan mendapat tambahan Rp 100 triliun dari pemangkasan K/L. (Antaranews, 20/10/2024)
Demi membiayai program-program populis pemerintah seperti MBG negara harus mengatur ulang anggarannya karena pemasukan dari pajak tidak sesuai harapan, pemangkasan yang gegabah ini tentu akan menghantarkan pada buruknya pengurusan layanan rakyat dan melemahkan fungsi dan kekuatan negara. Adanya penghematan anggaran tanpa pertimbangan matang menyebabkan keterbatasan sumber daya yang akan berpengaruh terhadap kinerja para ASN belum lagi sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan juga ikut terimbas padahal kedua sektor ini merupakan sektor investasi sumber daya manusia terbesar di masa mendatang.
Alhasil, kebijakan pemangkasan anggaran justru memunculkan masalah baru bahkan tidak hanya itu kebijakan ini juga semakin memperlebar pintu masuk dana-dana asing/swasta dalam melayani kepemimpinan rakyat. Sebenarnya negara bukan tidak memiliki potensi pemasukan karena Indonesia kaya raya, hanya saja politik anggarannya rusak akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang pro pada kepentingan pemilik modal.
Syaikh Taqiyuddin An-nabhani dalam kitab Nidzamul Islam bab Qiyadah Fikriyah menjelaskan ekonomi kapitalisme melegalkan kebebasan kepemilikan, akhirnya sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan rakyat malah dikuasai pemilik modal. Keuntungan yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat justru masuk ke kantong pribadi korporat, jadinya negara tidak memiliki sumber anggaran negara yang kokoh. Negara kapitalisme hanya menjadi regulator kebijakan untuk pemilik modal. Negara kapitalisme bersikap populis otoriter kepada rakyat untuk memoles wajah aslinya agar terlihat peduli kepada rakyat.
Berbeda dengan yang dipimpin dengan sistem Islam yakni, negara khilafah. Negara khilafah hadir sebagai pelayan rakyat (raa’in), hal tersebut adalah kewajiban yang diberikan oleh syariat kepada negara. Rasulullah pernah bersabda yang artinya “imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.
(HR. Bukhari)
Negara khilafah akan mampu mengurus rakyat dan menjamin kesejahteraannya karena hal itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Islam memiliki sistem politik dan ekonomi yang khas untuk menjalankan peran negara sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Salah satu pilar sistem politik Islam adalah kedaulatan ada di tangan syara, seorang muslim baik penguasa maupun rakyat mereka dituntut untuk mengendalikan seluruh aktivitasnya sejalan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah Ta'ala.
Allah berfirman dalam surat An-nisa ayat 49 yang artinya : "Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil amri di antara kalian, maka apabila kalian berselisih pendapat sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya."
Konsep sistem politik ini membuat negara tidak akan menerapkan hukum selain hukum Allah dan tidak akan mengatur ataupun membuat kebijakan untuk rakyat kecuali dengan hukum Allah.
Sementara salah satu prinsip sistem ekonomi Islam adalah harta atau kepemilikan pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam surat An-nur ayat 33 yang artinya: “Dan berikanlah kepada mereka harta dari Allah yang telah diberikan kepada kalian.”
Seperti sumber daya alam dalam sistem ekonomi Islam harta tersebut termasuk harta kepemilikan umum, pengelolaannya diberikan kepada negara secara mutlak dan hasilnya diberikan kepada rakyat baik secara langsung dalam bentuk subsidi maupun secara tidak langsung dalam bentuk jaminan gratis layanan umum.
Penerapan sistem ini menjadikan negara khilafah memiliki kekuatan dan kemandirian dalam membiayai semua kebutuhan rakyat, dalam Islam pengelolaan anggaran berdasarkan aturan syara baik dari pendapatan maupun pengeluaran. Islam menetapkan pendapatan negara dengan konsep Baitul maal. Baitul maal memiliki 3 pos pendapatan yaitu; 1. Pos kepemilikan negara (harta fa’i, kharaj, jizyah, usyur, ghanimah dan sejenisnya). 2. Pos kepemilikan umum (hasil pengelolaan sumber daya alam). 3. Pos zakat.
Masing-masing pos ini memiliki pengeluaran masing-masing semisal dari pos kepemilikan umum, negara khilafah bisa mengalokasikan anggaran untuk membiayai pendidikan gratis, kesehatan gratis, bahkan membiayai makan gratis. Dari pos kepemilikan negara, negara bisa mengalokasikan anggaran untuk membiayai riset, menjaga keamanan negara, membiayai militer, menggaji aparatur negara dan sejenisnya. Melalui sumber-sumber penerimaan ini negara mampu menjalankan fungsinya sebagai raa’in.
Demikianlah sistem Islam dalam mengatur negara, agar negara bisa mengurus rakyat dengan benar.
Wallahualam bissawab. []
Posting Komentar