Oleh: Sri Mulyati
Mahasiswi dan Member Amk
Korupsi di kala pandemi
Oleh menteri yang tak berempati
Di saat rakyat terancam mati
Karena terjerat masalah ekonomi
Bantuan sosial yang diberikan
Dipotong di tengah jalan
Tak mengenal belas kasihan
Layaknya orang kehilangan iman
Begitulah suara hati rakyat yang terzalimi atas kasus korupsi Menteri Juliari. Lagi-lagi kasus korupsi mewarnai negeri ini. Tidak pernah ada kata usai saat Indonesia masih menerapkan sistem demokrasi. Kerakusan yang ditonjolkan para pejabat memperlihatkan watak asli para kapitalis, yang ada di dalam benaknya hanya mementingkan isi perut. Paket Bantuan Sosial yang diperuntukan untuk rakyat demi keberlangsungan hidup mereka di kala pandemi. Kini telah terbongkar, tidak sepenuhnya sampai kepada rakyat full.
Perjalanan paket Bantuan Sosial tidak selalu mulus, ada saja oknum-oknum yang gatal ingin mencicipi dana ini yang jumlahnya cukup besar. Tidak tanggung-tanggung total korupsi Julian Peter Batubara senilai 17 Milyar Bansos corona. Menurut ketuka KPK Firli Bahuri mengatakan uang tersebut diterima oleh Menteri Sosial Julian Peter Batubara dari fee dua periode pengadaan paket Bansos yaitu bukan Oktober sampai bulan Desember. (Detiknews.com, 06/12/2020).
Menteri yang tidak punya hati dan kehilangan rasa empati. Di masa pandemi rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi, pak menteri masih terpikir untuk korupsi. Rencana pemerintah untuk menetapkan hukuman mati pada kasus korupsi pun hanya dijadikan wacana saja, tidak serius dijadikan solusi dalam menangani kasus korupsi di negeri ini.
Terlihat adanya penolakan keras atas hukuman itu oleh Institute for Criminal Justice (ICJR) atas pernyataaan Firli Bahuri tentang hukuman mati untuk Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Erasmus (ICJR) menilai hukuman mati tidak mampu menyelesaikan problem korupsi dengan membandingkan negara lain atas hal ini. (Merdeka.com, 06/12/2020)
Kasus korupsi serupa sesungguhnya telah terjadi di Kementrian Sosial periode 2019 oleh Menteri Sosial sebelumnya. Kini kasus yang sama terulang. Bagaimana tidak, kucuran dana untuk rakyat didistribusikan melalui program Kementrian Sosial dari pemerintah pusat. Hal ini menjadi sasaran empuk adanya korupsi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi Sang Menteri. Padahal, di luar sana masyarakat membutuhkan uluran tangan seperti paket Bansos.
Dari awal pemerintah memang tidak fokus dan serius dalam menangani kasus korupsi. Aturan buatan manusia yang tertuang dalam undang-undang beserta pasal-pasalnya hanya dijadikan sebagai hiasan belaka. Tidak nyata dan serius diterapkan. Seperti hukuman mati. Wacana penerapan hukuman mati jelas tidak menjadikan seseorang merasa takut.
Pemberian hukuman mati dalam sistem demokrasi, sulit untuk diterapkan dengan alasan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, tindakan ini merupakan tindakan kriminal yang sangat merugikan rakyat. Tindakan yang seharusnya dihukum mati sebagai ganjaran yang setimpal atas apa yang telah dilakukan.
Sepantasnya, ICJR tidak perlu membantah hukuman mati dalam menindaklanjuti para koruptor. Agar mereka jera dan dapat dijadikan pembelajaran supaya tidak ada lagi yang berani melakukan kasus yang sama.
Sangat kontras jika negeri ini menerapkan sistem Islam kafah. Setidaknya ada upaya preventif agar kasus serupa tidak terjadi dan dapat menekan jumlah pejabat korupsi.
Pertama, para pejabat jauh-jauh hari sebelum menduduki jabatan di pemerintahan diberikan pendidikan berbasis Islam. Mereka akan tertanam kepribadian Islam yang kokoh. Sehingga, adanya rasa khauf dalam dirinya. Ketika ada niat untuk melanggar hukum syara. Karena pada hakikatnya, ketika melakukan suatu perbuatan akan dipikirkan terlebih dahulu. Menjadikan hukum syara sebagai pertimbangan bukan asas keuntungan atau manfaat.
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada para pejabat yang menduduki kursi pemerintahan. Dengan memberikan arahan dan nasihat kepada mereka.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji kepada para pejabat. Sebagaimana sabda Nabi Saw. "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaknya dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan. (HR.Ahmad)
Keempat, larangan keras dalam menerima suap dan hadiah bagi para pejabat negara. Sebagaimana hadis nabi Saw, "Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil diluar itu adalah harta yang curang." (HR.Abu Dawud)
Setelah langkah di atas telah ditempuh. Namun, tindakan kriminal berupa korupsi masih saja terjadi. Lanjut menunju langkah kuratif. Dengan memberikan hukuman yang setimpal dan tegas berupa hukuman mati. Jika kadar kejahatannya berakibat fatal.
Demikianlah, cara Islam memberantas korupsi. Langkah-langkah di atas akan sangat sulit dan mustahil diterapkan jika negeri ini masih menerapkan demokrasi yang merupakan sistem kufur.
Oleh karena itu, penerapan Islam kafah begitu urgen untuk segera diterapkan di negeri-negeri kaum muslimin. Agar kesejahteraan dan keberkahan hidup dapat kita raih.
Wallahu a´lam bishshawab.
Posting Komentar