Oleh : Nadia S


Tak lama setelah Presiden Jokowi membuka izin investasi baru dalam industri minuman keras (Miras), pada akhirnya ia mencabut Lampiran Perpres No.10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal dalam siaran pers virtual pada Selasa, 2 Maret 2021 setelah banyak menuai kontroversi di berbagai kalangan.

Pencabutan Perpres investasi miras ini dinilai sebagai wujud sikap demokratis presiden. Presiden dianggap memperhatikan aspirasi publik. Padahal, dengan pencabutan lampiran tentang investasi baru miras bukan berarti industri miras menjadi tidak ada. Industri miras yang sudah ada tetap berjalan menurut peraturan yang ada sebelumnya. 

Industri dan perdagangan miras diklaim memberikan manfaat secara ekonomi, yakni berupa pendapatan negara. Namun, justru peningkatan produksi dan konsumsi miras akan meningkatkan kerugian akibat konsumsi miras dalam berbagai bentuknya. 

Menurut Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet, kontribusi cukai dari miras sejatinya terus berkurang dari tahun ke tahun. Dari hitung-hitungan serapan tenaga kerja, jumlahnya juga tidak akan banyak karena industri ini bukan padat kerja seperti manufaktur lainnya (Cnnindonesia.com, 02/03/2021).

Konsumsi miras bahkan memicu tindak kejahatan dan kekerasan. Banyak fakta yang menegaskan konsumsi miras erat dengan kasus kejahatan. Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang oknum polisi dalam keadaan mabuk menembak 4 orang. Tiga di antaranya meninggal. Salah satunya anggota TNI. (Kompas.com, 26/02/2021). 

Jauh dari itu, lslam telah memperingatkan bahwa miras dapat mendatangkan banyak kemudharatan. Pengharaman khamr (miras) secara tegas telah tercantum dalam Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 90:
"Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan."

Tidak hanya merusak pribadi peminumnya, miras juga berpotensi memicu kerusakan bagi orang lain. Mereka yang sudah tertutup akalnya oleh miras berpotensi melakukan beragam kejahatan, bertindak nekat dan di luar batas kemanusian seperti mencuri, merampok, membunuh, memperkosa dan kejahatan lainnya.  

Nabi saw. pun menyebut khamr sebagai ummul khaba’its (induk dari segala kejahatan):
"Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya".(HR ath-Thabarani).

Dalam Islam, semua aktivitas yang berkaitan dengan khamr dilarang. Bagi yang melanggar, maka akan diberi sanksi. Negara akan memastikan tak ada satu pun pihak yang memproduksi dan mengedarkannya. Karena itu, industri miras tidak akan pernah bisa didirikan. Demikian juga berbagai usaha jual beli miras, jasa pengangkutan miras, dll.

Demikianlah, Islam menjaga umat agar tidak melanggar hukum Allah sedikit pun. Umat didorong dan diarahkan untuk selalu taat dan beribadah hanya kepada Allah Swt.
Hanya dalam sistem sekulerlah miras yang jelas-jelas haram menurut ajaran Islam bisa dengan bebas diperjualbelikan. Alih-alih melarang produksi dan peredarannya, pemerintah malah membuka investasi industri miras ini. 

Aturan dibuat manusia semata-mata hanya untuk menggapai keuntungan dan manfaat. Mereka memandang Industri khamr adalah pemberi jasa yang juga memiliki nilai ekonomi karena bisa memuaskan kebutuhan individu. Tak hanya miras, tapi barang dan jasa haram lainnya juga akan dibiarkan di tengah-tengah umat, bahkan difasilitasi produksi dan distribusinya karena dianggap bernilai ekonomi.

Maka dari itu, sudah saatnya kaum Muslim segera meninggalkan sistem sekuler yang rusak dan berbahaya ini. Kemudian menggantinya dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah disertai keyakinan bahwa hanya itulah satu-satunya jalan keselamatan. Jalan meraih bahagia dan sejahtera di dunia,  juga di akhirat.

Wallahu a'lam bisshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama