Oleh : Kusmiyati


Cabai adalah primadona atau kegemaran bagi dunia kuliner. Berbagai jenis masakan di Indonesia hampir selalu menjadikan cabai sebagai salah satu bumbu utamanya. Bahkan, cabai adalah bahan pangan yang bisa dinikmati masyarakat dari berbagai lini ekonomi.

Karenanya, jika terjadi kenaikan harga cabai sebagaimana akhir 2020 hingga awal 2021 lalu, hal ini cukup mengguncang dapur kaum ibu, mulai dari yang sosialita hingga rakyat jelata. 

Realitas ini menunjukkan bahwa cabai adalah sumber daya pangan lintas dikotomi. Artinya, cabai bukan hanya bicara soal masakan “pedas” dan “tidak pedas”, apalagi hanya riasan wisata kuliner.

Jauh lebih dari itu, keberadaan cabai justru boleh dikata sebagai komoditas vital dan ambang batas bagi tingkat kenikmatan makanan. Lihat saja di masyarakat tingkat ekonomi bawah, makan nasi hanya dengan sambal pun bagi mereka sudah menjadi nikmat tiada tara. 

Dikutip dari beritadaerah.co.id (27/2/2021), cabai (khususnya cabai merah) termasuk salah satu komoditi sayuran yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia. 

Hal ini karena konsumsi cabai di Indonesia sangat besar dan meningkat setiap tahunnya untuk industri maupun rumah tangga. Oleh karena itu peranan pemerintah dalam menjaga ketersediaan stok cabai sangat diperlukan, termasuk menjaga fluktuasi harga cabai yang tinggi.

Harga cabai di sejumlah daerah anjlok, khususnya di daerah-daerah sentra pertanian cabai.
Anjloknya harga cabai di dalam negeri, ternyata ada berita banjir impor cabai.

Dikutip dari bisnis.com (24/8/2021), Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan Bambang Sugiharto menjelaskan impor cabai sebesar 27.851 ton sepanjang semester I/2021 dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk; dan bukan cabai segar konsumsi.

Selain karena impor cabai yang sudah dilegalkan pemerintah, anjloknya harga cabai disebabkan sepinya pasar akibat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang merupakan kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal 2021 untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia.

Negara harusnya melindungi petani lokal dan bertanggung jawab penuh mengurusi petani mulai dari penyediaan lahan pertanian yang layak tanam, pupuk dengan harga terjangkau, memfasilitasi sistem irigasi yang bagus dan aman untuk lingkungan, menjaga stabilitas harga panen tanaman, hingga menjamin hasil panen terdistribusi dengan baik sampai ke tangan konsumen/rumah tangga.

Buruknya nasib petani di dalam sistem demokrasi terjadi karena lemahnya posisi petani akibat kurangnya sokongan dari pemerintah. Petani dibiarkan dalam segala kesulitannya, seperti keterbatasan lahan, kurang modal, kurang cakap teknologi pertanian, atau lemahnya posisi petani di hadapan para tengkulak.

Akar masalah semua problem ini adalah karena negara menerapkan sistem kapitalisme neoliberal dalam tata kelola pertanian. Sistem ini menihilkan peran negara sebagai pengatur utama pengelolaan pertanian dari hulu hingga hilir. Swasta bisa berperan sebebas-bebasnya dalam menguasai dan mengelola aset-aset vital yang berhubungan dengan tata kelola pertanian. Korporasi-korporasi besar yang menguasai modal itulah yang menjadi pemain utama.Petani miskin makin susah dan akhirnya banyak yang berpindah profesi dan tidak mau menjadi petani.

Hanya segelintir orang yang ternyata menguasai sebagian besar lahan pertanian di Indonesia. Petani  makin terpinggirkan.

Orientasi kekuasaan bukan untuk mengurus pemenuhan kebutuhan rakyat, akan tetapi lebih berorientasi untuk mengembalikan modal politik dan mempertahankan kursi. Jiwa para pemimpin kosong dari keinginan meriayah (mengurusi) rakyat. Sistem sekuler ini tidak menjamin kebutuhan dasar rakyat, baik pangan, pendidikan, maupun kesehatan. Semua harus dibayar dengan biaya yang mahal.

Berbeda dengan sistem Islam kafah. Pemimpinnya bertanggung jawab memberikan pelayanan penuh kepada rakyat untuk ketiga kebutuhan mendasar tersebut. Hal ini juga terkait dengan cara memilih pemimpin dalam sistem Islam yang murah dan tidak berbelit-belit.

Demikianlah, semua ini bisa terwujud jika dan hanya jika penguasa benar-benar memperhatikan pengurusan urusan umat. Yang jauh sekali dari sikap menyepelekan, apalagi abai.

Konsep tata kelola pangan yang seperti ini hanya terwujud ketika penguasa mengamalkan sabda Rasulullah saw:“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Inilah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. kepada para penguasa saat mengurusi urusan rakyatnya sehingga proyeksi ketahanan pangan dan ekonomi dapat terwujud. Islam akan menyebarkan cahaya kesejahteraannya ke seluruh dunia menjadi rahmatan lil ‘alamin. 
Wallahu a'lam bishshawwab. 

Post a Comment

أحدث أقدم