Oleh : Millah Al-Munawwaroh


Di tengah  problem akut yang mendera bangsa ini, tiba-tiba mencuat isu Jilbab, tepatnya isu tentang Jilbab di SMKN 2 Padang, Sumatra Barat,  isu ini menjadi isu Nasional, Mengalahkan isu-isu besar yang sedang terjadi di negeri ini. Isu ini mencuat  saat ada orang tua salah seorang siswi nonmuslim yang keberatan putrinya “dipaksa” pakai jilbab di sekolahnya. Belakangan terungkap siswi ini bernama Jeni Cahyani Hia, ia merupakan salah satu siswi nonmuslim di sekolah tersebut. Ia menolak mengenakan jilbab, video argumen antara orangtua Jeni dan pihak sekolah tentang pengunaan kerudung viral di media sosial. (Detik.com, 23/1/2021)

Kepala SMK Negeri 2 Padang Rusmadi mengungkap ada 46 siswi nonmuslim yang berada di sekolah tersebut. Rusmadi menyebut seluruh siswi nonmuslim di SMK tersebut mengenakan hijab dalam aktivitas sehari-hari kecuali Jeni Cahyani Hia."Secara keseluruhan, di SMK Negeri 2 Padang, ada 46 anak (siswi) nonmuslim, termasuk Ananda Jeni. Semuanya (kecuali Jeni) mengenakan kerudung seperti teman-temannya yang muslim. Senin sampai Kamis, anak-anak tetap menggunakan kerudung walaupun nonmuslim," kata Rusmadi saat pertemuan dengan wartawan.

Rusmadi lantas menegaskan pihak sekolah tak pernah melakukan paksaan apa pun terkait pakaian seragam bagi nonmuslim. Dia mengklaim siswi nonmuslim di SMK tersebut memakai hijab atas keinginan sendiri.
"Tidak ada memaksa anak-anak. (Di luar aturan sekolah), memakai pakaian seperti itu adalah juga keinginan anak-anak itu sendiri. Kami pernah menanyakan, nyaman nggak memakainya. Anak-anak menjawab nyaman, karena semuanya memakai pakaian yang sama di sekolah ini, tidak ada yang berbeda. Bahkan, dalam kegiatan-kegiatan keagamaan (Islam) yang kami adakan, anak-anak nonmuslim juga datang, walaupun sudah kami dispensasi untuk tidak datang. Artinya, nyaman anak-anak selama ini," jelas Rusmadi.

Menteri Pendidikan Nadiem Makarim langsung merespon kasus ini dengan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memaklumi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam hal intoleransi. Menurutnya, peristiwa yang terjadi di SMKN 2 Padang beberapa waktu lalu adalah bentuk tindakan intoleransi. Nadiem pun meminta pemerintah daerah untuk memberikan sanksi tegas kepada sekolah tersebut. Dan Kemendikbud dalam waktu dekat akan mengeluarkan Surat Edaran dan membuka hotline khusus pengaduan terkait toleransi. Hal demikian dilakukan untuk menghindari terulangnya pelanggaran serupa. (republika.co.id, 25/1/2021). 

Sungguh cepat respon Pak Menteri untuk masalah ini. Berbeda dengan keluhan siswa mengenai buruknya pengelolaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dari sarana dan prasarananya yang tak memadai hingga kebijakannya yang dianggap tak menyentuh esensi persoalan pendidikan bangsa. Semua ini lambat ditangani, terus menumpuk hingga membusuk.

Terlebih, jika berbicara intoleransi dan pelanggaran HAM, mengapa selalu saja syariat Islam yang diserang? Padahal, menurut kepala bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, fenomena intoleransi tersebut banyak dan sering terjadi di lingkungan sekolah tanah air.
Mengapa pelarangan hijab tak di-blow up? Padahal ini adalah bentuk intoleransi dan pelanggaran hak asasi juga? 

Inilah standar ganda HAM. Serempaknya berbagai kalangan bereaksi atas kasus ini, yaitu menuntut pencabutan aturan dibolehkannya seragam muslimah, menegaskan bahwa dalam sistem sekuler, ajaran Islam dianggap intoleran dan sumber lahirnya diskriminasi yang berujung pada pelanggaran HAM. 

Dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah, dijelaskan jenis-jenis seragam sekolah, salah satunya adalah seragam muslimah, yaitu terdiri dari rok, kemeja lengan panjang, dan kerudung. Namun, tidak boleh ada pemaksaan bagi siswi baik muslim ataupun nonmuslim untuk menggunakan seragam muslimah, harus sukarela. Sungguh menyedihkan, dalam negara sekuler, kerudung yang telah jelas syariatnya hanya menjadi pilihan. Artinya, siswa muslim atau pun nonmuslim dibebaskan mau menggunakan hijab atau tidak.

Sistem sekuler yang memisahkan agama dalam kehidupan, telah melahirkan pola sikap yang liberal. Yaitu bebas bertingkah laku, tak peduli menabrak syariat atau tidak. Dalam hal berpakaian, liberalisme/pemahaman liberal telah membebaskan muslimah untuk berekspresi dengan busana yang akan ia kenakan. Jika pemahaman liberal ini terus menjangkiti kaum muslim, terutama generasi, hal demikian akan membuat nilai-nilai Islam terus tergerus hingga akhirnya tergantikan secara kafah oleh budaya liberal dari Barat. 

Kebebasan bertingkah laku akan melahirkan problematik terutama yang menimpa pada generasi. Intoleransi adalah tuduhan keji pada syariat yang tak pernah terbukti dan berstandar ganda. Buktinya, pelarangan jilbab yang jelas-jelas bentuk intoleransi diabaikan. Negara sekuler liberal pun telah membuang syariat dari kehidupan umat. Semua ini akibat dari tidak diterapkannya Islam secara kafah dalam negara. 

Akhirnya syariat dibuang dan dianggap hina. Padahal, Islam adalah agama yang sangat toleran. Makna toleransi dalam Islam tentu bukan dengan mencampuradukkan ajarannya. Tapi dengan saling menghormati dan tak saling memaksakan atas akidahnya.

Allah SWT berfirman :

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ .

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.” (QS Al Baqarah: 256)

Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, maka penerapannya secara kafah akan memberi maslahat bagi seluruh umat manusia dan juga seisi bumi. Maka dari itu, Islam memberlakukan syariat Islam bagi seluruh warga, baik muslim ataupun nonmuslim. Nonmuslim (ahli dzimmah) akan dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya di bawah perlindungan negara. Begitupun terkait makanan, pakaian, dan minuman, diperbolehkan sesuai agama mereka, sebatas yang dibolehkan syariat. Misalnya, pakaian agamawan mereka seperti yang dipakai rahib dan pendeta, boleh dipakai. Selain itu, dalam kehidupan umum, seluruh wanita baik muslimah ataupun bukan, wajib menutup auratnya. 

Fakta sejarah membuktikan, sepanjang masa Kekhilafahan, para wanita, baik muslim maupun nonmuslim, mereka menggunakan pakaian muslimah, yakni jilbab dan kerudung. Sungguh indah kehidupan beragama dalam naungan Khilafah. Hidup berdampingan tanpa harus mencampuradukkan kepercayaan.
Maka, jika kita menginginkan generasi memahami Islam secara kaffah dan terhindar dari budaya liberal yang lahir dari sistem negara yang sekuler, urgen bagi kita untuk segera menerapkan syariat agar kehidupan umat manusia menjadi berkah. 
Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama