Oleh. Lilis Iyan Nuryanti, S.Pd
Komunitas Pena Islam


Baru-baru ini dihebohkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama. Menurut Jokowi jangan sampai dengan mengatasnamakan demokrasi lantas mengundang penceramah radikal.

Tenaga Ahli Utama Kantor Stat Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan peringatan Jokowi sudah tepat.
"Saya bilang kalau diibaratkan penyakit kanker, maka penetrasi paham-paham radikal ini diibaratkan sudah masuk pada stadium keempat, jangan keliru. Sangat kritis," kata Ngabalin, Minggu (6/3/2022). 

"Anda bisa bayangkan kalau dia berceramah di atas mimbar dan dia membandingkan antara pilih Al-Qur'an atau Pancasila, kira-kira itu paham apa? Paham radikal," kata Ngabalin.

"Paham radikal itu dipakai oleh para ekstrimisme dan para teroris jadi mimbar-mimbar dengan trem agama dipakai untuk mengacaukan situasi politik dan situasi sosial kehidupan masyarakat." Dilansir dari Suara.com (06/03/2022).

Dari pernyataan tersebut sampai-sampai beredar rilis daftar ulama radikal yang dilarang untuk diundang dalam berbagai acara dan kesempatan.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwakhid mengeluarkan lima ciri-ciri penceramah radikal.

Ada pun, yang pertama ialah mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan proideologi khilafah internasional, kedua mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham.

Ketiga, menanamkan sikap anti-pemerintahan yang sah. Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan sekitar. Kelima memiliki pandangan antibudaya dan anti-kearifan lokal (suara.com, 10/03/2022).

Banyak pihak yang menilai kriteria ini bias, multitafsir dan berpotensi menciptakan banyak gesekan di masyarakat. Kriteria ini dinilai diskriminatif terhadap ulama dan ustadz. Mungkin saja ada profesi yang tergolong dalam kriteria ini namun tidak dilabeli radikal karena bukan ulama atau ustadz. 

Sangat jelas terlihat dengan adanya kriteria tersebut merupakan bentuk kekhawatiran pemerintah yang berlebih terhadap ancaman penggulingan karena tidak dapat membedakan antara kritik dan kebencian. 

Menurut mereka merubah sistem demokrasi menjadi sistem Islam dalam naungan khilafah itu radikal. Meruntuhkan sebuah bangunan yang sudah berdiri tegak, dan berupaya untuk menggantinya dengan bangunan yang berlandaskan Islam, itu juga radikal.

Belajar dan mempelajari Islam secara mendalam dari mulai akar hingga daunnya adalah makna dari radikal. Radikal dalam mempelajari Islam adalah sebuah kewajiban, lalu apa yang salah dengan kata radikal?

Secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, radix/radici, yang berarti “akar”. Dalam politik, istilah “radikal” mengacu pada individu, gerakan atau partai yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistim politik secara mendasar atau keseluruhan. Radikal itu bukanlah sebuah istilah yang negatif. 

Bukan sebuah kata yang bermakna jelek dan hina sehingga dipakai untuk mengejek, menghina, dan mengata-ngatain orang. Sejatinya, radikal itu adalah istilah yang umum. Ketika ada keinginan perubahan dari dasar, itulah yang disebut perubahan yang radikal. 

Yang menjadi persoalan adalah ide apa yang menjadi dasar perubahan tersebut? Apakah ide-ide yang kufur? Ataukah ide-ide yang islami? Namun faktanya sekarang, pemerintah justru membuat stigma miring tentang Radikal, seolah-olah orang yang radikal tidak pancasilais.

Mereka begitu anti terhadap ulama dan ustaz yang kritis terhadap pemerintahan, lalu dimana salahnya jika kritik itu demi kebaikan dan dapat membangun bangsa ini menjadi bangsa yang sesuai dengan keinginan rakyat?

Padahal selaku ulama dan ustaz yang menjalankan amar makruf nahi mungkar, pastilah tidak akan membiarkan pemerintahan berjalan menyimpang dari aturan Allah. Ada kewajiban bagi seorang muslim untuk berdakwah agar umat tidak terjerumus pada kerusakan dan mencegah datangnya adzab Allah.

Bisa kita lihat dahulu bagaimana Rasulullah SAW, manusia yang membawa risalah untuk kita umatnya dengan disuguhi berbagai hinaan, tuduhan, cacian dan akan dibunuh oleh kelompok orang orang yang benci dengannya, padahal beliau sebelumnya diberi gelar Al Amin karna kejujurannya, kesantunannya dalam berniaga sehingga banyak penduduk Mekah mempercayainya. 

Namun, kondisi itu berubah ketika beliau mulai mendakwahkan Islam sebagai agama yang benar, dan tuduhan makin terus bergulir dari pembenci sehingga Rasulullah di cap radikal karna ingin merubah kepercayaan penduduk mekah jahiliyah.

Kondisi ini sama dengan yang terjadi di negeri ini, seolah pemerintah tidak mempunyai kerjaan mengurusi orang-orang yang sebenarnya punya andil besar dalam tatanan kehidupan.

Ustaz ataupun ulama harus menyampaikan kebenaran. Mengamar ma'rufi pemerintahan adalah hal yang pernah diterapkan oleh Umar bin Khatab di saat baru diamanahkan menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar As-Shidiq. 

Dalam pidatonya Umar justru minta masyarakat Mekah agar tidak ragu untuk menegurnya dalam beberapa hal kalau dia berbuat kesalahan. Bahkan Umar meminta rakyatnya tidak ragu menuntutnya jika rakyat tidak terhindar dari bencana.

"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan bekali saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara. Sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan saudara-saudara sekalian" kata Umar menutup pidatonya.

Selesai berpidato Umar bin Khattab turun dari mimbar dan memimpin shalat. Begitu kepemimpinan yang patut dicontoh dan diterapkan. Serta hanya bisa terlaksana pada kepemimpinan yang berlandaskan Islam.

Diibaratkan bangunan meski sudah berdiri tegak, tapi nyatanya jika penopang dan unsur-unsur dari bangunan tersebut adalah dari dasar yang rapuh, apa salahnya untuk dirobohkan diganti dengan pondasi yang baik maka akan tegaklah sebuah bangunan yang kuat.

Demikian Islam, memberi kesempatan bagi ulama-ulama dan ustaz-ustaz yang kritis yang senantiasa melakukan ammar makruf pemimpin sehingga tidak lari dari koridor dan dapat menjalankan amanah dan menjadi pemimpin yang baik bagi rakyatnya.

Seharusnya pemerintah sadar dan mendukung bahwa apa yang mereka klaim radikal itu bahaya, justru sebaliknya yang radikal yang bertakwa dan sadar bahwa keinginan untuk perubahan ke arah lebih baik sangat diharapkan ada dan terwujud di tengah-tengah umat. Jadi menurut siapa radikal ini dan untuk tujuan apa, berbahayakah bagi umat? Semoga masyarakat dapat menilai dengan bijak.
Wallahu a'lam bissawab. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama