Oleh. Ummu Hilya Aulia 
Muslimah Pengubah Peradaban


Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

"Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 (seribu tujuh puluh) perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Banyak kisah inspiratif yang terjadi pada perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, dimana penghentian penuntutan tersebut telah memperkuat penerapan model keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia," kata Fadil dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2022).

Berdasarkan survei penelitian yang dilakukan oleh Komnas HAM sebesar 85,2% responden mendukung penerapan pendekatan keadilan restoratif untuk menghentikan perkara pidana yang tidak perlu serta kejahatan yang sifatnya ringan. Fadil menjelaskan mengingat kondisi penjara di Indonesia sudah terlalu padat, masyarakat menuntut reformasi serius dalam praktik penegakan hukum yang cenderung berfokus pada pembalasan dengan pemenjaraan, daripada memulihkan keadilan.

Singkatnya, penting untuk menemukan solusi, mengurangi jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan. Penerapan praktik keadilan restorative diharapkan membawa konsekuensi mengurangi napi di lembaga pemasyarakatan.

"Untuk meningkatkan penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kearifan lokal juga dibawa masuk sebagai salah satu sumber penting dalam memperkaya proses penyelesaian perkara, dengan pendekatan keadilan restoratif," ucap Fadil.

Dia mengatakan dengan pendekatan keadilan restoratif, setidaknya ada tiga poin penting yang harus direnungkan. Pertama, keadilan restoratif memperkuat kohesi sosial antaranggota masyarakat.

Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan bagi mereka yang membutuhkannya. Terakhir, penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan perilaku yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabiliter dirinya.

Harapannya adalah penerapan keadilan restoratif dapat membantu pemerintah mengurangi residivisme, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong rekonsiliasi antara korban, dan pelaku di masyarakat. (Detik.com, 23/5/2022)

Keadilan Restoratif Bukan Solusi

Keadilan restorative, konsep ini merupakan sumbangan dari sistem sekuler yang sifatnya batil. Peran agama terpisah dari semua perkara kehidupan, penuh dengan ketimpangan, bahkan ketidakadilan.

Dengan senjata inilah umat semakin dijauhkan dari solusi Islam yang sejatinya menjadi pintu keluar dari problematika hidup mereka. Padahal keadilan restorative bukan solusi, malah menambah beban masalah pelik tak berkesudahan. Namanya saja konsep buatan manusia buah dari pada pemikiran sekuler, mudah diubah-ubah sesuai kehendak atau politik kepentingan rezim, bahkan konsep ini seolah memaksa masyarakat untuk legawa dengan realitas yang ada walaupun itu pahit.

Dan seolah menjadi solusi baru bagi negeri untuk keluar dari berbagai macam permasalahan yang terjadi saat ini. Namun faktanya hal itu tidak bisa menuntaskan akar masalah, yang ada menimbulkan masalah baru yang semakin runyam.

Contoh yang terbaru, Polri menerapkan keadilan restoratif dalam menyelesaikan kasus dugaan pencurian tandan buah segar kelapa sawit PT Daria Dharma Pratama di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu. Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto menyatakan kepolisian menjadi mediator antara petani dan perusahaan. Hasilnya 40 orang petani sawit yang ditahan kini telah dibebaskan. Padahal sebelumnya para petani beralasan memang hendak memanen sawit hasil garapan mereka di perkebunan yang ternyata merupakan tanah yang sudah lama dalam sengketa. Lebih anehnya lagi alih-alih polisi menjadi mediator, faktanya sebelum itu mereka berada di pihak yang memusuhi petani serta membela para korporat. Inilah wajah baru bentuk keadilan restoratif itu.

Umat Butuh Keadilan Hakiki

Umat sangat butuh keadilan yang benar-benar nyata, apalagi menyangkut hajat hidup mereka dalam bermasyarakat. Ketenangan, ketentraman bahkan kesejahteraan itulah harapan umat yang sesuai fitrah mereka. Dan itu hanya dimiliki Islam yang sempurna mengatur segala aspek kehidupan.

Salah satunya masalah konflik agraria dan dalam hal ini Islam sangat tegas dalam mengambil keputusan.Terutama terkait status harta kepemilikan, sehingga jelas akar permasalahannya serta tidak ada lagi ketimpangan maupun masalah yang lain.

Syariat Islam juga ditujukan untuk mengatur perbuatan manusia ketika ingin berhubungan dengan Allah Swt. secara langsung untuk kebutuhan apa saja, baik untuk kebutuhan berdoa, bermunajat, menyembah, menyucikan, memuji, mengagungkan, menyampaikan segala permasalahan hidupnya, ingin memperoleh ketenangan, terbebas dari segala bala, bencana, musibah, dan sebagainya. Maka manusia tidak dibiarkan bebas membuat aturan sendiri, melainkan akan diatur oleh syariat Islam.

Oleh karena itu, segala perbuatan manusia memerlukan aturan yang jelas dan pasti, yaitu aturan yang berasal dari Tuhan itu sendiri, bukan aturan hukum yang dihasilkan oleh rekaan manusia. Begitu pula sistem hukum Islam, mengedepankan aktivitas amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk pencegahan tindak kriminal, peradilan yang independen dan sanksi yang membuat jera karena bersumber dari syariat Islam. Sehingga akan menjamin keadilan serta menciptakan keamanan bagi masyarakat seutuhnya.

Demikianlah Islam mengatasi suatu perkara, semua berlandaskan hukum syara dan sistem Islam juga tidak berdimensi dunia saja tapi juga dimensi akhirat, hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan dapat mencegah timbulnya kejahatan yang berkelanjutan sekaligus menjadi penebus dosa bagi pelaku.Sehingga tidak ada yang namanya keadilan itu nonsense atau omong kosong, yang ada hanyalah keadilan hakiki.

Dan dalam hal ini memerlukan peran sebuah negara untuk mewujudkannya, serta syariat bisa tegak apabila ada institusi yang menaunginya yakni Khilafah. Wallahu'alam bissawwab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama