Oleh. Unie Khansa
Praktisi Pendidikan


Pemilihan Umum (pemilu) merupakan salah satu ciri utama dari demokrasi karena dengan pemilu rakyat dapat berperan dalam penentuan  pemerintahan. Pemilu  diatur oleh  undang-undang yang pelaksanaannya selalu mengalami perkembangan. Indonesia sudah  melaksanakan 12 kali pemilu sejak pemilu pertama 1955 hingga terakhir 2019. 

Ada beberapa sistem pemilu di dunia,  Indonesia menganut sistem Multy-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau Sistem Proporsional).

Pemilu tidak menjadi jaminan  bahwa yang terpilih adalah “orang pilihan” karena yang menentukan hanya suara terbanyak tanpa melihat kompetensinya. Akibatnya, tak jarang yang terpilih tidak menjadikan keadaan lebih baik bahkan tidak jarang menjadi lebih buruk. Jadi, betapa lemahnya penentuan pemimpin dengan cara pemilu.

Pun,  sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam sistem demokrasi, notabene pemilu, yang banyak bermain adalah para kapitalis  dengan berbagai kepentingan yang akan menguntungkan mereka. Jadilah, rakyat hanya objek yang dibutuhkan suaranya, tanpa diperhatikan kesejahteraannya.
Seperti saat ini, ramai pembahasaan tentang penundaan pemilu, padahal telah disepakati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  bahwa penyelenggaraan pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota serta anggota DPD RI dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024. (CNBC Indonesia, 25/01/ 2022).

Apakah penundaan pemilu untuk kepentingan rakyat? Sepertinya bukan, walau beberapa pengusung penundaan mengatakan bahwa penundaan pemilu agar momentum perbaikan ekonomi tidak terjadi stagnasi usai pandemi menghajar tanah air dua tahun terakhir. Seandainya memang  alasannya untuk perbaikan ekonomi, harusnya semua kekuatan difokuskan untuk perbaikan ekonomi masa pandemi, tidak untuk hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan pemulihan ekonomi, seperti pemindahan IKN, misalnya.

Hal yang pasti,  wacana penundaan pemilu ini sarat dengan kepentingan berbagai elite politik. Seperti penundaan yang dikemukakan oleh tiga  pemimpin partai koalisi. Ketiganya memiliki kepentingan pribadi dan golongan dengan penundaan itu. 

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menilai bahwa dua dari ketiga partai pengusul penundaan pemilu tersebut,  ketumnya memiliki elektabilitas rendah  di bursa calon presiden. Oleh krenanya, mereka  membutuhkan waktu untuk meningkatkan elektabilitasnya. Dengan penundaan pemilu,  mereka berharap elektabilitasnya bisa meningkat.

Lain lagi dengan partai ketiga. Menurut Khoirul, keterlibatan ketum partai ini  dalam meramaikan isu penundaan pemilu adalah demi mendapatkan kursi di pemerintahan. Sebab, partai ini  sudah sejak lama menyatakan bergabung dengan koalisi partai penguasa, tetapi hingga saat ini tak satu pun jabatan di kabinet diberikan untuk partai ini. (Kompas.com, 07/03/2022).

Sementara itu pihak oposisi yang menolak wacana penundaan pemilu ternyata juga bukan demi kemaslahatan rakyat. Mereka tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi di saat elektabilitas sedang tinggi. Jadi, sama saja yang ingin menunda pemilu dengan yang menolak penundaan memiliki kepentingan politik pribadi dan golongan dengan mengatasnamakan rakyat.

Inilah watak asli sistem demokrasi yang mencetak para elite politik minim empati dan lebih besar mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya. Kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktivitas politis justru luput dari perhatian dan bukan prioritas utuk diperjuangkan. Slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya tinggal slogan. Jauh panggang dari api. Rakyat tetap hanya menjadi objek penderita, yang diraih ketika dibutuhkan suaranya dan dicampakkan pada saat cita-cita mereka tercapai.

Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik, mengatur segenap urusan umat. Bahkan Islam sangat mencela orang-orang yang tidak mau tahu terhadap urusan umat. Jika politik diartikan sebagai orientasi kekuasaan, maka sesungguhnya Islam memandang kekuasaan hanya sebagai sarana menyempurnakan pengabdian kepada Allah. 

Orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu tegaknya hukum-hukum Allah di muka bumi, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memlliki kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya penguasaan absolut  seorang manusia atas manusia yang lain.

Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan).

Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah dan siapa saja yang bangun pagi, tetapi tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim). 

Jadi dalam Islam, penguasa akan meriayah agar rakyatnya selalu melakukan ketaatan pada Allah sang pemilik kekuasaan supaya tercipta kehidupan yang sejahtera dengan ketaatan pada Sang Pencipta. Dengan demikian, ketika sistem Islam dilaksanakan, tidak akan ada partai yang berebut kekuasan. Tidak akan ada yang memanfaatkan rakyat untuk meningkatkan elektabilitas penguasa. Bahkan yang akan terjadi adalah kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama. 
Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama