Oleh. Bu Hermin Setyorini
Praktisi Kesehatan


Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng untuk masyarakat yang terdampak pada kenaikan harga kelapa sawit internasional. Untuk mengeceknya, masyarakat penerima adalah yang masuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Jumlah yang masuk kedua program tersebut mencapai 20,5 juta keluarga. Sementara itu para Pedagang Kaki Lima (PKL) juga akan mendapatkan bantuan yang sama. Yakni jumlah penerima BLT minyak goreng menyasar pada 2,5 juta PKL yang berjualan gorengan.Mekanisme pencairan tersebut akan dilakukan sekaligus.

Yakni masyarakat yang masuk dalam syarat penerima langsung mendapatkan 300 ribu. Pemberiannya akan dilakukan selama bulan April hingga Juni 2022. Para penerima bantuan akan mendapatkan Rp 100 ribu per bulan selama tiga bulan. (CNBC Indonesia, 7 April 2022)

Tentu ini menjadi angin segar bagi penerima, ditengah terus tingginya harga minyak goreng.
Seperti kita ketahui dan diberitakan Tempo sebelumnya, pada awal tahun ini pemerintah mengeluarkan kebijakan minyak goreng satu harga Rp 14.000 per liter yang berlaku hingga 31 Januari 2022. Keesokan harinya, pemerintah mematok Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk tiga jenis minyak goreng per liter. 

Di antaranya jenis minyak goreng curah sebesar Rp 11.500-14.000, minyak goreng kemasan Rp 13.500, dan kemasan premium Rp 14.000. Aturan HET tersebut mulai diterapkan 1 Februari 2022 dan sempat membuat harga minyak goreng di pasaran turun. Namun, stoknya menjadi langka. Akhirnya, pemerintah mencabut aturan HET sehingga harga diserahkan kembali ke mekanisme pasar. 

Lambat laun, keberadaan minyak goreng kembali muncul di pasaran, tetapi harganya melambung tinggi di atas Rp 20 ribuan per liter. Sedangkan untuk ukuran 2 liter dibanderol di atas Rp 40 ribuan. Ironi, minyak goreng mahal di negeri penghasil CPO lima besar di dunia, ibarat ayam mati di lumbung padi, miris memang tapi itulah kenyataannya yang terjadi di negeri ini.

Lantas apakah kemudian pemberian BLT minyak goreng akan menjadi solusi tuntas yang sekaligus meringankan beban rakyat? Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut, produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. Jumlah ini turun tipis dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 47,03 juta ton.

Namun, jumlah itu tentu masih memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang menurut data Index Mundi mencapai 15,4 juta ton pada 2021. Data ini juga menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan konsumsi minyak goreng terbesar di dunia.

Akar Masalah

Krisis minyak goreng ini tidak lepas dari upaya jaringan pebisnis sawit menghilangkan minyak goreng dari pasar dalam negeri. Apa target inisiator  yang mentargetkan hilangnya minyak goreng di Indonesia, negeri dengan areal kebun sawit terluas di dunia ini ?

Jangka pendek: Shock therapy, keguncangan pasar sebagai bargain para pebisnis untuk menuntut naiknya harga barang karena harga internasional tinggi. Jangka Panjang: Menekan pemerintah agar memberlakukan Liberalisasi perdagangan kepada CPO. Mengapa demikian ? Indonesia bisa saja menjadi basis produsen CPO dunia, dengan kebun sawit terluas di dunia. 

Namun perlu juga diingat bahwa Indonesia sekaligus pasar CPO yang signifikan. Baik CPO untuk Biodiesel maupun untuk Minyak Goreng. Pebinis hulu dan hilir CPO memaksimalkan keuntungan  dengan mengupayakan sedemikian rupa agar harga yang ditetapkan harus harga standar internasional.  Apalagi Indonesia  menganut sistem ekonomi Kapitalisme yang harus mengadopsi nilai tukar mengambang, sementara nilai tukar rupiah cenderung turun terhadap mata uang asing baik karena perdagangan maupun utang luar negeri. 

Wajarkah bila kelapa sawit dihasilkan dari bumi Indonesia, tapi harga yang menentukan adalah harga internasional? Tentu sangat tidak wajar! Sementara dalam negeri juga tetap dijatah kuota nya melalui DMO (Domestic Market Obligation). Pelakunya adalah jaringan bisnis CPO dari hulu sampai hilir baik CPO untuk biodiesel dan jaringan bisnis CPO untuk minyak goreng.

Padahal untuk menutup biaya produksi CPO, maka sebenarnya industri pengolahan sawit sudah bisa meminimalisir biaya produksi dengan memanfaatkan hasil samping yaitu limbah nya. Diketahui bahwa dari pengolahan setiap 1 ton tandan buah segar  sawit (TBS) yang diolah pabrik CPO maka menghasilkan limbah sekitar  35 % - 40 % . 

Nilai jualnya pun sudah bisa dimanfaatkan dengan  relative signifikan untuk mengurangi biaya produksi. Jadi, sebenarnya dengan pemanfaatan maksimal hasil samping pabrik pengolahan CPO maka  biaya produksi bersih pebisnis sawit  relatif kecil. Namun faktanya pebisnis berusaha mengambil keuntungan sebanyak banyaknya dengan berusaha memberlakukan harga CPO dengan harga standar internasional yang relative tinggi dengan biaya produksi dan pengangkutan yang sebenarnya relati rendah. 

Dengan demikian, maka pebisnis sawit bisa meraup untung sebanyak banyaknya. Sementara konsumen Indonesia dipaksa membeli dengan harga tinggi yakni sesuai dengan harga internasional.  Pemerintah pun dipaksa pebisnis sawit untuk memberikan subsidi selisih harga itu sebenarnya juga tidak fair, karena asal uang itu dari pajak rakyat pula.

Demikian pula subsidi yang diambil  dari pengurangan pajak pengusaha sawit yang dikembalikan lagi ke pengusaha. Dan kini saat upaya itu tak juga berhasil, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian BLT minyak goreng dengan harapan mengurangi beban rakyat saat memenuhi kebutuhan minyak goreng.

Kebijakan pragmatis ala demokrasi kapitalis karena penguasa hanya sebagai regulator atas kerakusan pengusaha yang menopang rezim agar tetap berkuasa. Dan untuk kesekian kalinya rakyatlah yang menjadi korban.

Islam Solusi Tuntas

Islam sebagai agama mayoritas penduduk di negeri ini sejatinya memiliki solusi tuntas permasalahan minyak goreng dan gurita pengusaha atas rakyat bahkan pada pemerintah. Tentu saja ini akan terealisasi ketika Islam itu ditegakkan dalam institusi negara yakni Khilafah Islamiyah. 

Secara praktis, khalifah yakni pemimpin dari khilafah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dengan menjalankan sistem ekonomi Islam. Ada beberapa langkah yang harus negara lakukan dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat termasuk minyak goreng.

Pertama: terkait produksi, negara akan menjaga pasokan dalam negeri. Negara membuka akses lahan yang sama bagi semua rakyat untuk memaksimalkan produksi lahan; mendukung para petani melalui modal, edukasi, pelatihan, serta dukungan sarana produksi dan infrastruktur penunjang.

Kedua: terkait distribusi. Negara akan menciptakan pasar yang sehat dan kondusif, mengawasi rantai tata niaga, dan menghilangkan penyebab distorsi pasar. Ketiga:  negara mengawasi agar penentuan harga mengikuti mekanisme pasar. Selain itu, negara dalam Islam wajib menjalankan politik perdagangan luar negeri secara independen (mandiri). Allah Swt. berfirman: “Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141) 

Jadi pengaturan perdagangan luar negeri wajib mengikuti syariat Islam dengan mengedepankan kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Yang mampu memberlakukan politik semacam itu hanya sistem Khilafah. Khilafah berlaku sebagai penentu serta pengatur pelaksanaan perdagangan luar negeri, baik oleh individu maupun atas nama negara.

Semua pelaksanaan itu dengan memperhatikan status negara (ekspor) ataupun asal (impor). Negara juga akan memperhatikan jenis komoditas, bernilai strategis atau tidak, serta rakyat membutuhkannya atau tidak. 

Jika negara menjalankan semua hal tersebut, akan dapat meminimalisir, bahkan mencegah terjadinya gejolak berbagai harga kebutuhan pokok rakyat. Dengan demikian maka solusi atas mahalnya minyak goreng dan ketidak berdayaan penguasa pada pengusaha minyak goreng maupun CPO akan benar-benar tuntas terselesaikan. Wallahu a'lam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama