Oleh Kusmiyati


Pemberitaan tentang Herry Wirawan, pengasuh sekolah Islam di Bandung yang meperkosa 13 santriwatinya sejak 2016, terjadi  polemik terkait sanksi hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi sebagai langkah memberi efek jera. Polemik yang muncul adalah antara memberi sanksi menjerakan dan komitmen penegakan hak asasi manusia (HAM).

Kepala Kajati Jawa Barat Asep N. Mulyana menyampaikan, “Sebagai komitmen kami untuk memberikan efek jera kepada pelaku.” Sementara, jaksa menuntut dengan sanksi denda Rp500 juta dan biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta. Lalu, sanksi nonmaterial dengan mengumumkan identitas terdakwa, serta hukuman kebiri kimia. (Tirto.id, 13/1/2022).

Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai, tuntutan hukuman mati tidak selaras dengan Pasal 67 KUHP.

Siti Aminah Tardi dari Komisioner Komnas Perempuan  juga memiliki pandangan yang sama bahwa hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Ia menyarankan agar ada rehabilitasi untuk mengubah cara pandang pelaku kekerasan seksual terhadap wanita.

Pro dan kontra sanksi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual terus bergulir. Ini menandakan bahwa begitu lemah dan rapuhnya penegakan hukum dalam sistem sekuler demokrasi. 

Meskipun penegak hukum berupaya memberi efek jera dari setiap tindakan kejahatan berat, seperti korupsi dan kekerasan seksual, tetapi kejahatan terus berulang, sulit ditumpas, malah setiap tahun terus mengalami peningkatan kasus.

Rasa percaya publik terhadap penegakan hukum di negeri yang menerapkan hukum berdasarkan paham sekularisme demokrasi  kian hari terus berkurang, bahkan hilang tidak tersisa. 

Setiap peristiwa kejahatan yang masyarakat alami sering disikapi dengan tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib, karena setiap publik menuntut keadilan, saat itu pula mereka harus menelan pahitnya proses pengadilan yang sulit memberikan keadilan. 
Pelaku kejahatan tingkat berat, seperti korupsi, dapat sanksi penjara tiga tahun. Kini, pelaku kejahatan seksual yang dituntut hukuman mati malah dianggap tidak sejalan dengan penegakan HAM dan UU KHUP. 

Sementara, korban tindak kejahatan terus berjatuhan tanpa mendapat perlakuan yang seadil-adilnya. Selain banyak memproduksi UU yang tidak mampu menjadi solusi permasalahan rakyat dan negara, demokrasi juga tidak mampu menciptakan lingkungan aman bagi tempat tinggal manusia. 

Kejahatan terus meningkat tajam karena terlalu banyak kasus yang harus terselesaikan hingga berakhir pada tumpukan berkas-berkas di meja pengadilan.

Belum tuntas satu kasus, bertambah lagi dengan kasus-kasus yang baru. Lagi-lagi, jika setiap kasus ingin segera dieksekusi, tidak jarang harus siap-siap dengan menyediakan fulus agar dapat berjalan mulus.

Sistem demokrasi juga meniscayakan manusia membuat hukumnya sendiri. Halal dan haram tidak menjadi standar penilaian. Semuanya dilihat dari segi manfaat. Konsekuensinya, hukum akan berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya dan manfaat materi yang mereka lihat.

Oleh karenanya, tidak heran jika yang benar menjadi salah dan perkara salah menjadi benar. Hukum pun dapat diperjual belikan. Semuanya demi uang. Moralitas diabaikan, agama dibuang dari praktik kehidupan.

Jika demokrasi merupakan sumber masalah dari berbagai tindak kejahatan, seharusnya kita beralih pada sistem Islam yang menjadi solusi atas segala tindak kemaksiatan.

Dalam Islam, kejahatan adalah perbuatan tercela, sedangkan yang tercela adalah apa saja yang dicela oleh Asy-Syari’. Saat syariat menetapkan suatu perbuatan itu tercela, sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. 

Perbuatan itu dianggap sebagai dosa yang harus dikenai sanksi. Jadi, substansi dosa adalah kejahatan. (al-Maliki, Abdurrahman. (1990). Nizham al-Uqubat. Beirut Lebanon: Dar al-Ummah. hlm. 5).

Sistem hukum pidana Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Firman Allah Swt., “Dalam hukum qisos itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 179). 

Terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum qisos, yaitu menjaga jiwa.

Setiap manusia yang berakal sehat akan menyadari bahwa jika ia melakukan pembunuhan, ia terancam mendapat sanksi hukuman mati. Ia pun tidak akan berani melakukan pembunuhan. Di sinilah fungsi pencegahan (zawajir), yaitu mencegah manusia dari tindak kejahatan.

Setiap sanksi dalam Islam telah diatur sedemikian rupa guna mencegah manusia dari berbagai tindakan kejahatan dan menebus dosa pelakunya di hadapan Allah Swt. Namun, setiap sanksi yang ditetapkan mengharuskan adanya seorang khalifah dalam institusi khilafah. 
Wallahualam bishshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama