Oleh. Ahsani Ashri, S.Tr.Gz 
Pegiat Literasi, Pemerhati Generasi


Sis, kalau ditanya kamu mau pilih mana, antara cake lapis yang dijajakan di pinggir jalan yang terbuka, sebelahnya bertebangan lalat,  dengan cake lapis yang dijual di toko, dibungkus rapi dan masuk ke dalam etalase? Coba kita tebak ya, kamu pasti pillih cake lapis yang di dalam etalase kan? Alasannya, jelas karena lebih terjaga dan higienis, ketika masuk perut. Nah, meski nggak sama persis, ibaratnya seorang muslimah ketika keluar rumah seperti cake lapis, maka seharusnya orang lebih memilih cake lapis yang terbungkus rapi di dalam toko, dan dimasukkan ke dalam etalase.

Sejalan dengan analogi cake lapis. Ketika ada seorang perempuan keluar rumah tidak menutup aurat, ia akan lebih mudah dijamah laki-laki, bahkan senang mengumbar aurat dan menganggap sedang ‘beramal’ dengan tubuhnya yang terlihat. Bagi laki-laki hidung belang, lumayan dapat yang ‘gratisan’. Beda jauh ya, sama perempuan  yang menutup aurat, ia senantiasa patuh menutupi tubuhnya dengan pakaian takwa.

Coba bandingkan juga kerang rebus sama kerang mutiara? Yap, meskipun sama-sama kerang, tetapi yang satu murah, mudah didapat dan disentuh, sedangkan yang satunya lagi mahal, terlindungi, dan kalau mau menyentuhnya harus membeli dahulu dengan harga yang tinggi. Eitss! Tapi sebenarnya, ini bukan soal tinggi-tinggian harga atau sentuh menyentuh barang, akan tetapi kita dapat mengambil pelajaran berharga dari dua buah kerang, yang satunya biasa, dan satunya istimewa karena mengikuti proses untuk menjadi yang terbaik, meski harus bersakit sakit dahulu.

Nah, hal ini sama dengan perempuan yang keluar rumah rumah mengenakan pakaian yang lengkap menutupi seluruh auratnya, ia harus rela mengorbankan perasaannya, seperti dianggap sok suci, sok alim, jauh dari jodoh, susah mendapat pekerjaan, mirip ondel-ondel, mirip ibu hamil atau ocehan lainnya yang kurang enak didengar. Padahal Allah ingin melindungi perempuan dan kehormatannya, dengan aturan berpakaian dalam Islam. Yakin deh, kalau Allah menghendaki suatu hukum, akan selalu ada maslahat untuk manusia.

Apa sih pakaian takwa itu?

Dari tadi kita sudah membahas tentang perbedaan perempuan biasa yang gemar mengumbar aurat vs perempuan istimewa yang berpakaian takwa. Seperti apa sih pakaian takwa itu? pakaian takwa adalah pakaian yang sesuai dengan syariat Islam untuk menjadi hamba yang menaati segala aturan Allah dan menjauhi segala larangan Allah. Simpelnya, rumus pakaian takwa = khimar + jilbab. 

Dalam Al Qur’an surah An Nur ayat 31, Allah berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…”
Kerudung itu disebut dengan istilah khimar (jamaknya khumur), bukan jilbab. Kerudung adalah kain penutup yang berfungsi menutupi kepala, rambut, leher sampai ke lubang kancing di baju. 

Imam Ibnu Katsir mengatakan khimar adalah apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar ra`su) (Tafsir Ibnu Katsir, 4/227). 

Adapun penjelasan jibab, terdapat dalam surah Al Ahzab ayat 59, Allah berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu..."
 
Nah terkait busana muslimah ini, masih banyak mis-persepsi di antara kita, ada yang berpendapat yang penting muslimah itu menutup aurat, masalah model baju, apakah terusan atau potongan, celana panjang atau memakai rok, itu nggak masalah. Dipikirnya, model potongan atau bercelana panjang jeans boleh saja, asalkan sudah menutup aurat.

Dalam surat Al Ahzab 59 : “yudiina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka), ayat “yudiina” bermakna “yurkhiina ilaa asfal” (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki), kata jalabib merupakan bentuk jamak dari kata jilbab. Terdapat beberapa pengertian menurut para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai ar-rida’ (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.

Dalam kamus Al-Muhith, jilbab bermakna seperti as-sirdb (terowongan) atau sinmar (Lorong), menurut Imam al-Qurthubi, Ibnu al-’Arabi, dan an-Nasafi, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Adapun ulama lain yang mengartikannya, jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung) atau Al-qamish (baju gamis). Menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah meskipun berbeda beda.

Kesimpulannya, jilbab adalah terusan dan bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai ke bawah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Syeikh Taqiyyudin an-Nabhani, dalam kitab Nizhamul Ijtima’i fiil Islam, kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka (sehingga boleh potongan), melainkan hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).

Jadi sis, sudah jelas ya kalau jilbab yang disyariatkan atas perempuan itu mengenakan kain terusan dari kepala sampai bawah (arab : milhafah/mula’ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar. Ingat, pakaian luar ya, artinya masih ada pakaian di dalamnya seperti daster atau  inner sehingga menyempurnakakan jilbab, jangan sampai memakai jilbab, tapi underwarenya ‘nge-jiplak'. Sebagai muslimah yang beriman kepada Allah Swt., tentu kita memilih untuk menjalankan perintah untuk berpakaian takwa sebagaimana yang disyariatkan dengan segenap keikhlasan, karena menutup aurat itu merupakan sebuah kewajiban bukan pilihan. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama