Oleh Sumiyati
Pemerhati Umat 


Baru-baru ini tren #KaburAjaDulu di berbagai sosial media dan menjadi topik tren unggahan di Indonesia dalam platform X. Makna dari tren #KaburAjaDulu merupakan ajakan pindah ke negara lain. Baik dalam bentuk mendapatkan beasiswa luar negeri, lowongan pekerjaan, ataupun yang lainnya. (CNNIndonesia, 7/2/2025)

Kondisi seperti ini tidak terlepas dari pengaruh digitalisasi yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dari sosial media-lah mereka melihat dan melakukan perbandingan kehidupan antar negara. Hal ini terlihat di beberapa cuitan di X yang mengaitkan tagar #KaburAjaDulu dengan tagar yang viral juga yaitu #PeringatanDarurat. Bahkan cuitan tersebut berisi keluhan netizen yang melihat kondisi Indonesia yang tidak baik-baik saja dengan segala permasalahan yang ada. 

Mungkin terlihat biasa saja, tapi hal ini memberikan dampak yang luar biasa di kalangan masyarakat untuk benar-benar pindah demi mendapatkan kesejahteraan hidup yang sesungguhnya. Contoh keluhannya: pendidikan yang rendah, lapangan pekerjaan, jaminan kehidupan hidup yang sejahtera yang tidak ada dibandingkan negara lain. 

Pendidikan yang rendah di dalam negeri bertemu dengan banyaknya tawaran beasiswa dari luar negeri di negara maju memang menjadi peluang untuk "kabur". Sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri bertemu dengan berbagai macam tawaran pekerjaan dari luar negeri mulai dari pekerjaan terampil maupun kasar dengan gaji yang lebih tinggi di negara maju. 

Kondisi ini tidak terlepas dari brain drain yang menjadi isu yang krusial dalam konteks globalisasi/liberalisasi ekonomi yang semakin kuat dan semakin memperlebar kesenjangan negara maju dan negara berkembang, yang menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumber daya dan kesempatan. Hal ini menggambarkan kegagalan kebijakan politik ekonomi dalam negeri dalam memberikan kehidupan yang sejahtera.

Fenomena brain drain di Indonesia. Walaupun tidak secara masal, pada tahun 1960an,  banyak mahasiswa Indonesia yang tak pulang ke tanah air. Sebut misalnya, ketika perubahan politik tahun 1965 dari Orde Lama ke Orde Baru, banyak mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas di Rusia ataupun PT di negara Eropa Timur dan memilih tak pulang ke tanah air.   

Demikian juga pada tahun 1980an, ketika Menristek BJ Habibie mengirim ratusan remaja potensial untuk belajar ke luar negeri. Banyak para lulusan LN tersebut yang tak langsung pulang dan berkhidmat di dalam negeri. Mereka banyak yang memilih bekerja di berbagai perusahaan di AS.

Demikian juga ketika Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) mengirimkan ribuan tenaga mudanya untuk  dididik dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka dikirim untuk menjadi ahli pesawat, ahli telekomunikasi, ahli kelautan, ahli satelit, dan sebagainya. Namun, dengan adanya restrukturisasi kebijakan BPIS, banyak para profesional tersebut yang menganggur. Kemudian mereka brain drain ke berbagai perusahaan di  luar negeri.

Fenomena brain drain  sekarang ini telah berevolusi. Tidak hanya sebagai diaspora Indonesia (orang Indonesia di perantauan) yang berstatus ilmuwan dan peneliti kelas atas. Tetapi juga kelompok diaspora yang memilih berkarir dan bekerja di berbagai sektor pekerjaan di perusahaan di luar negeri. Dengan demikian urusan pemulangan ke Tanah air, bukan hanya pertimbangan ketersediaaan perusahaan yang menawarkan gaji tinggi. Tetapi juga berkorelasi dengan tata nilai kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat di Tanah air. Termasuk governance system yang menjunjung tinggi clean governance dengan sistem birokrasi yang bersih dan tidak koruptif.

Akibat Sistem Kapitalisme

Dari permalasahan yang ada, tidak terlepas dari diterapkannya sistem kapitalisme yang dijadikan asas negeri ini. Kesenjangan ekonomi bukan hanya terjadi di dalam negeri saja, tapi juga di tingkat dunia, antara negara maju dan negara berkembang. Kesenjangan ini terlihat sekali, hal inilah yang membuat sebagian masyarakat memilih untuk "kabur" dari negara asalnya, baik yang profesional dalam bidang tertentu maupun kerja kasar. 

Indonesia belum mampu memberikan pendidikan yang berkualitas terhadap anak bangsa. Dalam sistem kapitalisme, tidak bisa sekolah di sekolah yang bagus. Sekolah yang bagus dan layak hanya diciptakan bagi masyarakat yang bagus finansialnya. Begitu pula dalam masalah pekerjaan, lowongan yang terbatas, gaji yang standar yang tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluarga. Meskipun Indonesia kaya akan sumber daya manusia (SDM) maupun terkenal dengan sumber daya alamnya (SDA), tapi belum mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Permasalahan ini merenggut keutuhan sebuah negara.

Berbeda dengan Islam, 
Islam mewajibkan negara membangun kesejahteraan masyarakat dan kewajiban negara memenuhi kebutuhan asasi masyarakat. Banyak hal yang bisa di lakukan oleh negara dalam hal ini. Misalnya, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki baligh. Baik dalam sektor pertanian, perdagangan, industri dan jasa dengan pengelolaan SDA yang Allah titipkan dengan sebaik mungkin. Islam menetapkan bahwa penguasa adalah raa’in (pengurus). 

Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Ingatlah setiap kalian adalah raa’in (pemimpin/pengurus) dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Khalifah sebagai orang yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Jika sebaliknya, maka azab Allah atasnya karena kelalaiannya dalam menjalankan tugas sebagai seorang Khalifah. Rasul juga mengingatkan dengan sabdanya, haramnya surga bagi pemimpin yang abai atau tidak memperhatikan rakyat dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, sistem pendidikan dalam negara khilafah mampu menyiapkan SDM yang beriman dan siap membangun negara. Negara juga peduli dan menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Negara yang besar akan menyadari pentingnya menjaga aset bangsa (generasi berkualitas). Satu-satunya negara yang visioner dan mampu melahirkan generasi berkualitas berprofil kepribadian Islam ialah Khilafah. Khilafah bertanggung jawab membentuk generasi cemerlang dan berkontribusi bagi kemaslahatan umat serta negara.

Para intelektual yang telah mengenyam pendidikan dalam Khilafah menjadi aset untuk memajukan peradaban. Mereka tidak pergi ke negeri mana pun karena menyadari peran strategis yang ada di pundak mereka untuk menjadikan Khilafah sebagai negara adidaya dan berpengaruh besar dalam kancah dunia.

Khilafah menerapkan kebijakan komprehensif, baik sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan pergaulan demi melahirkan generasi pemimpin peradaban. Dalam hal ini, pendidikan merupakan kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib negara penuhi hingga tingkat perguruan tinggi.

Sungguh tidak ada solusi lain selain kembali pada sistem yang datang dari Allah SWT yang menjamin seluruh solusi atas segala permasalahan yang ada. Tidak lain dan tidak bukan yaitu sistem Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT.
Wallahualam bissawab.

Post a Comment

أحدث أقدم