Oleh. Lilis Iyan Nuryanti, S.Pd
Komunitas Pena Islam


Fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia, selama masa pandemi covid-19. Kali ini masyarakat ramai-ramai memburu minyak goreng. Seperti hal pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, masker, hand sanitizer, vitamin, temulawak hingga susu beruang pernah ramai-ramai dibeli bahkan sampai adanya indikasi penimbunan barang.

Baru-baru ini harga minyak goreng melambung hingga Rp 28.000 per liter. Sehingga ketika pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia menjadi sebesar Rp 14.000 per liter pada tanggal 19 Januari 2022, warga membludak datang ke toko-toko swalayan dan minimarket untuk mendapatkan minyak goreng harga murah. Bahkan bagi sebagian masyarakat yang ekonominya menengah ke atas mampu menjadi pemborongnya. Sehingga sebagian masyarakat banyak yang tidak kebagian.

Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya.

Namun, nyatanya panic buying tidak bisa dihindarkan di hari pertama pemberlakuannya. Banyak toko langsung kehabisan stok minyak goreng (Kompas.com, 22/01/2022).

Panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang.

Perasaan ini timbul karena tekanan naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’). Tanpa adanya pemahaman lain yang bisa mengontrol ketakutan ini, akhirnya mendorong masyarakat menyediakan stok di rumah. Sehingga, panic buying terjadi.

Sadar atau tidak, fenomena ini muncul akibat tekanan kebijakan yang ada. Kesulitan ekonomi, kelangkaan barang, hingga naiknya suatu barang membuat masyarakat nekat melakukan pembelian besar-besaran. Meskipun pemerintah menyampaikan kalau harga minyak akan stabil selama enam bulan, masyarakat tetap memborong minyak.

Reaksi rakyat ini seakan membuktikan seberapa besar kepercayaan masyarakat pada negara. Selama ini, mereka merasa bertahan hidup sendiri. Kesulitan hidup membuat mereka tidak lagi mengikuti kata pemegang kebijakan. 

Mau bagaimana lagi, selain minyak, kebutuhan lain juga banyak yang sulit terpenuhi. Apalagi kebijakan yang berubah-ubah membuat masyarakat bingung menghadapinya. Walaupun sudah berjanji minyak tetap ada selama enam bulan, mereka takut jika itu sekadar pepesan kosong.

Kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh sebagian orang, untuk mencari keuntungan. Mereka bisa membeli banyak minyak subsidi itu kemudian menimbunnya, setelah itu menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Besaran itu tentu cukup mendatangkan keuntungan bagi mereka. Pertanyaannya, dijual ke siapa? Siapa lagi kalau bukan rakyat jelata.

Subsidi minyak goreng ini tidak semuanya tepat sasaran. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menyampaikan bahwa subsidi ini kurang mekanisme dan pengawasan yang kuat sehingga rentan salah sasaran dan menimbulkan panic buying.

Kelompok yang semestinya mendapatkan manfaat subsidi justru kalah oleh kelompok lain yang lebih berdaya secara ekonomi.

"Subsidi yang bersifat terbuka rentan salah sasaran, sebab semua bisa mengakses dengan mudah. Potensi munculnya panic buying yang dilakukan oleh konsumen dengan kemampuan finansial baik akan sangat besar, bahkan mungkin saja akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk keuntungan pribadi," terang dia.

Menurut dia, persoalan semacam ini sudah sering terjadi, tetapi pemerintah tidak juga menjadikannya sebagai pelajaran untuk mengadakan program subsidi dengan aturan main dan pengawasan yang lebih baik.

Lemahnya mekanisme dan pengawasan inilah yang menyebabkan panic buying dan penimbunan terjadi di masyarakat.

Selain itu, Agus menilai selama ini pemerintah juga kurang tepat dalam mengukur keberhasilan program subsidi yang dilakukan.

"Tolok ukur subsidi selama ini adalah berapa barang/Rupiah yang sudah digerojokan, bukan berapa banyak masyarakat terdampak yang menikmati subsidi," kata Agus.

Terakhir, Agus mengatakan selain memberikan subsidi untuk meringankan beban masyarakat, pemerintah hendaknya memikirkan solusi akhirnya, karena subsidi dinilai bukan jalan keluar atas tingginya harga suatu produk di pasaran.

"Ibarat orang sakit yang diberi minyak angin/balsem, pemberian subsidi ini tidak akan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Sifatnya hanya menghangatkan sementara di tempat tertentu saja," ujar Agus.

"Idealnya pemerintah mendiagnosis penyebab dari mahalnya minyak goreng, kemudian memberikan obat yang tepat," pungkas dia. (Kompas.com, 22/01/2022).

Melihat dari masalah yang terjadi, seharusnya para pengambil kebijakan mencari akar permasalahan mahalnya minyak. Apakah ada masalah pada produksi atau distribusi? jangan-jangan mahalnya minyak goreng karena adanya dugaan praktik kartel di pasar minyak goreng. Lebih penting lagi adalah mengevaluasi kebijakan yang sudah ada. 

Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar seharusnya kenaikan CPO di pasar Internasional tidak mempengaruhi harga minyak goreng di Indonesia karena RI adalah pemasok sawit dunia. Secara logika, jika sebuah negeri merupakan produsen sebuah barang dan berdaulat, tentu harga barang yang dinikmati rakyatnya sendiri akan senantiasa murah. 

Tetapi, mendapatkan harga murah dan stabil di sistem ekonomi kapitalis hanya sesaat, pada kenyataannya sistem sekarang hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Hal ini berbeda dengan sistem islam yang senantiasa mengurus kebutuhan rakyat bukan mencari manfaat. Hukum yang diterapkan adalah hukum Allah dalam semua lini kehidupan termasuk menjadi stabilitas harga. Hal ini dapat dipahami dari mekanisme aturan Islam yang akan dijalankan oleh negara Islam. Islam telah memerinci peran negara dalam menjaga terwujudnya perdagangan yang sehat.

Pertama, larangan tas'ir atau mematok harga. 

Ini adalah larangan bagi pemerintah untuk mematok harga, baik harga batas atas maupun harga batas bawah. Alasan nya adalah akan menimbulkan kezaliman pada penjual dan pembeli. Sementara islam melindungi penjual dan pembeli dengan bersamaan. Harga-harga barang pernah mahal di zaman Nabi SAW lalu mereka berkata, 

"Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam patoklah harga untuk kami! Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya Allahlah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta maha pemberi rezeki dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorangpun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta". [HR Abu Dawud]

Kedua, Operasi pasar.

Dalam sistem Islam terdapat Qadhi Hisbah yang bertugas menghukum siapapun yang melanggar ketentuan syariah dalam bermuamalah. Untuk mencegah dan menghilangkan distorsi pasar seperti kartel, melarang penimbunan dan sebagainya. Qadhi Hisbah juga bertugas untuk mengawasi tata niaga dan aktivitas di pasar untuk menstabilkan harga dan menjaga agar bahan makanan yang beredar adalah makanan yang halal dan tidak membahayakan rakyat. 

Sungguh peran negara yang berpihak pada umat akan membuat rakyat sejahtera. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan tiap individu masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tidak akan melakukan tindakan-tindakan “di luar batas” karena seluruh kebutuhannya sudah terpenuhi. Hanya Islam yang mampu memenuhi semua itu karena Islam akan mengambil kebijakan sesuai tuntunan syara. Negara bertugas sebagai pe-riayah (pengurus) rakyat, bukan pengusaha.

Peristiwa panic buying yang terjadi di Indonesia ini, dengan ketakutan kekurangan bahan pangan merupakan indikasi lemahnya keimanan masyarakat. Tidak kuatnya keyakinan mereka terhadap rezeki membuat mereka melakukan tindakan tersebut. Mereka takut kalau suatu saat kehabisan minyak goreng atau harga minyak goreng akan semakin tinggi sehingga mereka takut tidak mampu membeli. Padahal, rezeki tiap orang sudah diatur oleh Allah Swt.

Pada dasarnya, hukum asal berbelanja dalam jumlah banyak adalah mubah alias boleh. Akan tetapi dalam  kondisi tertentu, memborong belanjaan sebaiknya dihindari. Misalnya ketika ketersediaan barang dan pangan terbatas.

Begitu pula dengan panic buying. Sebab, perputaran stok barang menjadi tidak stabil dan penyebarannya tidak merata. Orang lain yang membutuhkan akan kesulitan menemukan barang yang dicari karena barang tersebut sudah diborong oleh sebagian yang lain.

Islam melarang egoisme individu dan keserakahan dalam menumpuk harta demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang menimbun barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat luas.

Penimbunan barang di dalam Islam dikenal dengan sebutan ihtikar. Hukum pelarangannya berdasarkan hadis-hadis berikut:

Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Bakar bin Abi Syaibah:

“Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa."

Kedua, hadis dari Nashr bin Ali Al-Jahdlam:

“Orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah (jalib) diberi rezeki, sedangkan orang yang menimbun dilaknat.

Ada syarat yang membolehkan seseorang menyetok barang atau makanan dalam jumlah banyak. Dalam Fathul Mun’im bi Syarhi Shahih Muslim, kebanyakan ulama menyatakan kebolehan menyimpan bahan makanan untuk diri sendiri maupun untuk orang lain asalkan dalam kondisi banyak dan lapang. 

Akan tetapi, jika dalam keadaan sulit dan darurat, menyetok barang dan bahan makanan dalam jumlah banyak tidak diperbolehkan. 

Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada hukum syara dan selalu mendukung penerapan Islam kaffah.

Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama