Oleh : Fitri Solihah

Dilansir oleh Detiknews.com- Angka kemiskinan nasional September 2019 yang baru saja dirilis Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 15 Januari lalu telah mencapai 9,22%. Persentase ini menurun sebesar 0,19% poin dari kondisi pada bulan September 2018. Jika dilihat dari jumlahnya, pada bulan September 2019 lalu masih terdapat 24,79 juta orang miskin di Indonesia. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan turun menjadi 6,56% dan menjadi 12,60% untuk pedesaan.

Saat ini, kemiskinan yang menimpa umat merupakan kemiskinan struktural atau sistematik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang berlaku yaitu penerapan sistem kapitalisme termasuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Maka, pengentasan kemiskinan total mustahil dilakukan, karena dalam sistem kapitalisme hanya mengedepankan para pemodal, yang kaya semakin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin dan terhimpit.

Upaya penurunan angka kemiskinan lebih banyak mengota-atik angka melalui pembuatan standarisasi. Bukan menghilangkan kondisi miskin secara nyata, tetapi hanya memastikan semua pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.

Kemiskinan massal adalah kondisi laten akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Sehingga, hal ini diakui oleh para ahli yang akhirnya beranggapan bahwa yang bisa dilakukan hanyalah penurunan angka kemiskinan. Akan tetapi, karena sistem kapitalisme yang berdaulat adalah para pemilik modal, sehingga bukannya menuntaskan kemiskinan secara total melainkan dengan kekuatan modalnya mereka bisa menguasai dan mengeruk sumber daya alam. Oleh karena itu, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh korporasi-korporasi asing, bukan oleh rakyat yang notabene adalah pemilik sumber daya.

Di sisi lain, rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya di bidang kesehatan, misalnya rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.

Berbeda dengan standar Islam, kemiskinan tidak dilihat dari besarnya pengeluaran atau pendapatan. Tetapi, dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok mencakup sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan secara layak.
Allah SWT berfirman:

…وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ 

"Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." (TQS Al-Baqarah [2]: 233).

Menurut ayat di atas, secara individual Allah SWT memerintahkan setiap muslim yang mampu mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Rasulullah saw. juga bersabda:

طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ

"Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban diantara kewajiban yang lain." (HR Ath-Thabrani)

Secara jama'i, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk saling memperhatikan saudaranya yang berkekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ

"Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu." (HR Ath-Thabrani dan Al-Bazzar).

Secara kenegaraan, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk menanggung kebutuhan pokoknya. Rasulullah saw. bersabda:

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Oleh karena itu, saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syari'ah Islam yang berasal dari Allah SWT.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama