Oleh. Wini Andriyani.S.Pd, Pengajar


Banjir di negeri  ini seolah-olah menjadi cerita yang tak pernah usai bila datang musim penghujan. Sejumlah wilayah di negeri ini telah tergenang banjir.  

Banjir di Provinsi Banten merendam 12 kecamatan dan 22 desa. Akibat banjir itu, 3.960 rumah tergenang dan 700 warga terpaksa mengungsi. "Bahkan 5 orang meninggal akibat bencana banjir," ujar Kepala Bidang Humas Polda Banten Komisaris Shinto Silitonga di kantornya, Rabu, 2 Maret 2022.

Lima korban meninggal ialah GS, warga Kota Baru, Kecamatan Serang, FR dan AD di Umbul Tengah, Kecamatan Taktakan, RZ di Kagungan, Kecamatan Serang serta AMS di Penancangan, Kecamatan Cipocok Jaya.

Banjir Serang ini juga menyebabkan 5 kecamatan Kota Serang terendam, yaitu di Kecamatan Kasemen, Serang, Cipocok Jaya, Taktakan dan Curug. Ada 5 desa di wilayah tersebut yang terdampak banjir, sehingga 2.203 rumah terendam.

Di Kabupaten Pandeglang, 7 kecamatan terdampak yaitu di Kecamatan Labuan, Cadasari, Patia, Saketi, Pandeglang, Mandalawangi, Pulosari. Sebanyak 17 desa dan 1.757 rumah tergenang. (Tempo.com) 
 
Mengapa banjir  di negeri ini  seperti tidak pernah usai, setiap memasuki  musim penghujan? Sehingga masyarakat harus bersiap-siap untuk menghadapi bencana banjir. Menurut analisis Aqueduct Global Flood Analyzer, Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terdampak bencana banjir terbesar ke-6 di dunia, yakni sekitar 640.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 464 kejadian banjir setiap tahunnya. Banjir yang disertai longsor menjadi bencana ke-6 yang paling sering terjadi di Indonesia dengan 32 kejadian setiap tahunnya. Ada tiga faktor utama penyebab banjir dan longsor yang paling banyak disoroti, yaitu berkurangnya tutupan pohon, cuaca ekstrem, dan kondisi topografis Daerah Aliran Sungai (DAS). 

Tentu saja hal ini dapat dimengerti, dampak serius dari pembalakan hutan secara liar selama 25 tahun lebih telah mengakibatkan berkurangnya tutupan vegetasi hingga 60 persen. Menurut pengamat Lingkungan Universitas Indonesia, Tarsoen Waryono mengatakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) belum sepenuhnya mengikuti kaidah-kaidah dalam eksploitasi hutan yang ramah lingkungan. 

Pembukaan kawasan hutan terutama yang berstatus hutan produksi, semuanya dibuka dan upaya penanaman kembali tak sepenuhnya dilakukan. Perusahaan yang ada cenderung berorientasi pada profit ketimbang masalah lingkungan. Penyebab banjir di pulau jawa karena faktor alih fungsi status kawasan hutan dan okupansi lahan salahan satunya di Jawa Barat. berkurangnya daerah resapan air. Adanya alih fungsi lahan baik menjadi pemukiman, area industri ataupun lainnya yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan air. 

Hal ini terjadi di kota-kota besar seperti wilayah Jabodetabek. Pembangunan yang tidak mengikuti kaidah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terutama di wilayah dataran rendah. Ditambah  curah hujan tinggi di beberapa wilayah. Menyebabkan genangan air dan dan banjir parah mudah sekali terjadi. Hal inilah yang seringkali menyebabkan hujan kiriman dari wilayah dataran tinggi tak mampu diserap hingga menyebabkan banjir.

Sungguh kebijakan yang pro pada para kapitalis pemilik modal. Selama ini pembangunan yang harusnya memperhatikan kelestarian hutan, lahan serta keseimbangan alam dan lingkungan justru terabaikan. Namun, yang kita saksikan hari ini justru berbeda realitanya. Pembangunan dengan paradigma kapitalistik telah menyebabkan kerusakan alam. Bencana banjir tak serta merta karena adanya fenomena alam namun juga ada campur tangan manusia.

Kita cukup mudah mengindra bahwa sistem politik demokrasi tidak memberi ruang sama sekali bagi kebenaran ilmu pengetahuan kecuali jika hal tersebut menguntungkan agenda oligarki dan rezim.

Lihat saja Bagaimana Ambisi Iklim Eropa Membunuh Hutan Indonesia menegaskan hanya untuk memenuhi kebutuhan impor Eropa pada tahun 2012 dibutuhkan lahan produksi seluas 7.000 kilometer persegi. Tak hanya itu, terdapat banyak riset dan kajian tentang bahaya alih fungsi lahan yang terjadi secara masif di beberapa wilayah di Indonesia. Namun sebagaimana umumnya, dominasi oligarki begitu kuat sehingga berujung pada lahirnya perundang-undangan yang melegalkan pelanggaran tersebut.

Beginilah kenyataan pahit yang harus diterima dalam sistem yang rusak ini. Bahkan, alam pun tak luput dari sasaran kerusakannya. Padahal, selain menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan, hutan juga memiliki berbagai manfaat buat manusia.

Hutan merupakan pemasok oksigen paling besar di permukaan bumi. Hutan juga dapat mencegah terjadinya bencana alam. Oleh sebab itu, ketika hutan rusak, maka konsekuensinya ialah  bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir bisa saja sewaktu-waktu terjadi.

Lantas bagaimana  menyikapi ini semua? Sebagai orang yang beriman,  tentunya mengimani bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah Yang Mahakuasa. Jika diberi musibah, Allah memerintahkan manusia untuk bersabar. Namun, musibah tersebut juga mesti disikapi dengan menjadikannya sebagai momen untuk muhasabah tentang apa yang telah dilakukan, sehingga Allah menjadikan hujan sebagai penyebab banjir. Padahal, hujan itu diturunkan seharusnya menjadi rahmat, yang dengannya bumi dihidupkan dari kekeringan.

Agar kejadian banjir ini tidak terulang terus-menerus, maka perlu ada upaya serius dan sungguh-sungguh, baik dari rakyat terlebih pemerintah. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang strategis untuk mengatasi banjir.

Kita bisa belajar pada sejarah bagaimana  sistem pemerintahan Islam,  memiliki kebijakan canggih dan efisien untuk mengatasi banjir. Kebijakan tersebut diantaranya:

Pertama, menangani korban-korban bencana alam, negara akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Juga mengerahkan para alim ulama untuk memberikan tausiyah-tausiyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT. 

Kedua,  Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan menempuh upaya-upaya    membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.

Ketiga, negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain). Selanjutnya, membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut.

Keempat, negara membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara berkala, mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan.

Kelima, membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik.

Selain itu, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, negara akan menggariskan beberapa hal penting. Seperti, kebijakan tentang master plan, mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan, membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi, menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin, dan juga memberikan sanksi tegas kepada oknum-oknum yang melakukan aktivitas pembalakan hutan dan ilegal logging. Di samping itu, terus-menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan. 

Dengan kebijakan ini,  dan strategi  yang cepat dan tepat. Tentu masalah banjir bisa ditangani.
Wallahu a’lam bish shawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama