Oleh : Layli Hawa 
Mahasiswi, Aktivis Dakwah Islam


Hampir genap satu tahun wabah pandemi mengungkung negeri tercinta kita, rupanya tidak menjadikan introspeksi bagi penguasa. Di tengah kesusahpayahan yang diderita rakyat akibat menurunnya pendapatan dan meningkatnya jumlah phk di tengah pandemi, justru peluang ini digunakan Menteri Sosial Juliari Batubara untuk melakukan korupsi dana bansos. 

Seperti yang diberitakan di berbagai media. Mensos Juliari Batubara meraup senilai 17M dari fee pengadaan bansos 2 periode. Periode pertama, Firli Bahuri Ketua KPK menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar turut diterima Mensos Juliari.

Sebelumnya di era kepemimpinan Jokowi periode pertama (2014-2019), yakni eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dan eks Menteri Sosial Idrus Marham, juga tersandung kasus korupsi. Dan di periode kedua (2019-2024), menteri Jokowi yang terjerat yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kemudian disusul Menteri Sosial Juliari Batubara. 

Fenomena korupsi nampaknya menjadi biang yang menular begitu cepat. Bagaimana tidak, berdasarkan penelusuran Kompas.com, sejak didirikan pada 2003, KPK telah menetapkan 12 menteri sebagai tersangka.
Bila dirinci, 12 orang menteri sebelum Juliari Batubara, yaitu terdiri dari 4 orang menteri pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, 6 menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 3 menteri era Presiden Joko Widodo. 

Belum lagi, beberapa pejabat daerah yang tidak terhitung mengkorup dana yang tak semestinya dimiliki. Sungguh ironi di tengah kasus-kasus rakyat yang tak kunjung padam. Kemiskinan, kejahatan, pembunuhan, dan kesusahan rakyat mencari lapangan kerja, juga wabah pandemi yang seolah terabaikan hingga memasuki fase kedua melonjaknya angka korban virus covid-19, justru para pemangku jabatan di negeri ini hanya memikirkan perut dan kepentingan sendiri. 

Korupsi adalah salah satu bukti gagalnya suatu sistem membangun sebuah negara dan memimpin umat. Karena bukan hanya satu kasus, melainkan kasus korupsi semakin bertambah kian meningkat. Sehingga negara kehilangan inti kepercayaan di hadapan umat. 

Jelas, mustahil jika sistem demokrasi yang tak berdasar kuat dijadikan sebagai naungan dalam mengatur kehidupan umat. Akarnya yang roboh sejak awal menjadikan sebuah pohon tak layak dipertahankan. 

Bukankah Allah telah mengutus seorang Rasul di tengah umat untuk menjadi suri tauladan bagi kita? Dengannya lah Allah titipkan agama yang tidak hanya mengatur spiritual. Justru agama inilah ideologi shahih yang memancarkan aturan komprehensif bagi kehidupan manusia. Yang akan mengatur seluruh sendi kehidupan hingga dalam hal kenegaraan. Agama itulah Islam. 

Islam memiliki tindakan preventif hingga kuratif dalam menyelesaikan segala problema manusia. Sehingga dengan tindakan preventif itu mampu menjaga umat dari tindak kejahatan dan penyimpangan syariat serta tindakan kuratifnya bisa memberikan efek jera sekaligus penghapus dosa bagi pelakunya. 

Termasuk dalam mengatasi masalah korupsi, Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasulullah Saw. pelaku kecurangan seperti korupsi, selain harta curangnya disita, pelakunya ditasyhir atau diumumkan kepada khalayak. Pelaku suap, korupsi atau penerima gratifikasi juga bisa diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam.

Dan Islam memiliki pencegahan untuk menghindari korupsi seperti pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. untuk mencatat harta kekayaan para pejabatnya saat sebelum dan setelah menjadi pejabat. Jika Khalifah Umar merasa ragu dengan kelebihan harta pejabatnya, ia akan membagi dua hartanya dan memasukan harta itu ke Baitul Mal. 

Khalifah Umar ra. juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabatnya kepada karib kerabat mereka. Umar pernah merampas separuh harta Abu Bakrah ra. karena kerabatnya bekerja sebagai pejabat Baitul Mal dan pengurusan tanah di Irak. Harta Abu Bakrah sebesar 10 ribu dinar (lebih dari Rp 25 miliar) dibagi dua oleh Khalifah Umar. Separuh diberikan kepada Abu Bakrah. Separuh lagi dimasukkan ke Baitul Mal (Syahid al-Mihrab, hlm. 284).

Pemberantasan dan pencegahan tindak korupsi dalam Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena negara dan masyarakatnya dibangun di atas dasar ketakwaan. Hukumnya pun berasal dari wahyu Allah, bukan dari hawa nafsu manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, hukuman untuk para koruptor dan upaya penindakannya bisa diubah sesuai kepentingan. 
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama