Oleh : Nur Hikmah 
Tim Remaja Smart With Islam Pasuruan

Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain menanggapi pengrusakan musala di Minahasa Utara dan Sumatra Utara (Sumut). Masjid di Sumut, tepatnya di Jalan Belibis, Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dilempari batu pada Jumat malam (26/1) lalu.

Sedangkan musala di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dirusak puluhan massa pada Rabu malam (29/1/2020).

Luar biasa, pengrusakan ini terjadi tidak kurang dari selang satu minggu.  Memang  Indonesia punya catatan panjang soal kebebasan mendirikan dan memiliki rumah ibadah, khususnya bagi umat agama minoritas. Imparsial mencatat ada 31 kasus pelanggaran terhadap hak KKB di Indonesia dalam setahun terakhir. Sebanyak 11 di antaranya merupakan perusakan terhadap rumah ibadah.
Tapi sayang, seolah menenggelamkan kejadian ini. 

Seperti yang dilansir oleh politik.rmol.id, bahwasannya komentar Menteri Agama Fachrul Razi soal kasus perusakan musala di Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), yang viral di media sosial, menjadi polemik. Fachrul menyatakan, perusakan tempat ibadah jika dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia memiliki rasio yang sangat kecil di banding rumah ibadah di Indonesia.

Di manakah kata toleransi yang sering digaungkan oleh pejabat negeri ini? Seolah jika umat Islam yang menjadi korban, muslim dipaksa untuk menerima minoritas, dan bersabar.

Demokrasi, sistem pemerintahan yang dianut oleh negara ini yang lebih berkonsentrasi pada pembelaan terhadap minoritas, sehingga sangat potensial memicu tirani minoritas termasuk dalam masalah sikap beragama.
Inilah sebab kenapa pengrusakan rumah ibadah banyak terjadi. Selain karena bangunan kerukunan agama di tengah masyarakat kita lemah. 

Di sisi lain,  negara ini pun terbukti tak mampu dalam menghentikan masalah kerukunan agama. Sampai terjadilah pengrusakan masjid ini, padahal sejatinya Muslim Indonesia sudah sangat toleran.
Seandainya kejadian ini pelakunya kita balik,  yang membuat pengrusakan adalah muslim. Mereka akan dituduh intoleran bahkan radikal. Terkuak bahwasannya demokrasi gagal mewujudkan kerukunan agama yang hakiki. Maka kita butuh solusi, bagaimana cara mewujudkan kerukunan antar agama?

Jawabannya adalah Islam. Sistem Islam berhasil dalam mewujudkan kerukunan beragama. Praktek Toleransi sudah jauh lama dipraktekkan oleh Islam sebelum diselewengkan maknanya oleh orang-orang Barat untuk menyerang Islam.
Praktik toleransi pada masa Nabi saw. dan khulafaur rasyidin telah terbukti berhasil mewujudkan kerukunan agama. 

Setelah kekuasaan Daulah Islamiyah meluas ke Jazirah Arab. Nabi saw. memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah, Jarba', Adzrah dan Maqna yang mayoritas penduduknya beragama kristen.
Bahkan Nabi saw. juga memberikan perlindungan atas harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Praktik ini menunjukkan bahwasannya Nabi toleran terhadap orang-orang kafir, dan tidak memperlakukan mereka semena-mena. 

Bahkan di masa para khalifah, ketika kekuasaan Islam telah meluas hampir 2/3 dunia. Tidak ada tindakan intoleran terhadap orang-orang kafir. Bahkan penerapan syariah Islam, menciptakan kenyamanan, keamanan dan keadilan bagi orang-orang muslim dan orang-orang kafir. 

Dalam buku Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Khalifah Umar bin Al Khattab ra. 
"Pada tahun 637 M, Umar bin Khattab memasuki Yurusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram asy-Syarif. Di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Muhammad saw. melakukan perjalanan malamnya.
Sang Uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penakhlukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh nabi Daniel.
Pastilah, Umar ra. Adalah sang anti kristus yang akan melakukan pembantaian dan menandai datangnya hari kiamat. Namun kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.

Setelah itu penduduk Palestina hidup damai, tentram dan rukun padahal menganut tiga agama yang berbeda, Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka saling menghargai satu sama lain, kalimat lakum diinukum waliyadiin sudah final dalam kerukunan beragama mereka.
Karena itu saatnya kita kembali kepada sistem yang sempurna mengatur toleransi. Sistem yang terbukti membangun kerukunan agama, yakni sistem Islam.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama