Oleh: Shinta Putri 
Aktivis Muslimah Peradaban


Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan proses pembangunan ibu kota negara yang baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur akan tetap berjalan. Meskipun saat ini Indonesia masih harus menghadapi pandemi Covid-19. Jokowi menyebutkan untuk saat ini pembangunan ibu kota baru sedang dalam tahap pembangunan infrastruktur. (Tribunnews.com, 27/9/2021)

Pemindahan ibu kota negara baru kembali ramai menjadi perbincangan, yang sebelumnya lama sudah tidak dibahas, karena pemerintah fokus menangani pandemi Covid-19. Faktanya rencana pemindahan dan pembangunan ibu kota membutuhkan dana yang sangat fantastis sekitar Rp 500 triliun.

Biaya itu nanti akan diambilkan melalui skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar 20%, BUMN, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan swasta murni untuk kawasan komersial. Dari skema biaya, perlu kita pertanyakan apakah penting sekali pemerintah memindahkan ibu kota dengan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang sangat memprihatinkan  saat ini akibat dari pandemi Covid-19?

Publik harus terus memperhatikan kinerja pemerintah dalam mengurusi kepentingan rakyat. Pandemi yang belum berakhir, penderitaan rakyat semakin merana, malah lebih mengutamakan pemindahan ibu kota. Pemerintah tampak tidak fokus pada penanganan Covid-19 dan vaksin pun juga belum maksimal didapat oleh rakyat.

Sungguh miris, begitu teganya penguasa saat ini kepada rakyatnya sendiri. Seharusnya pembangunan ibu kota dilaksanakan jika kondisi negara stabil dan ekonomi surplus. Tetapi saat ini Indonesia, ekonominya sedang terpuruk, utang membengkak, dan APBN mengalami defisit.

Semestinya pembanguan ibu kota negara baru berbasis pada kemampuan negara yang kuat secara finansial dan lahan sehingga mandiri dalam pemanfaatan pembangunan untuk kemaslahatan rakyat. Bukan untuk kepentingan politik dan pihak tertentu. Apalagi rencananya pihak swasta akan ikut andil dalam proses pembangunan yang mengatasnamakan investasi.

Keterlibatan swasta dalam proyek strategis dan ambisius ini akan semakin memperkuat cengkeraman dan intervensinya terhadap urusan dalam negeri. Indonesia akan terjebak dalam permainan kapitalis (para pemilik modal) untuk memuluskan kepentingannya dan mengeksploitasi seluruh kekayaan negeri.

Alih-alih ingin mengatasi masalah ibu kota yang semakin padat penduduk dan sering terjadi banjir. Serta kegiatan perekonomian  dan pembangunan bisa merata, bukan hanya di Jawa saja bisa merambah ke Kalimantan. Justru kalau tidak dirancang dengan matang, pembangunan ibu kota baru ini akan menambah banyak masalah.

Itulah konsep dasar pemerintahan kapitalisme yang menjadi pertimbangan hanya materi, materi, dan materi sehingga mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru. Akibatnya problematika umat terasa tidak ada habisnya.

Sangat berbeda dengan negara yang diatur dengan hukum Islam yaitu khilafah. Penguasa lebih mementingkan urusan rakyat. Untuk merencanakan pembangunan akan dipikir lebih matang, kondisi wilayah target pembangunan, ekosistem alam serta kondisi ekonomi negara.

Bukan berpikir harus segera direalisasikan pembangunan, tanpa melihat dampak masa depannya, dan siapa yang akan dirugikan. Demi kemaslahatan rakyat, negara dengan sistem Islam selalu mempertimbangkan sebab akibat yang akan terjadi.

Atas dasar keimanan dan ketakwaan, penguasa melindungi dan menjaga rakyatnya. Kepemimpinan yang seperti inilah yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan terbukti berhasil selama ratusan tahun lamanya. Kita semua mendambakan kepemimpinan Islam yang seperti ini, penguasa yang biasa disebut dengan khalifah senantiasa takut kepada Allah, mengurusi umat dengan sepenuh hati, tidak bergelimang harta, dan tunduk dengan syariat Islam.
Wallahu a'lam bishshawwab. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama