Oleh. Nadia SL


Fenomena anak lahir di luar nikah bukan hal yang baru di negeri  yang mengusung ide sekularisme  yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Bahkan menjadi hal yang biasa. baru-baru ini sempat viral seorang ibu yang menuntut pengakuan seorang pria, bahwa anak yang dilahirkannya adalah anak biologis dari pria tersebut.  Ibu tersebut sampai  menempuh jalur hukum agar mendapatkan pengakuan tersebut. 

Seperti yang dikutip dari CCN Indonesia (6/5/22). Pengadilan Tinggi Banten menyatakan bahwa RA merupakan ayah kandung dari anak perempuan yang akrab di sapa Kekey, yang dilahirkan WA. Dalam hal ini pengadilan mengabulkan gugatan WA.

Sungguh miris di zaman ini perbuatan zina telah menjadi hal lumrah dan tersebar di mana-mana. Pelakunya bisa orang tua, orang dewasa, remaja hingga yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Kasus di atas hanya satu bukti di antara banyaknya kasus serupa yang terjadi.

Tidak sedikit kita mendengar dari perzinaan tersebut menyebabkan kehamilan di luar nikah. Karena rasa malu, ada sebagian orang yang mengambil jalan aborsi sehingga kasus aborsi meningkat. Ada juga yang mempertahankannya hingga lahir. Lantas anak-anak yang lahir di luar nikah ini tidak memiliki ayah dan nasab yang jelas. 

Tapi meski anak di luar nikah ini tidak dinasabkan kepada ayahnya melainkan ke ibunya saja dan tidak berimplikasi pada hak mendapat nafkah dan waris, mengetahui siapa ayah biologis seorang anak (lahir di luar nikah) adalah hal yang sangat penting untuk jalur pernikahan kelak.

Di dalam pandangan  Islam Jika si anak berjenis kelamin perempuan, maka beberapa hal wajib diperhatikan, pertama. Supaya dia tahu bahwa ayah kandungnya itu haram dinikahi olehnya. Kedua, Tahu bahwa anak laki-laki yang seayah dengan dirinya, haram dinikahinya. Ketiga, Supaya tahu bahwa ayah dari ayahnya (kakek), kakak dan adik ayahnya (paman) juga haram dia nikahi. Keempat Supaya sang ayah tidak menikahi saudara perempuan anak gadisnya ini (kakak atau adik) jika ada. 
Sebab pendapat ulama, meskipun ada perbedaan, yang mayoritas adalah mengharamkan seorang laki-laki untuk menikahi anaknya hasil zina, karena keumuman ayat an-Nisa (4): 23 tentang mahram wanita. 

Demikian, jika seorang anak tidak mengetahui ayah biologisnya, bisa saja terjadi pernikahan sedarah (incest) dan hal ini merupakan pelanggaran syariat yang serius dan sudah seharusnya diketahui dengan pasti ayah biologis dari setiap anak. Walaupun sebenarnya kondisi ini tidak akan terjadi andai tidak ada perzinaan. 

Oleh karena itu, Islam sudah jauh-jauh hari melarang segala hal yang dapat mendekatkan kita pada zina seperti berkhalwat, pacaran, dsb. Islam memerintahkan untuk menjaga batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan, menjaga pandangan, menutup aurat dengan benar, menikah bagi yang sudah mampu dan menyuruh berpuasa bagi mereka yang belum mampu, serta merintahkan setiap muslim untuk senantiasa menghiasi diri dengan ketakwaan. 

Menurut Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya an Nizham al ijijtima’iy fii al Islam, tatkala seorang muslim memiliki sifat takwa, pasti ia akan takut kepada Allah SWT, akan mendambakan surga-Nya, sekaligus ingin meraih keridaan-Nya. Dengan begitu, ketakwaan ini akan memalingkan seorang muslim dari perbuatan mungkar dan akan menghalanginya dari kemaksiatan kepada Allah SWT seperti berzina. 

Namun, upaya menyelesaikan masalah zina tidak akan begitu efektif manakala negara tidak hadir melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Maraknya perzinaan di berbagai kalangan merupakan produk sistem kapitalis sekuler liberal. Karenanya, kasusnya akan terus muncul selama sistem rusak ini diterapkan dalam kehidupan. Solusi tuntas yang akan menyelesaikan masalah tersebut hanya ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan, maka nasab manusia akan senantiasa terjaga.
Wallahu a’lam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama