Oleh: Annisa Dinda Apriansyah


Begitu memprihatinkan kala harus menyaksikan kondisi rakyat Indonesia dewasa ini. Rakyat seolah sedang dicekik dari berbagai penjuru. Salah satunya adalah harga sejumlah bahan kebutuhan pokok naik pada pekan kedua Juli. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), bahkan kenaikan paling jelas terlihat pada harga daging ayam. CNNIndonesia (08/07)

Tak hanya kenaikan sembako yang membuat rakyat Indonesia pusing tujuh keliling, rupanya bertambahkan beban rakyat dengan informasi bahwa BPJS yang katanya menjadi tulang punggung kesejahteraan rakyat dalam bidang kesehatan akan mengalami kenaikan. Bahkan tak tanggung-tanggung kenaikan tersebut mencanangkan hingga dua kali lipat. Rencananya Presiden Jokowi akan segera merilis peraturan presiden (Perpres) kenaikan iuran BPJS Kesehatan. liputan6.com (30/08)

Kenaikan iuran yang diatur dalam perpres tersebut akan mengacu pada usulan kenaikan yang sebelumnya disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR. Saat itu, Sri Mulyani mengusulkan iuran BJKN kelas Mandiri I naik 100 persen dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per peserta setiap bulan mulai 1 Januari 2020 mendatang. 

Tak mungkin muncul asap kalau tidak adanya api, sama halnya dengan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini yang pastinya ada alasan yang kuat. Sri Mulyani bermaksud dengan iuran BPJS yang dinaikkan ini bisa menutupi defisit keuangan BPJS yang terus terjadi setiap tahunnya. Pada 2014 Rp1,9 triliun, kemudian naik pada 2015 jadi Rp9,4 triliun. Pada 2016 mengalami penurunan menajdi Rp6,4 triliun. Sayangnya harus kembali naik lagi di tahun 2017 menjadi Rp13,8 triliun. Naik lagi pada 2018 mencapai Rp19,4 triliun dan tahun ini berpotensi naik tajam menjadi Rp32,8 triliun.

Kini Iuran BPJS kelas Mandiri II naik dari Rp59.000 menjadi Rp110.000 per peserta setiap bulan. Kemudian, iuran kelas Mandiri III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 per peserta setiap bulan. Menurutnya, bila iuran BPJS Kesehatan naik, maka persoalan defisit anggaran perusahaan akan terselesaikan.

Nampak jelas terjadi pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang seharusnya ada di pundak Negara beralih ke pundak seluruh rakyat yang memang telah diwajibkan menjadi peserta BPJS.  Seperti yang dipaparkan oleh Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN: “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (sjsn.menkokesra.go.id).

Negara seolah lepas tangan. Pasalnya, jaminan kesehatan yang seharusnya menjadi hak rakyat yang tentunya menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi, kini akhirnya berubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat dipaksa saling membiayai pelayanan kesehatan diantara mereka melalui sistem JKN dengan prinsip asuransi sosial. Saling menanggung itulah yang dimaksudkan dengan prinsip kegotongroyongan.

Selain kenaikan sembako dan iuaran BPJS, ternyata perihal tarif listrik pun ikut semakin mecekik rakyat Indonesia. Setelah black out pemadaman listrik hampir diseluruh pulau Jawa, yang penyelesaiannya menguap begitu saja, PT PLN (Persero) segera menaikan tarif listrik. Saat ini, perusahaan setrom negara itu masih akan menyisir pelanggan listrik Rumah Tangga Mampu (RTM) untuk menerima tarif penyesuaian (tarif adjusment). 

Lagi-lagi rakyat yang dipalak. Padahal, listrik adalah salah satu dari sekian banyak kebutuhan dasar rakyat. Hampir semua aktivitas tidak bisa dilepaskan dari pasokan listrik. Aktivitas warga di rumah sangat bergantung pada barang elektronik seperti pemasak nasi, pompa air, mesin cuci, blender, lampu, televisi, laptop, charger hp, dan lain-lain. 

Belum lagi utang luar negeri yang kian menumpuk. Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri Indonesia hingga Mei 2019 mencapai US$ 368,1 miliar atau sekitar Rp. 5.153 triliun (Kurs jisdor akhir Mei Rp 14.313 ribu per dolar AS). Sungguh angka yang fantastis. Masalah disintegrasi di Papua saat ini pun kian memanas. Suasana Papua sempat mencekam setelah unjuk rasa pada pekan lalu berujung kerusuhan. Para demonstran membakar sejumlah gedung dan aliran listrik sempat padam.

Pindah Ibu Kota Benarkah Solusi?

Di tengah sekian banyaknya permasalahan yang ada di Indonesia, wacana pemindahan ibu kota bergulir. Pada Senin, 26 Agustus 2019 pemerintah mengumumkan secara resmi lokasi Ibu Kota Negara kini bertempat di Kalimantan. Tepatnya di Kalimantan Timur di bagian Kabupaten Panajem Passer Utara dan Kutai Kerta Negara. 
Dalam konferensi pers di Istana Negara, Senin (26/8), Presiden menyampaikan sejumlah pertimbangan menjadi alasan di balik terpilihnya Kaltim sebagai lokasi ibu kota baru. Alasan di balik pemindahan ibu kota baru ini, ujar Jokowi, antara lain minimnya risiko bencana di Kaltim, termasuk gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, hingga tanah longsor. Balikpapan.com (26/09/19)

Infrastruktur yang sudah lengkap di Kalimantan Timur, serta lahan pemerintah yang seluas 180.000 hektar juga menjadi alasan lain ibu kota berpindah ke provinsi ini. Hal tersebut membuat pembiayaan untuk persiapan pembangunan akan lebih ditekan. Alasan lain yang juga dikemukakan adalah pentingnya mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia Timur. (katadata.co.id) 

Pertanyaannya benarkah pemindahan Ibu Kota ini adalah solusi terbaik ditengah begitu banyaknya permasalahan dan kebutuhan rakyat Indonesia? Akankah kehidupan bangsa ini semakin baik dan sejahtera, dan beban masyarakat semakin berkurang? 

Jika kita melihat sejenak ke belakang, rupanya Malaysia di tahun 1999 juga menjadi salah satu negara yang memindahkan ibu kotanya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Brazil juga memindahkan Ibu kotanya dari Rio De Janeiro ke Brazilian City. Tetapi rupanya China lebih spektakuler. Dalam dekade terakhir ada sekitar 50 kota baru yang dibangun.

Negara-negara yang membangun kota baru dan memindahkan Ibukotanya seperti Malaysia dan Brazil, melakukannya ketika pertumbuhan ekonomi mereka sedang berjaya. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa waktu terakhir mengalami pertumbuhan yang tidak terlalu cepat. Di era Presiden Joko Widodo pertumbuhan ekonomi RI tumbuh di kisaran 5%. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjelaskan penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif stagnan. (finance.detik.com) 

Tentu saja dalam keadaan semacam ini, kebijakan Presiden Joko Widodo dipertanyakan dan bahkan dikritik. Jika roda ekonomi dinyatakan stagnan, lalu pertanyaan besarnya adalah darimana pembiayaan pindah ibukota yang menurut keterangan Presiden jumlahnya dalam kisaran 466 trilyun rupiah?

Benarkah Indonesia berhutang lagi? Bukakah hal tersebut malah menjadi permasalahan baru untuk negara? Harus ditanggalkan kemana harga diri bangsa ini jika Ibukota barunya dibiayai oleh negara lain. Saat jumpa pers Presiden menyebutkan bahwa pembiayaan berasal dari APBN 93,5 Trilyun dan menjual asset negara serta menyewakan asset terutama yang berada di Jakarta.  (republika.com). Banyak pihak yang mempertanyakan,  pos APBN mana yang bisa dipakai? Bayar tunggakan BPJS saja tidak mampu. Bayar pegawai honorer pun tidak bisa.

Saat jumpa pers Presiden Joko Widodo pun menyampaikan bahwa Jakarta sebetulnya sudah terlalu berat menampung beban, apalagi ditambah bebannya sebagai Ibukota Negara. Pertanyaannya adalah, mengapa beban harus bertumpuk di Jakarta? Sebab daerah ini sudah tak lagi menarik sebagai peluang usaha dan bisnis, apalagi dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan, hanya 5%.

Salah urus ini pulalah  mengakibatkan ketersendatan ini menjalar seperti wabah sampai ke daerah. Lalu bak halilintar, tersiar kabar mengenai perpindah ibukota. Takkah ini seperti menambah masalah saat masih bergelut dalam masalah? Niat mencari solusi tetapi malah menumbuhkan masalah baru?

Sebetulnya, jika pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 7%, pekerjaan rumah terselesaikan, atau setidaknya ada kejelasan arah penyelesaian, tata kelola ekonomi yang adil, maka pemindahan Ibukota bukanlah sebuah masalah besar.  Namun dalam konstelasi ekonomi dan geo politik saat ini, pemindahan Ibukota dicitrakan, pemerintah lebih mementingkan “sesuatu”, dibanding mensejahterakan rakyat. Padahal sejatinya mensejahterakan rakyat adalah tugas utama dari pemerintah/ negara.


Islam adalah Solusi 

Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibukota negara.  OpiNamun alasan utama saat itu semua adalah politik.  Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah.  Damaskus saat itu sudah ibukota musim panas kekaisaran Byzantium.  Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad.   

Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia.  Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo.  Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir’aun.  Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia.  Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantin.  Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanyalah Baghdad.

Luar biasanya, walaupun beberapa kali pindah ibu kota, kekhilafahan Islam tetap menjadi adidaya hingga sekitar 13 abad lamanya. Hal ini karena Islam memiliki beberapa landasan yang selalu diperhatikan dalam pembentukan ibu kota baru, yakni :

Pertama, falsafah ideologi yang melandasinya. Urgensi yang memengaruhi adanya ibu kota baru salah satunya, urgensi politik yang menjadi alasan adalah kondisi rawan banjir, kepadatan penduduk yang tidak merata maupun kepentingan politik praktis lainnya seperti kondisi politik yang memanas. Dalam Islam falsafah ibu kota baru adalah tanggung jawab negara untuk memakmurkannya.

Kedua,  landasan kebijakan ekonomi yang mensejahterakan. Dalam ekonomi Islam mengatur bahwa kepemilikan ekonomi terbagi menjadi 3 ranah. Yaitu, kepemilikan individu, umum dan negara.  Kepemilikan umum berupa barang tambang, hutan, laut, sumber energi, dan kekayaan alam lainnya harus dikelola oleh negara dengan tujuan untuk menyejahterakan rakyatnya. Sedangkan BUMN dan BUMD akan menjadi kepemilikan negara dan pemegang hak pengelolaan kepemilikan umum. Dengan demikian akan tersedia sumber dana yang mencukupi dalam pembentukan ibu kota.

Ketiga; landasan kebijakan pemerataan kemakmuran dan kemajuan diseluruh wilayah negara yang didasarkan pada kebutuhan bukan jumlah kekayaan yang dihasilkan. Proses pemerataan penduduk pun dilakukan dengan adanya program transmigrasi yang berkesinambungan.  Selain itu, pemerataan pembangunan di daerah menjadi daya dukung bagi pemerataan penduduk. Dengan demikian keinginan daerah untuk otonomi bahkan referendum seperti Papua misalnya bisa dicegah.

Dari sini, maka jelaslah hanya Islam  satu-satunya yang mempu mengatasi masalah dengan solusi dan hingga tuntas, termasuk permasalahan pemindahan ibu kota ini. Islam menyatakan, bahwa keberadaan ibu kota bukan hanya wacana tanpa rencana, bukan pula sekedar sikap politis apalagi wujud tekanan kaum komprado, tetapi lebih besar dari itu. Keimanan menjadi kekuatan besar bagi setiap perbuatannta, setiap pemimpin berkeyakinaan bahwa pertanggungjawaban dunia akheirat di tangannya.

Fakta sejarah di atas telah membuktikan kekuatan islam dan intusisnya yang menjadi negara adidaya, mampu menjadi contoh dan mercusuar bagi dunia. Islam mampu menyelesaikan masalah dengan solusi, menyelesaikan masalah tanpa dengan merajut masalah lain. Berbeda halnya dengan pemindahan ibu kota dalam sistem kapitalis yang amat menyusahkan, dimulai dari pembiayaan yang mahal, pun dengan tanpa ada pertimbangan yang matang sehingga membuat masyarakat resah dan terkena imbas batunya, sehingga menimbulalkan kegusar dan gundahan di masyarakat. 

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (TQS Al Anbiya: 107).

Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada fitrah kita sebagai seorang hamba, kembali menjadikan Islam sebagai satu-satunya jalan dan solusi dengan cara menerapkannya diseluruh aspek kehidupan, menerapkannya secara kaffah. Niscaya segala kegundaha yang dirasakan seperti saat ini tak akan terjadi lagi. Malah sebaliknya, kala kita menerapkannya ketenangan, keamanan, kenyamanan, ketentramanlah yang akan dirasakan. Sama seperti kala Islam berada dipuncak kegemilangannya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama