Oleh: Aisyah Ummu Naya


Revisi Undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba saja disahkan pembahasannya dalam rapat paripurna Kamis (5/9/2019). Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan, revisi UU KPK yang dibahas secara senyap merupakan upaya sistematis untuk melemahkan KPK, dimulai dari proses seleksi pimpinan KPK. Donal pun membeberkan setidaknya ada 20 pasal dalam revisi UU KPK yang dianggap bermasalah. Pasal-pasal itu merupakan pasal yang mengatur penyadapan hingga pembentukan dewan pengawas KPK beserta hak dan kewenangannya. (Kompas.com)

Korupsi sudah ditetapkan sebagai kasus luar biasa (extraordinary crime). Berdasarkan kajian dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis pada Minggu (28/4/2019), kerugian negara akibat korupsi pada 2018 mencapai Rp 9,29 triliun. Pelaku korupsi merata di semua instansi. Mulai dari anggota DPR dan DPRD, pejabat kementerian, pejabat BUMN, gubernur, bupati hingga petinggi partai politik. Korupsi seolah telah berurat berakar di masyarakat Indonesia.

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa korupsi pejabat dan kepala daerah masih saja terus terjadi? Padahal upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan?

Jika kita telisik lebih dalam, ada beberapa faktor mengapa pemberantasan korupsi sangat sulit dilakukan.  Pertama, sistem sekulerisme  dengan akidah pemisahan agama dari Negara dan kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketaqwaan hilang dari politik dan pemerintahan.  Akibatnya tidak ada kontrol internal yang built in menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai.   Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi.  Butuh biaya besar untuk membiayai kontentasi menjadi kepala daerah bahkan presiden, tidak mungkin tertutupi dengan gaji dan tunjangan selama menjabat. Ketiga, korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian masih lemah.  Berbagai laporan BPK dari tahun ke tahun membuktikan hal itu.  Banyak dari temuan BPK yang terindikasi kasus korupsi atau merugikan Negara tidak ditindak lanjuti oleh penegak hukum.Keempat, dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong bahkan kepentingan koruptor.  Hal mendasar adalah sistem hukum.  Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos.  Sanksi bagi koruptor juga ringan.  Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera.

Pemberantasan korupsi akan sangat sulit dilakukan jika sistem yang digunakan masih sistem yang ada sekarang, buktinya sampai saat ini masalah korupsi tidak pernah tuntas bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya,  Hal ini terjadi karena sistem sekuler yang sedang diberlakukan saat ini justru menjadi sebab maraknya korupsi.  Oleh karena itu, diperlukan sistem lain yang akan mampu menyelesaikan korupsi hingga akarnya.  Tidak lain sistem tersebut adalah sistem Islam. 

Berikut beberapa faktor bagaimana sistem Islam mampu memberantas korupsi:  pertama, dasar aqidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Alloh dan melahirkan ketaqwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai, dan masyarakat.  Hal ini melahirkan control dan pengawasan internal yang built in menyatu dalam diri pemimpin, politisi, pejabat, aparatur dan pegawai, yang bisa mencegah mereka untuk korupsi. Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal.  Faktor maraknya korupsi yaitu untuk mengembalikan modal biaya politik plus keuntungan jelas tidak ada.  Karenanya tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal ditambah keuntungan itu.Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amar ma’ruf dan nahyi munkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa.  Keempat, struktur dalam sistem Islam, semuanya berada dalam satu kepemimpinan kepala negara yakni imam atau khalifah, sehingga ketidakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. Kelima, praktek korupsi, andai terjadi, bisa diberantas dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tidak terjadi.  Dalam syariah, kriteria harta ghulul, yakni harta yang diperoleh secara illegal itu jelas.  Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan—sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat dan sebagainya yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal; semua itu termasuk harta ghulul.  Di akhirat akan mendatangkan azab.

Sanksi dalam Islam bagi pelaku korupsi merupakan bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindakan korupsi diserahkan pada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim).  Bisa disita seperti yang dilakukan khalifah Umar, atau tasyhir(diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat.

Dengan sistem Islam, pemberantasan korupsi bisa benar-benar dilakukan hingga tuntas.  Aturan Islam ini lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi.  Islam menyelesaikan masalah dari hal yang mendasar sampai cabangnya.  Sistem Islam juga memiliki cara dalam pencegahan, hingga penyelesaian. 

Oleh karena itu, betapa kita rindu dengan penerapan sistem Islam ini, yang bisa membawa umat kepada keberkahan dan kesejahteraan. 
Wallahu’alam bi ash shawab. 
 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama