Oleh Ummu Syakira
Muslimah Peduli Negeri


Sekitar pukul 15.00 sore Sabtu 4/12/21, Gunung Semeru erupsi mengeluarkan semburan awan panas, yang mengakibatkan warga sekitar panik berlarian menghindari awan panas tersebut. Tampak terlihat anak kecil yang berlarian dalam suasana sekitar yang sudah cukup gelap tertutupi oleh awan panas dari erupsi gunung tersebut, sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, apa tidak ada peringatan sebelumnya? Apa tidak diberlakukan early warning system? Pada saat-saat darurat seperti ini early warning system sangat penting dan diperlukan untuk menunjang mitigasi bencana demi keselamatan warga sekitar.

Sementara itu Wigyo Ketua DPW KAWALI Jawa Timur menyampaikan Early warning system harus selalu aktif dan tersedia di setiap daerah yang rawan bencana seperti di desa sekitar gunung berapi, sebagai sensor yang dipasang di dekat seismometer yang akan berbunyi sebagai informasi bahwa ada peningkatan aktivitas/pergerakan besar gunung berapi.

“Namun pada kejadian erupsi Gunung Semeru ini diketahui bahwa tidak ada peringatan/pemberitahuan dini sebelumnya, maka sangat bahaya sekali bagi masyarakat sekitar. Sedangkan penjelasan dari Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM Eko lelono menyebutkan bahwa pada sekitar pukul 13.30 WIB terekam getaran banjir pada seismograf, tetapi tidak ada peringatan dini sampai sekitar pukul 15.00 WIB ketika masyarakat berhamburan panik saat erupsi terjadi,” ungkap Wigyo, Ketua DPD KAWALI Jawa Timur. (Porosnews.com, 5/12/2021)

Mitigasi bencana sebagaimana tertuang dalam  Pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Dilansir dari situs Kementerian Sosial, mitigasi bencana memiliki tiga tujuan utama. Pertama, mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi, dan kerusakan sumber daya alam. Kedua, digunakan sebagai landasan perencanaan pembangunan. Ketiga, meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi serta mengurangi risiko bencana.

Berikut langkah-langkah mitigasi bencana gunung berapi yang bisa dilakukan:

1. Merencanakan lokasi pemanfaatan lahan untuk aktivitas vital harus jauh dari kawasan rawan bencana.

2. Menghindari tempat-tempat yang memiliki kecenderungan dialiri lava atau lahar saat gunung api meletus.

3. Menerapkan desain bangunan yang tahan terhadap tambahan beban akibat abu gunung api.

4. Membuat barak pengungsian permanen di sekitar gunung api yang sering meletus.

5. Melakukan penyuluhan masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api untuk mengetahui posisi tempat tinggalnya pada peta rawan bencana gunung api.

6. Melakukan sosialisasi mengenai peringatan dini yang diberikan oleh aparat di sekitar gunung api.

7. Sosialisasi mengenai koordinasi yang harus dilakukan dengan aparat setempat.

Dilihat dari definisi dan tujuannya, mitigasi adalah kegiatan yang seharusnya dilakukan sebelum bencana terjadi. Namun faktanya saat erupsi Semeru Sabtu lalu,  itu semua tidak dilakukan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua DPW KAWALI Jawa timur.

Wujud Kelalaian Penguasa

Inilah sejatinya wujud kelalaian penguasa atas keselamatan rakyat di wilayah yang dimungkinkan terjadi bencana. Gunung Semeru merupakan gunung berapi aktif tipe A, yaitu gunung yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-kurangnya satu kali sesudah tahun 1600. Gunung ini adalah bagian termuda dari Pegunungan Jambangan yang telah berkembang menjadi strato-vulkano luas yang terpisah.

Erupsi pertama Semeru tercatat terjadi pada 8 November 1818. Erupsi tersebut terjadi sebagai imbas dari gempa yang terjadi pada hari yang sama. Sejak 1818, Semeru setidaknya mengalami 55 kali erupsi. Beberapa di antaranya mengakibatkan timbulnya banyak korban jiwa. Seperti yang terjadi pada 28-29 Agustus 1909. Sekitar 500 nyawa melayang (sumber lain menyebut 220 jiwa) dan ribuan jiwa dibuat mengungsi. Media massa ramai menyebutnya sebagai “De Ramp te Loemadjang” atau “Bencana Lumajang”.  Bencana yang tak kalah dahsyat teradi pada 14 Mei 1981. Menukil laporan Global Volcanism Program, Smithstonian Institution dalam “Scientific Event Alert Network Bulletin: Volume 6”, curah hujan lagi-lagi jadi penyebab utama tewasnya lebih dari 200 orang dalam bencana itu.

Hal ini juga diungkap oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat meninjau lokasi terdampak guguran lahar Semeru di Desa Supiturang, Dusun Curah Koboan, Kabupaten Lumajang, Kamis (3/12). Doni mendorong pembuatan jalur evakuasi bagi warga dan hewan ternak, sebagai mitigasi guguran lahar dari aktivitas Gunung Semeru. Pihak BNPB juga meminta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendukung pembangunan jalur evakuasi, sebagai bagian dari pengurangan risiko bencana alam. Namun mengapa itu semua tidak dilakukan oleh Pemkab Lumajang? Padahal diketahui sebelumnya pada Desember 2020 dan Januari 2021 BNPB sudah mencatat adanya erupsi.

Faktanya penguasa dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, juga khususnya oleh Pemkab Lumajang lebih mengutamakan pembangunan yang berfokus pada peningkatan ekonomi semata. Hal ini terkuak dari Musrenbang RKPD Kabupaten Lumajang Tahun 2022 terselenggara lancar pada hari Rabu, 31 Maret 2021,  tema pembangunan Kabupaten Lumajang Tahun 2022, yaitu "Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi dan Penguatan Kehidupan Sosial Masyarakat". Padahal mitigasi bencana di daerah rawan bencana adalah bagian dari kewajiban penguasa untuk menyelamatkan warga disekitar area rawan bencana.

Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang, hingga Rabu (8/12/2021), jumlah korban meninggal dunia mencapai 34 orang. Rasulullah telah mengingatkan dalam haditsnya,
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani)

Maka sungguh sangat disayangkan, jika puluhan nyawa harus hilang hanya karena minimnya mitigasi bencana dan kurangnya perhatian pada pembangunan infrastruktur yang memudahkan evakuasi di daerah rawan bencana seperti di area Gunung Semeru.

Semestinya para penguasa itu juga tak boleh melupakan apa yang juga telah disampaikan oleh Rasulullah, Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah, SAW telah bersabda,

“Ketahuilah: kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat yang dipimmpinnya. Suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya tentang keluarga yang dipimpinnya. Isteri adalah pemelihara rumah suami dan anak-anaknya. Budak adalah pemelihara harta tuannya dan ia bertanggung jawab mengenai hal itu. Maka camkanlah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan dituntut (diminta pertanggungjawaban) tentang hal yang dipimpinnya. (HR. Muslim)

Sementara itu merespon bencana erupsi Semeru, sebagai bagian dari masyarakat dalam rangka mewujudkan ukhuwah islamiah adalah dengan memberikan doa dan bantuan pada korban. Namun yang juga harus menjadi perhatian penting adalah bagaimana kita melakukan muhasabah pada pemerintah untuk memberikan riayah pada korban serta mengevaluasi sistem mitigasi dan peringatan dini agar fenomena alam sejenis bisa diantisipasi maksimal agar tidak ada korban jiwa dan kesengsaraan besar pada masyarakatnya.

Namun kita juga harus sadari, bahwa dalam sistem kapitalisme tak akan pernah terwujud pemimpin yang amanah dan senantiasa berorientasi pada pelayanan yang terbaik bagi rakyatnya. Karena sistem kapitalisme telah meniscayakan kebijakan berdasarkan kepentingan penguasa dan kroninya, sebagai dampak dari simbiosis mutualisme saat mereka diangkat menjadi penguasa yang berbiaya mahal pada alam demokrasi saat ini.

Kembali pada Sistem yang Amanah

Pemimpin yang amanah hanya akan didapatkan pada sistem amanah buatan Allah, Sang Pencipta manusia, alam semesta, dan seisinya. Bukan pada sistem demokrasi kapitalis, buatan manusia yang penuh dengan kelemahan sehingga menyebabkan kesengsaraan dan bencana kemanusiaan yang bertubi-tubi. Sistem amanah itu adalah negara Islam (Khilafah) yang menerapkan seluruh aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam mitigasi bencana.

Dari perspektif Khilafah, mitigasi bencana bukan hanya berbicara upaya mengurangi risiko bencana. Lebih dari itu, mitigasi adalah salah satu mekanisme negara dalam menyelamatkan jiwa dari bencana alam. Hal ini karena syariat Islam akan senantiasa menjaga agama, akal, harta, termasuk jiwa. Oleh karena itu, negara akan memperhatikan pengurusan terhadapnya, termasuk teknologi dan pendanaan untuk keberhasilan mitigasi bencana.

Bencana alam memang ketetapan Allah Swt., tetapi mitigasi bencana tetap harus berjalan untuk menghindarkan manusia dari kerusakan parah, baik harta maupun jiwa. Dalam kasus gunung meletus, negara akan menggunakan teknologi untuk mengalihkan lahar, misalnya pada tempat-tempat yang sudah negara siapkan. Negara juga harus menyiapkan lokasi-lokasi pengungsian jauh-jauh hari agar saat terjadi bencana, telah tersedia lokasi layak untuk para pengungsi, termasuk pembentukan dapur umum dan posko kesehatan dengan petugas yang telah terlatih. Adapun pascabencana, seluruh kegiatannya bertujuan untuk me-recovery korban bencana agar mendapatkan pelayanan yang baik selama mengungsi. Sebagai contoh, aktivitas pemulihan trauma, depresi, dan dampak-dampak psikologis lainnya.

Semua dikembalikan pada bahasan akidah Islam bahwa seluruh hal yang terjadi adalah atas kehendak Allah Swt. dan diperintahkan manusia untuk bersabar serta ikhlas atas segala yang terjadi. Pada akhirnya, pemerintahlah pemegang kendali penuh atas semua hal di atas. Oleh karena itu, berulangnya duka dan banyaknya korban bencana hari ini bukan sebatas bahwa ini adalah ketetapan-Nya, tetapi juga ada andil abainya penguasa terhadap keselamatan jiwa. Seharusnya ini menyadarkan umat untuk kembali mendapatkan pemimpin yang sanggup menghadirkan pengurusan dan perlindungan yang paripurna, yakni seorang khalifah dalam naungan khilafah yang berkah. []


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama