Oleh: Sri Haryati
Ibu Rumah Tangga dan Member AMK


Beberapa waktu lalu beredar video seorang guru honorer yang akan mengikuti tes seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Publik terenyuh melihat video yang viral tersebut. Seorang guru honorer yang usianya sudah tidak muda lagi, berjalan menggunakan tongkat karena menderita stroke, kemudian ada petugas pengawas menghampiri dan menggendongnya masuk ke dalam ruangan. Setelah masuk, dia menangis terharu karena mendapat banyak dukungan. 

Ada pula seorang guru yang memakai sepatu yang sudah usang, dan berbagai kisah pilu perjuangan para guru honorer lainnya. Menyaksikan para guru honorer yang telah berusia senja ikut berjuang dalam seleksi PPPK sungguh menggetarkan hati dan tak sedikit yang menitikan air mata. Demi diangkat menjadi PPPK, para guru honorer yang bahkan di antaranya sudah sepuh dan menderita sakit harus tertatih-tatih mengikuti tahap demi tahap proses seleksi. Dipaksa berkompetisi dengan mereka yang masih muda, turut berjuang demi mendapatkan pengakuan negara sekaligus memperbaiki nasib, meski sebatas pegawai pemerintah berstatus kontrak.

Pengalaman belasan hingga puluhan tahun mengajar hampir tak diperhitungkan pada proses ini. Padahal, seharusnya pemerintah lebih bijak, dan memprioritaskan pengabdian mereka, sehingga tak perlu berkompetisi dengan guru honorer yang masih muda. Seharusnya dilakukan pengangkatan secara langsung berdasarkan masa pengabdian mereka. Mirisnya, di antara para guru honorer yang telah mengabdi, bahkan ada yang masih menerima honor Rp250.000 atau Rp300.000 per bulan. 

Terbayang betapa sulitnya kehidupan yang harus dijalani. Dengan penghasilan sekecil itu, selain harus memikirkan dapur dan perutnya, tanggung jawab sebagai pendidik harus diberikan secara penuh. Terlebih di masa Covid-19 yang melanda negeri, kegiatan belajar mengajar dilakukan secara online, tentu memerlukan pulsa dan biaya sehari-hari yang harus terpenuhi. Berbeda halnya, penghasilan seorang anggota DPR yang diberi gaji sangat fantastis, namun tak sesuai dengan kinerja yang diberikan. 

Pelaksanaan seleksi PPPK untuk sejuta guru honorer, menimbulkan polemik baru di dunia pendidikan. Beratnya beban soal hingga tingginya passing grade, dinilai tidak mencerminkan tindakan afirmatif (affirmative action) untuk memberikan kesempatan bagi guru honorer menikmati kesejahteraan dari negara. “Kami memahami jika program seleksi PPPK untuk sejuta guru honorer merupakan program terobosan dari Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, agar para guru honorer yang bertahun-tahun terpinggirkan bisa mendapatkan perhatian negara. Namun, tindakan afirmatif ini ternyata tidak tercerminkan dalam proses pelaksanaan seleksi,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Kamis (16/9/2021).

Huda mengungkapkan proses seleksi PPPK ternyata tidak ramah bagi para guru honorer senior. Sebagian besar dari mereka tidak mampu mencapai passing grade yang disyaratkan dalam ujian kompetensi teknis (komtek). Besaran poin afirmasi untuk beberapa kluster guru honorer yang diberikan Kemendikbud Ristek pun dinilai tidak cukup membantu mencapai batas minimal passing grade. “Poin afirmasi untuk beberapa kluster guru honorer berkisar 50-70 poin saja. Padahal ambang batas atau passing grade untuk kemampuan teknis yang harus dicapai di kisaran 235-325 poin,” ujarnya. (sindonews.com, 16/09/2021)

Begitu pun, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, "Pengabdian mereka yang begitu panjang seharusnya diapresiasi dan diberi penghargaan dengan mengangkat mereka menjadi pegawai PPPK tanpa perlu tes." Menurut Muzani,  pengangkatan 1 juta guru honorer menjadi PPPK akan memberikan kepastian masa depan mereka. Pengangkatan ini juga menjadi penghargaan untuk mereka yang telah mengabdi puluhan tahun. (cnnindonesia.com, 22/09/2021)

Benarlah, tes seleksi PPPK tak adil bagi guru honorer yang telah puluhan tahun mengabdi, bahkan ada yang masa kerjanya tinggal 3-4 tahun lagi. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menyejahterakan mereka, tak perlulah melaksanakan tes seleksi PPPK yang rumit dan membebani. Seolah memberikan harapan besar akan masa depan yang lebih baik, namun mereka harus kecewa dengan standart passing grade yang sangat tinggi. Kebijakan pemerintah kali ini pun, masih jauh panggang dari api, tak bersifat komprehensif.

Kebijakan pengangkatan guru honorer dengan program PPPK ini, sesungguhnya telah menegaskan kepada kita, betapa rapuhnya sistem hari ini dalam menyediakan layanan pendidikan yang baik bagi rakyat. Pemerintah tak mampu mengangkat guru PNS sesuai kebutuhan, sedangkan jumlah guru terus berkurang karena banyak guru pensiun. Kehadiran guru honorer mampu menopang kekurangan guru di berbagai daerah hingga pelosok desa, sayangnya gaji yang minim selalu menjadi problematik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935. Dengan demikian, rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Rasio yang ideal dalam pemenuhan layanan belajar. 

Ditinjau dari status kepegawaian, terang-benderanglah peran signifikan guru honorer. Saat ini baru 1.607.480 (47,8 persen) guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan 62,2 persen sisanya merupakan guru honorer. Ini berarti jumlah tenaga guru honorer lebih banyak dibanding guru PNS. Seharusnya, pemerintah tidak mengabaikan peran strategis guru dalam mencetak generasi terbaik negeri ini. Pemerintah seharusnya menjamin layanan pendidikan yang baik, menyediakan jumlah guru yang memadai dan berkualitas, serta memberi jaminan gaji yang sangat layak. 

Adanya perbedaan yang mencolok antara gaji guru PNS dan guru honorer menjadi problem yang belum terselesaikan. Padahal, baik guru PNS ataupun guru honorer memiliki peran yang sama dalam mengajar dan memberikan pendidikan bagi murid-muridnya. Mereka memiliki jasa yang sangat besar di dunia pendidikan, meskipun jerih payahnya dibayar tak sesuai harapan, mereka tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Tak sedikit dari mereka yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup. 

Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak peduli  terhadap nasib para guru yang telah mencurahkan tenaganya dalam mendidik generasi. Padahal, pendidikan sangat dibutuhkan untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik, dan peran guru dalam pendidikan sangat strategis. Guru jadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan untuk bisa mencetak SDM yang unggul. Guru juga memiliki peran ganda yang tidak hanya bertanggung jawab pada perkembangan intelegensi tapi perkembangan moral peserta didik.

Maka, sudah seharusnya pemerintah menjamin kesejahteraan para guru dengan gaji yang layak. Sehingga, guru dapat konsentrasi mengajar dan mendidik generasi, tanpa harus memikirkan perut dan kebutuhan hidup keluarganya. Anggaran sebesar Rp5 miliar lebih untuk renovasi ruang kerja Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, saja negara mampu mengeluarkannya. Lantas, mengapa negara setengah hati memberikan jaminan kesejahteraan kepada para guru honorer? Alangkah baiknya, anggaran itu diprioritaskan untuk menyejahterakan para guru honorer bukan sebaliknya, digunakan untuk kepentingan yang tidak mendesak.

Sayangnya, negara mengelola pendidikan seperti mengurus perusahaan. Untung rugi menjadi tolok ukur. Inilah kelemahan sistem pendidikan di era kapitalisme saat ini, tidak memiliki visi mencerdaskan generasi, visi pendidikan mencetak generasi seolah hilang arah. Guru pun tidak pernah mendapatkan prioritas kesejahteraan, sehingga hal yang lumrah jika problem guru honorer ini masih terus berlarut-larut. Inilah potret nasib memilukan guru honorer dalam sistem Kapitalisme. 

Berbeda dengan kapitalisme, Islam menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya keamanan dan kesehatan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw.,

الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ

Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR. Al-Bukhari)

Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara juga wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli dibidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai di kantor pendidikan. 

Dalam sistem Islam posisi guru adalah aparatur negara, tidak ada pembedaan antara guru PNS atau guru honorer, semua guru dimuliakan dalam Islam. Alhasil, mereka bisa fokus melakukan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM unggul yang dibutuhkan negara. Jika sistem kapitalisme saat ini masih menggantung nasib guru honorer dengan gaji seadanya, sebaliknya pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setara 63,75 gram emas setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.

Terdapat 2 sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai` dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990). Dana yang terdapat di dalam baitul mal sangat cukup membiayai pembangunan infrastruktur, dan juga cukup untuk menggaji para guru. 

Negara pun dapat melakukan ujian kepegawaian, dalam rangka menguji kemampuan sesuai dengan pekerjaannya. Sebagaimana dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab, yang pernah menguji kemampuan Ammar bin Yasir untuk mengurus wilayah Kufah. Begitu pun, bagi guru sepuh yang sudah tidak kuat mengajar, negara akan tetap menjamin kebutuhannya. Ini sebagai bentuk penghargaan kepada para guru, pun sebagaimana negara memenuhi kebutuhan rakyat individu per individu dengan pemenuhan yang sempurna. 

Inilah wujud nyata hadirnya negara. Tidak hanya memuliakan guru sebagai ahli ilmu, namun berhasil menyejahterakan kehidupan mereka. Guru berperan penting dalam melahirkan generasi-generasi yang bersyaksiyah Islamiyah dalam peradaban Islam. Maka, tidak ada jalan lain selain mengembalikan syariat Islam untuk diterapkan dalam kehidupan bernegara.
Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama