Oleh Kusmiyati


Belum lama ini, viral di media sosial postingan pedagang online yang kaget lantaran mendapat tagihan pajak hingga jutaan rupiah. Bahkan, ada yang mencapai Rp35 juta. Pedagang online pun mengaku tidak tahu adanya pajak dagangan yang dikenakan kepadanya. Pemberitaan menyebutkan bahwa pedagang tersebut bahkan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). 

Diketahui, setiap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk pengusaha online shop (olshop) wajib membayar pajak ketika mendapat omzet ratusan hingga miliaran rupiah per tahun. (Kompas.com, 24/11/2021)

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengatakan, besaran jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak, termasuk pelaku usaha digital bergantung pada peredaran usaha (omzet), serta berapa lama kewajiban perpajakannya tidak terpenuhi. Hal ini berdasarkan Undang-undang PPh Pasal 17.

Dalam sistem Kapitalisme, pajak adalah salah satu sumber pendapatan utama negara. Dan berperan penting dalam membangun negara dan mendukung jalannya pemerintahan. Selain itu, pajak juga dapat digunakan untuk menstimulus bangkitnya sektor ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut pajak sebagai tulang punggung nasional. 

Padahal, jika negeri ini mau mengelola sumber daya alam yang ada, sesungguhnya kekayaan itu akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat juga pembangunan negara. 

Jika kita dalami konsep Islam terkait sumber pendapatan, akan terlihat perbedaan  terkait sumber-sumber pendapatan negara.

Sumber APBN dalam Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menitikberatkan sumber pendapatannya pada pajak dan utang, sumber-sumber penerimaan APBN Islam dalam Khilafah, atau dikenal dengan sebutan Kas Baitulmal, sama sekali tidak mengandalkan dari sektor pajak. 

Bahkan Negara berupaya untuk tidak memungut pajak dari rakyatnya. Sumber-sumber utama penerimaan negara di Baitulmal seluruhnya terstandarisasi oleh syariat Islam. Terdapat tiga sumber utama pendapatan negara yakni: 

Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat dsb. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain.

Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan dan sejenisnya. 

Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharja, fai’, usyur dll. 

Jika Baitul mal mengalami defisit anggaran, maka  saat itulah kewajiban tersebut beralih kepada kaum Muslim baik dalam bentuk pajak ataupun pinjaman. Jadi, pemberlakuan pajak dalam Islam bersifat temporal. Bukan pemasukan paten sebagaimana dalam sistem Kapitalisme. Pungutan pajak itupun hanya berlaku pada  mereka yang kaya saja.

Demikian juga jika terjadi kondisi tertentu misalnya terjadi bencana alam sementara Baitulmal mengalami defisit, maka pada saat itu tanggung jawab tersebut beralih  kepada seluruh kaum Muslim. Saat pembiayaan telah mencukupi, maka selesailah kewajiban kaum muslimin.

Dengan demikian, masyarakat yang mengembangkan harta mereka melalui syirkah tidak perlu takut jika suatu saat pendapatan mereka mencapai omzet besar. Sebab, syariat telah mengatur bagaimana kaum muslimin menyucikan harta mereka yakni melalui zakat mal, sedekah, infak ataupun bentuk tabarruat  lainnya. Hal tersebut kontras dengan sistem hukum Kapitalisme yang memungut pajak secara merata, baik kaya maupun miskin. 

Dengan memahami hal ini, sudah selayaknya kita menyadari bersama bahwa hanya Islam yang memiliki aturan yang khas. Posisi penguasa sebagai pengurus rakyat akan membuat mereka optimal dalam mengelola aset-aset negara untuk kepentingan rakyat.
Wallahualambishshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama