Oleh : Lismawati
Mahasiswi dan Praktisi Pendidikan


Seringkali terdengar bahwa negara Indonesia adalah negara yang menjunjung dan bergerak berdasarkan hukum. Begitu pula yang dipaparkan oleh pemerintah dengan bangga bahwa negara Indonesia adalah negara hukum., yang menjadikan keadilan sebagai tonggak pemerintahannya.

Tegaknya keadilan di mata hukum nyatanya tidaklah berjalan sedemikian epik dan ideal seperti yang digaungkan. Terdapat ketimpangan yang begitu jauh dari definisi penegakan hukum di Indonesia. Keadilan yang diharapkan nyatanya hanya sebuah fatamorgana bagi rakyatnya.

Pada perkembangannya tidak dapat kita tampik bahwa setiap penguasa memiliki karakteristik tertentu. Termasuk dilihat dari karakteristik hukum yang berkaitan dengan politiknya. Begitupun negara Indonesia yang berasaskan Pancasila. 

Terjadi banyak ketumpulan dari hukum yang terjadi di bawah sistem kapitalisme. Misal Pemerintah pada Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan. Dimana cenderung menerbitkan produk-produk hukum yang implementasinya dibentuk sesuai kehendak segolongan orang.

Penguasa seiring berjalannya roda pemerintahan mulai memindahkan kewenangan yudikatif ke tangan eksekutif. Sebagaimana pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum suatu organisasi masyarakat tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Yang mana bertentangan dengan negara hukum.

Hukum Sebagai Alat Kekuasaan

Kasus Abu Janda dan Ade Armando tentang ujaran kebencian. Adalah sedikit dari kasus-kasus yang masih tidak menemukan keadilan hukum. Mereka bebas menghina dan mencaci tanpa pengusutan kasus hukum lebih lanjut. Sementara disisi lain, para ulama dan aktivis yang mengkritik penguasa akan terjerat hukum tanpa ampun.

Juga terdapat ketimpangan yang sangat jauh. Masih jelas di ingatan bahwa pada beberapa kasus pelanggaran protokol corona. Termasuk pelanggaran pada Pilkada calon walikota solo, Gibran Rakabuming. Yang kini telah menjabat sebagai walikota solo berbanding terbalik dengan kasus kerumunan Habib Rizieq yang langsung diproses hukum.

Timbul pertanyaan mengapa para penguasa dan penegak hukum melakukan diskriminasi. Sayangnya hanya dijawab dengan tidak boleh disamakan kasus Gibran dengan Habib. Begitupun pada kasus Abu Janda atau aktivis Islam. Wajar bila timbul sebuah opini umum bahwa ada ketumpulan hukum di negeri ini.

Muncul ketakutan terkait fakta yang memberikan gambaran jelas. Bagaimana penguasa mendiskriminasi mereka yang dianggap sebagai ancaman. Sementara yang jelas melanggar hukum dibiarkan begitu saja tanpa proses yang benar. Adanya pergeseran dari negara hukum menjadi negara kekuasaan ditandai dengan penggunaan hukum sebagai legitimasi untuk membungkam dan menghentikan rakyat untuk tidak melakukan kritik pribadi sekalipun melanggar hak-hak rakyat.

Buah Sistem Kapitalisme

Karut marutnya penegakan hukum di negeri semakin membuka mata bahwa sistem hukum kapitalisme menumpulkan keadilan. Sistem kapitalisme nyatanya telah gagal memberikan keamanan dan kemaslahatan bagi rakyatnya. Yang mana hukum hanya digunakan sebagai alat untuk kepentingan penguasa dan pemilik modal.

Tidak ada lagi hak untuk mendapatkan keadilan yang benar pada sistem kapitalisme. Amanah kekuasaan diberikan pada pemberi keuntungan besar. Meski harus mengorbankan rakyat dalam kesengsaraan dan diskriminasi yang semakin jauh. Dan inilah petanda sistem kapitalisme tidak dapat memimpin umat Islam.

Penegakan Hukum Adil dalam Islam

Keadilan penerapan hukum hanya akan didapatkan dengan menerapkan aturan Islam. Yang mana penegakan ini sesuai dengan aturan hukum dalam Islam, yaitu :

Pertama, semua aturan hukum harus bersumber pada Al Qur'an sebagai Wahyu Allah. Dimana perundang-undangan dalam Daulah Islam tidak melenceng dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Dimana Allah-lah yang membuat hukum bukan manusia.

Kedua, semua sama dimata hukum. Maknanya, bahwa setiap penduduk negara Daulah Islam memiliki kesetaraan yang sama dimata hukum. Baik dia adalah kaum muslim maupun non muslim. Tidak ada diskriminasi terhadap hukum ataupun kebal hukum sekalipun itu Khalifah.

Dikisahkan dalam kitab Subulus Salam, karya al-Shan’ani. Bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berdebat mengenai baju besi dengan orang Yahudi. Keduanya sepakat untuk membawa perkara itu ke Mahkamah Keadilan. Karena Ali tidak dapat membawa saksi yang sesuai hukum. Maka Ali pun kalah dalam persidangan. Dan ia pun berlapang dada. Melihat kebenaran hukum dalam Daulah Islam maka si Yahudi pun masuk ke dalam Islam.

Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama