Oleh Rosmita
Aktivis Muslimah
Antrian panjang pembeli gas elpiji 3 kg di pangkalan mewarnai media sosial belakangan ini. Pasalnya pemerintah menetapkan kebijakan yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg mulai 1 Februari 2025. Alasannya, agar distribusi elpiji subsidi lebih tepat sasaran dan menekan potensi penyimpangan.
Lebih detail lagi Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menjelaskan, apabila pengecer ingin menjual elpiji bersubsidi, maka harus mendaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina. (Tribunnews, 2/2/2025)
Kebijakan ini tentu menimbulkan protes dari masyarakat karena dinilai menyulitkan warga yang ingin membeli gas elpiji 3 kg. Jarak dari rumah ke pangkalan yang jauh ditambah antrian yang panjang tentu tidak sebanding dengan perbedaan harga di pangkalan dan di pengecer. Bila di pangkalan harga berkisar Rp17.500 - Rp18.500, sedangkan di pengecer harganya berkisar Rp20.000 - Rp21.000. Selisihnya hanya Rp2.500.
Namun, bandingkan kesulitan yang dialami oleh warga bila harus membeli ke pangkalan. Bila pangkalannya jauh tentu membutuhkan ongkos, belum lagi antrian yang panjang akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mendapatkan gas. Belum lagi bila gas yang dibeli gembos dan harus ditukar kembali, masa iya harus bolak-balik ke pangkalan.
Selain menyulitkan, kebijakan ini juga telah memakan korban jiwa. Seorang lansia bernama Ibu Yonih (62) di Pamulang, meninggal dunia akibat kelelahan karena mengantri gas selama satu jam. Jarak dari rumah ke pangkalan adalah 500 meter.
Setelah menuai banyak kritikan, akhirnya kebijakan larangan pengecer menjual gas elpiji 3 kg dibatalkan setelah keluar instruksi dari Presiden Prabowo Subianto. (Kompas.com, 4/2/2025)
Dari sini kita bisa menilai, pemerintah terkesan asal-asalan dalam menetapkan sebuah kebijakan. Dengan mudah membuat kebijakan, mudah pula membatalkannya. Seharusnya, sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan lakukan penelitian dulu, kemudian memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Jangan sampai sudah menelan korban, baru kemudian membatalkan kebijakan tersebut.
Dibalik kebijakan tersebut, sebenarnya ada upaya pemerintah untuk meliberalisasi gas. Sebab kebijakan seperti ini bukan pertama kali dikeluarkan. Pada tahun 2018 yang lalu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan serupa. Kemudian pemerintah meluncurkan gas elpiji 3 kg non subsidi merk Bright Gas. Sayangnya gas tersebut tidak laku di pasaran, karena baik orang yang miskin maupun orang kaya lebih suka menggunakan gas melon. Pasalnya ada perbedaan harga yang cukup signifikan antara gas subsidi dengan gas nonsubsidi, yaitu sekitar Rp13.000 - Rp14.000.
Kegagalan inilah yang menyebabkan pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan serupa. Tujuannya tentu masih sama, agar gas subsidi langka di pasaran sehingga mau tidak mau masyarakat membeli gas elpiji nonsubsidi. Namun, karena banyak menuai kritikan, akhirnya pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.
Akibat Sistem Kapitalisme
Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam (SDA) dari tambang emas, perak, batubara, minyak dan gas semua ada. Sayangnya sistem kapitalisme yang diterapkan negara ini memberi kebebasan asing untuk mengelola SDA yang ada. Sehingga kekayaan alam yang berlimpah tidak dapat memberi manfaat ekonomi bagi rakyat.
Inilah yang menyebabkan harga gas mahal dan sulit didapat. Padahal jika menilik dari Undang-undang yang ada, praktik pengelolaan SDA oleh asing tidak sesuai dengan UUD 1945 di mana dalam pasal 33 ayat 2 disebutkan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Selain itu, sistem kapitalisme juga melahirkan para pejabat yang korup, khianat dan tidak peduli kepada nasib rakyat. Fungsi pemimpin sebagai pelindung dan pengurus rakyat hilang. Mereka sibuk memperkaya diri dan kelompoknya. Sehingga dengan mudah menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing dan aseng tanpa memikirkan akibatnya bagi rakyat.
Sebenarnya Indonesia mampu mengelola sendiri sumber daya alam yang ada. Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan asing. Kalaupun SDM yang ada belum mumpuni, maka itu menjadi PR pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Ketika SDA dikelola sendiri oleh negara, maka negara akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar sehingga mampu mebiayai administrasi negara dan menyejahterakan rakyat tanpa harus mengambil utang luar negeri dan pajak. Selain itu, akan tercipta lapangan pekerjaan yang lebih luas untuk rakyat. Persediaan minyak dan gas juga terjamin dan bisa diakses oleh masyarakat dengan harga yang murah tanpa memandang miskin atau kaya.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw.: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput dan api." (HR. Ahmad)
Sayangnya, selama sistem kapitalisme masih diterapkan di negeri ini, keinginan mengelola sendiri sumber daya alam yang ada hanya tinggal mimpi. Hanya dalam sistem Islam hal ini bisa diwujudkan. Maka saatnya umat Islam beralih kepada sistem yang diturunkan oleh Sang Pencipta dan meninggalkan sistem kufur buatan manusia.
Wallahualam bissawab. []
إرسال تعليق