Oleh : Millah Al-Munawwaroh


Hampir tiga pekan ini para anak didik belajar di rumah, sejumlah sekolah, kampus bahkan pesantren semi-lokcdown,sehingga para mahasiswa & para santri pun dipulangkan dan belajar secara online. Namun demikian, diberitakan di sejumlah media, bahwa para murid justru _stress_ karena _dirumahkan_. Juga karena tugas yang dibebankan begitu banyak. Orang tua, khususnya ibu, konon tak kalah _horor_ menghadapi putra -putrinya yang mendadak sekolah di rumah. Sempat viral sebuah artikel terkait fenomena ini yang pada intinya, para ibu tidak siap menjadi _madrasatul 'ula_ (sekolah pertama dan utama) bagi anak-anaknya. Ini memang sangat terasa ketika sekarang ini sekolah itu tiba-tiba berpindah ke rumah.  
      
Tak bisa dipungkiri saat ini memang era sekularisme yang sudah begitu pekat. Mulai tahun ajaran 2017/2018, sejumlah sekolah pun menetapkan full day school. Para murid harus berada di sekolah mulai pukul 07.00 hingga kurang lebih pukul 15.30. Meski sekolahnya memang menjadi 5 hari, senin-jum'at. Dampaknya, anak-anak terlalu lama di sekolah dan mereka sudah lelah ketika sudah sampai di rumah. Sedangkan pada malam harinya mereka juga masih harus mengerjakan tugas ini dan itu, sehingga anak-anak tak sempat lagi bercengkrama dengan dunianya di luar sekolah. Sementara di sisi lain, terjadi juga gerakan secara sadar di sebagian kalangan umat islam untuk mengirim anaknya ke pondok pesantren. 
      
Ada satu hal yang pasti, baik fenomena _full day school_ maupun _mondok_, semuanya sama-sama ingin mengefektifkan potensi anak agar tidak terlalu banyak "bermain". Artinya, diharapkan agar anak konsentrasi dengan sekolahnya, terlebih tantangan pada pergaulan bebas dan kenakalan remaja yang semakin menggila. Akan tetapi jika arus sekularisasi dan liberalisasi itu tadi tidak diputus atau dihilangkan, maka kerusakan generasi itu tentu akan senantiasa mengancam meski anak full disekolah maupun dipondokkan. Namun semua kondisi ini memang sangat berat jika mendadak pindah ke rumah. Apalagi dengan kondisi anak dan orang tua yang sama-sama tidak siap. Sungguh berat terutama bagi orang tua yang selama ini terlalu mengandalkan sekolah untuk anaknya menjadi seorang pelajar. 
      
Terlebih yang terjadi di masyarakat saat ini tidaklah sejalan dengan cita-cita _output pendidikan_ (sistem pendidikan tentu selalu diharapkan menuju terwujudnya generasi yang cerdas dan peduli negeri). Belum lagi keluarga sebagai pelaku utama pendidikan generasi yang juga mayoritas masih berbasis sekuler. Dan masih banyak pula keluarga muslim yang tidak menyadari pentingnya memiliki tujuan untuk melahirkan generasi dambaan umat. Belum lagi tantangan Internal dari diri orang tua, banyak diantara mereka yang enggan bersungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar tauhid (keislaman) yang memadai bagi anak-anak, serta mereka lemah dalam mengawasi pergaulan anak. Sungguh di era sekuler ini semakin nyata, parahnya disfungsi keluarga. Padahal keluarga adalah salah satu pihak yang melaksanakan amanat mendidik generasi. 
      
Dengan begitu memang benar, keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi para calon pemimpin. Dimana para ibu adalah "gurunya"  dan para ayah adalah "kepala sekolahnya" sehingga menjadi wadah pertama pembinaan keislaman dan sekaligus membentengi anak-anak dari pengaruh negatif dari luar, peran keluarga menjadi penting karena orangtua lah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mental. Justru bisa menjadi sarana untuk merevitalisasi peran keluarga dalam mendidik generasi pada masa physical distancing para murid dengan bersekolah di rumah saat ini, dan akan saling mendekatkan diri antaranggota keluarga. Dengan syarat, semua diupayakan dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT agar yang dihasilkan tidak malah memicu stres, melainkan memicu semangat untuk mewujudkan visi penciptaan manusia itu sendiri yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah ta'ala dalam QS. Adz-dzariyat [15] ayat 56 :
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الجِÙ†َّ والإِÙ†ْسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُÙˆْÙ†ِ

"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku" 

Karena bagaimanapun, kelayakan psikosistemis kaum muslimin memang hanya bisa diraih dengan sistem kehidupan islam bukan kehidupan sekuler atau liberal ini. Dan hanya Khilafahlah satu-satunya sistem kehidupan yang akan mampu mewujudkan pendidikan generasi cerdas, taat, dan peduli negeri. Serta menjamin terlahirnya generasi dambaan Umat.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama