Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd
Praktisi Pendidikan 


Sejak Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain melakukan normalisasi hubungan dengan Israel tiga bulan lalu, banyak kemudian negara-negara Arab lain mengikuti apa yang dilakukan UEA. Kerajaan Maroko adalah negara Arab terbaru yang melakukan normalisasi hubungan secara resmi dengan Israel. Hubungan "di bawah meja" negara-negara teluk kini mulai berani dilakukan secara terbuka.
 
Dilansir dari Republika.co.id (6/12/2020)  pada 23 November lalu, media Israel, yakni Walla News dan Haaretz, menerbitkan laporan yang menyebut ada pertemuan rahasia antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Mereka bertemu di Neom, sebuah kota di Laut Merah.
Dalam pertemuan itu turut hadir kepala badan intelijen Israel Yossi Cohen dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo. Kabar pertemuan itu muncul saat Israel berusaha membuka lebih banyak hubungan resmi dengan negara Arab. 

Pompeo mengonfirmasi pertemuannya dengan Pangeran MBS di Neom. Dia mengaku menjalin pembicaraan konstruktif dengan pewaris tahta Kerajaan Saudi tersebut. Namun Saudi membantah adanya pertemuan rahasia antara Pangeran MBS dan Netanyahu.

Normalisasi hubungan Israel-UEA dan beberapa negara Arab lainnya ternyata memberikan keuntungan yang cukup besar bagi Negeri Yahudi itu. Selain memudahkan jalan pendudukan Palestina, militer Israel juga dapat sokongan yang lebih kuat lewat normalisasi hubungan dengan UEA dan Bahrain. Tambahan keuntungan dari 'perdamaian' itu bagi Israel berhubungan dengan industri persenjataan milik Amerika Serikat (AS). Tampaknya, industri artileri AS sedang merasakan 'bulan madu' setelah Israel berhasil meraih 'kemenangan' di Jazirah Arab.

Industri artileri Israel menganggap ini sebagai awal masuknya pasokan persenjataan AS ke negara-negara Teluk.
UEA diperkirakan akan menerima beberapa unit jet tempur F-35 dari AS setelah menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel. Qatar berhasil meraih kesepakatan dengan AS terkait pembelian jet tempur F-15 untuk pertama kalinya. Akan ada 36 unit F-15 yang dikirim terlebih dahulu dari total 72 buah pesanan dari Qatar. Departemen Pertahanan AS juga mengungkap kalau Boeing berhasil dapat kesepakatan dengan Kerajaan Arab Saudi untuk membuat 70 unit jet tempur F-15. Total nilai kontrak mereka sebesar 9,8 miliar Dolar AS atau setara dengan Rp.138 triliun. 

Angkatan udara Israel secara tidak langsung mendapatkan keuntungan dari kesepakatan itu karena AS akan terus meningkatkan dan mengembangkan jet tempur F-15 milik mereka. Selain itu, beberapa onderdil untuk jet tempur tersebut juga diproduksi dan dipasangkan oleh industri penerbangan Israel. Namun, Israel telah diperingatkan takkan bisa melampaui kekuatan militer negara-negara Teluk karena mereka tak punya pendapatan sebesar negara-negara produsen minyak.

Apa yang telah dilakukan oleh negara-negara Arab merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Palestina, Yerusalem, dan al Aqsa. Menurut analisis ASPI, suksesnya Israel membangun hubungan diplomatik dengan empat negara Arab sejauh ini menandakan bahwa masalah Palestina tidak lagi dianggap penting oleh beberapa rezim Arab. Itu juga mengesankan bahwa "menjual" Palestina secara terbuka tidak lagi memengaruhi legitimasi mereka di dalam negeri masing-masing. 

Meski begitu, kemenangan diplomatik ini bukanlah suatu terobosan besar bagi Israel seperti yang banyak diasumsikan analis dari Barat. Dalam banyak kasus, diplomatik ini hanya seperti hubungan yang formal dari suatu jalinan yang sudah berjalan selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, tanpa publikasi. Dulu “di bawah meja” sekarang “di atas meja”.

Ada 2 pola yang jelas terlihat di setiap pengakuan beruntun atas Israel dari negara-negara Arab itu selama beberapa bulan terakhir.

Pertama, AS memegang peran utama sebagai perantara, menjual senjata dan memenuhi tuntutan lain yang ada kaitannya dengan kepentingan mereka. Kedua, permusuhan terhadap Iran, terutama di Teluk adalah yang paling utama dalam mendorong diplomatik resmi negara-negara Arab dengan Israel.

Bila kita menganalisis dari sejarah, pasca kekalahan Daulah Khilafah Utsmani di Perang Dunia I mengakibatkan Daulah Khilafah terjebak dalam Perjanjian Sykes-Picot yang menjadikan kondisi negara-negara di luar jazirah Arab atau Timur Tengah termasuk tanah suci Palestina sangat memilukan. Negara Eropa khususnya Inggris dan Prancis secara licik merupakan dalang dari perjanjian ini. Mereka telah memotong wilayah timur tengah layaknya kue yang siap dibagi-bagi untuk dikuasai. Dari perjanjian ini disepakati wilayah timur tengah Daulah Khilafah akan dibagi untuk kedua negara tersebut dan para sekutunya. Sementara itu, wilayah Palestina ditetapkan sebagai perbatasan kedua wilayah tersebut sekaligus menjadi wilayah internasional. 

Dari sinilah awal nestapa muslim terutama di Palestina. Sejak berubah menjadi wilayah internasional melalui Perjanjian Balfour, pada tanggal 2 November 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Inggris, telah disepakati adanya penyerahan wilayah Palestina ke komunitas Yahudi dan mereka mendirikan “negara” Israel bagi Yahudi di Palestina. 

Inilah awal penjajahan di atas tanah suci Palestina. Ditambah dengan peristiwa yang memilukan yakni runtuhnya Daulah Khilafah Utsmani tahun 1924 akibat rencana licik dan busuk agen Inggris Mustafa Kemal Ataturk. Sejak saat itu kaum muslimin tidak memiliki perisai yang melindungi mereka dari penjajah seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Rusia, dan Israel. Negeri muslim terpecah menjadi negara bagian (nation state) dengan memperjuangkan nilai yang rendah yakni nasionalisme. 

Negeri kaum muslim pun berubah menjadi negara pengekor, kebijakan luar negerinya tidak mandiri melainkan didikte sesuai kepentingan “tuan besar”-nya Inggris atau AS. Para pemimpin negeri pengekor ini tidak peduli apakah kebijakannya memberikan manfaat bagi rakyat atau tidak. Mereka juga tidak peduli meskipun kebijakannya menyengsarakan dan membunuh rakyatnya sendiri. Yang penting mereka menjalankan kepentingan sang “Tuan Besar”nya dengan baik. 

Oleh karena itu, wajar bila tidak ada penguasa negeri muslim yang menyelematkan Palestina dari resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada 29 Oktober 1947. Sebuah keputusan yang menyatakan 55% wilayah Palestina diserahkan kepada Yahudi. Kemudian selanjutnya Yahudi mendeklarasikan sebuah negara Israel tahun 1948. Sejak itu Israel terus memperluas penguasaan tanahnya dengan cara-cara ilegal dan criminal, padahal wilayah Palestina merupakan tanah wakaf yang sampai kapanpun adalah milik kaum muslimin. Tanah ini telah dijaga dari segala bentuk penjajahan orang-orang kafir dengan seluruh kemampuan bahkan nyawa ksatria Islam Daulah Khilafah. 

Inilah gambaran sebagian besar negara pengekor yang penguasanya diisi oleh para penguasa boneka AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan sekutu-sekutunya. Negara-negara imperialis inilah yang selama ini melahirkan, merawat, dan menjaga entitas penjajah Yahudi di Palestina. Agar eksis di wilayah Palestina sehingga kepentingan ekonomi dan ideologi mereka di daerah timur tengah tetap terjaga. 

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh penguasa UEA dan negara-negara teluk lainnya seperti Bahrain, Qatar, dan Arab Saudi yang masih berkontribusi secara rahasia di bawah justifikasi formalitas, semakin menegaskan kedudukan mereka sebagai penguasa boneka. Maka tidak heran mereka dengan mudahnya, tanpa rasa malu membuat berbagai kebijakan dengan para penjajah kaum muslimin seperti AS maupun Israel dan mengkhianati rakyat Palestina, Yerusalem, dan Al aqsa. 

Berdasarkan hal tersebut, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan umat muslim di Palestina dan negeri muslim yang lain, kecuali dengan mengembalikan Daulah Khilafah sebagai perisai umat Islam. Khilafah akan mencegah musuh menyerang atau menyakiti kaum muslim, mencegah masyarakat satu dengan yang lain dari serangan, melindungi keutuhan Islam agar disegani masyarakat dunia. Sehingga mereka pun takut dengan kekuatannya seperti yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II yang menolak sama sekali segala bentuk penyerahan tanah Palestina kepada kaum kafir meskipun hanya sejengkal. 

Negara Khilafah akan dengan mudah mengirim pasukan jihad sebagaimana yang pernah dilakukan dulu sebelum daulah diruntuhkan. Adanya jihad yang berada dalam satu komando khalifah membuat puluhan juta tentara muslim dari seluruh wilayah di bawah naungan khilafah akan mampu mengusir tentara Israel. Bahkan induk yang memberinya makan saat ini, yakni AS akan dengan mudah dikalahkan. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama