Oleh : Erni Herniati
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah


Letjen TNI AD Dudung Abdurachman selaku Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (pangkostrad), telah menyatakan ucapan kontroversi, bahwa jangan terlalu fanatik terhadap agama. Beliau menyatakan bahwa semua agama adalah benar di mata Tuhan. (Pikiranrakyat.com,15/9/21)

Yaqut Chalil Qoumas sebagai Menteri Agama (menag), beberapa waktu sebelumnya juga pernah menyerukan agar doa semua agama dibacakan di acara-acara yang diadakan Kementerian Agama. (Cnnindonesia.com, 5/4/21)

Meski dalam waktu yang berbeda munculnya dua pernyataan pejabat negara di atas, namun mengusung arahan yang sama yaitu pluralisme. Para penyebar pluralisme senantiasa mengucapkan nada-nada serupa. Mereka biasa melontarkan sejumlah jargon seperti "semua agama benar", "jangan terlalu fanatik dalam beragama", "fanatisme beragama mengancam persatuan", "toleransi beragama harus dijunjung tinggi" dan seterusnya. Contohnya, bertebaran acara doa lintas agama, perayaan Natal bersama dan lain-lain. Bahkan saat ini sudah mengarah pada Sinkretisme (pencampur adukkan) agama-agama dalam praktik pluralisme.

Lantas bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi gagasan pluralisme sekaligus sinkretisme tersebut? Benarkah umat Islam perlu mengikuti aktivitas doa lintas agama, perayaan Natal bersama dan lain-lain demi toleransi beragama? Benarkah semua agama sama?

Akidah Islam menyatakan bahwa agama di luar Islam adalah salah/batil. Setiap Muslim tentu wajib menegaskan bahwa hanya Islam yang benar. Islam adalah keyakinan dasar sekaligus mutlak. "Semua agama benar" adalah pernyataan menyimpamg dari Islam, pelakunya bisa dikategorikan murtad. Allah Swt. sendiri menegaskan bahwa hanya Islam agama yang Dia akui dan ridhai.

Sungguh agama (yang diakui) di sisi Allah hanyalah Islam (QS Ali Imran [3]: 19).

Maka pandangan bahwa semua agama sama, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur'an. Jika demikian, apa perlunya Rasulullah saw. bersusah payah bahkan dengan mempertaruhkan segalanya termasuk nyawa Beliau, jika memang semua agama benar.

Selama 23 tahun Rasulullah saw. mendakwahkan Islam kepada para pemeluk agama lain. Beliau bahkan mengajak kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum Musyrik agar masuk Islam dan meninggalkan agamanya. Banyaknya celaan di dalam Al-Qur'an, terhadap pemeluk agama Yahudi, Nasrani, maupun kaum Musyrik bahwa mereka adalah kafir, itu adalah bukti betapa hanya Islam agama yang benar.

Allah Swt. berfirman: "Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah Al-Masih putra Maryam." (TQS al-Maidah [5]: 72)

Islam telah mencela semua perbuatan kaum kafir baik Nasrani, Yahudi maupun Musyrik. Kelak mereka di akhirat diposisikan di tempat yang paling buruk yakni neraka jahanam.

Meski demikian, Islam tetap bertoleransi dalam memperlakukan pemeluk agama lain di dunia. Misalnya Islam tidak pernah memaksa mereka untuk masuk Islam, hanya didakwakan saja.

Demikian pula tidak ada diskriminasi dalam Islam. Mereka diperlakukan setara dan adil sebagai warga negara di dalam naungan negara Islam (Daulah Khilafah Islam).

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa toleransi terhadap pemeluk agama lain, bukan berarti mengikuti membenarkan agama mereka. Apalagi jika toleransi beragama dipahami sebagai pluralisme (menyamakan semua agama). Lebih jauh bahkan jika dalam praktik beragamanya menjurus pada sinkretisme (pencampuradukan agama), jelas ini tercela. Allah Swt. menegaskan: "Untuk kalian agama kalian, untuku agamaku." (TQS al-Kafirun [109]: 6)

Ayat di atas turun berkaitan dengan tawaran kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad. Menurut Imam as-Samarqandi terkait tafsir ayat tersebut, "Jika engkau mau, kami (kaum Musyrik Quraisy) akan mengikuti agamamu dan meninggalkan agama kami selama satu tahun, namun engkau pun harus mengikuti agama kami (dan meninggalkan agamamu) selama setahun." Lalu turunlah ayat ini (As-Samarqandi, Bahr al-'Ulum, 4/445)

Tak perlu mempropagandakan dan memraktikkan pluralisme yang sesat. Sesungguhnya telah terbukti betapa besarnya toleransi Islam dan kaum Muslim terhadap pemeluk agama lain. Tanpa paksaan sama sekali, Islam hanya mengajak orang-orang non-Muslim agar masuk Islam. Islam tak lantas memberangus keyakinan mereka saat mereka menolak. Dengan sikap yang luar biasa orang-orang non-Muslim bisa hidup damai di tengah-tengah masyarakat Islam sepanjang era kekhilafahan Islam, tanpa diskriminasi dan rasa takut. Itulah yang digambarkan oleh para sejarawan Barat di antaranya Sir Thomas Walker Arnold.

Sepanjang sejarah, sikap toleran sudah mewarnai hubungan kaum Muslim dan non-Muslim, menurut Sir Thomas Walker Arnold. Dia mengomentari
betapa besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi. Ia sampaikan itu dalam bukunya berjudul The Preaching of Islam. Dalam buku A History of Propagation of The Muslim Faith, ia mengungkapkan bahwa di bawah aturan penguasa Muslim (khalifah), kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar. Sementara pada zaman modern kini, tenggang rasa antar internal umat beragama baru belakangan ini dipraktikkan.

Para penguasa Muslim (para Khilafah) berkuasa berabad-abad lamanya. Lebih lanjut Sir Thomas Walker mengungkapkan, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup berkembang dan bahkan dilindungi aturan Negara (Khilafah Islam). (Republika.co.id, 22/10/2018)

Sekali lagi, tanpa harus mempropagandakan dan memraktikkan pluralisme yang sesat dan menyesatkan, kaum Muslim sudah menjadi pemeluk agama yang paling memahami toleransi. Dan Islam telah membuktikannya.

Agar umat beragama rukun, damai dan saling bertoleransi tanpa diskriminasi maka sistem ideologi Islam wajib diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab Islam adalah satu-satunya agama yang pasti membawa rahmat bagi dunia (rahmatan lil'alamin). Salah satunya dengan menjadikan umat beragama damai dan harmonis.
Wallahu a'lam.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama