Oleh. Lilis Iyan Nuryanti, S.Pd
Komunitas Pena Islam


Ibadah haji telah berlalu, menyisakan pilu bagi para calon jemaah haji yang tidak bisa berangkat haji di tahun ini. Padahal pemberangkatan haji sudah bertahun-tahun lama dinanti, namun tak kunjung bisa berangkat. Di sisi lain, pemerintah malah menolak tambahan kuota haji sebanyak 10.000 bagi jemaah Indonesia.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengingatkan Kementerian Agama (Kemenag) agar tidak buru-buru menolak tambahan kuota haji sebanyak 10.000 bagi jemaah Indonesia. Menurutnya, tambahan kuota tersebut merupakan niat baik Pemerintah Saudi yang harus diapresiasi.

"Seharusnya tambahan kuota haji untuk Indonesia diapresiasi dengan baik dan tidak secara sepihak ditolak tanpa dimusyawarahkan secara formal dengan para wakil rakyat di DPR. Apalagi ternyata persetujuan penambahan dari pihak Saudi itu sudah cukup lama disampaikan secara resmi, yaitu sejak tanggal 21 Juni 2022. Sehingga kalau dianggap mepet dari sisi waktu, mestinya sejak saat itu bisa segera dibahas bersama Komisi VIII DPR-RI. Tapi sayangnya, rapat yang sudah diagendakan, malah dibatalkan," ujar HNW dalam keterangannya, Jumat (1/7/2022).

Dia mengatakan jika alasan penolakan karena mepetnya waktu dan teknis terkait visa serta akomodasi di Saudi, mestinya hal itu sejak hari pertama sesudah persetujuan pada Rabu (22/6) langsung dimusyawarahkan dan disampaikan kepada pihak Saudi. Dengan harapan pihak Saudi bisa membantu menyelesaikannya dengan mempercepat proses Visa maupun akomodasi selama di Saudi Arabia.

Diketahui, berdasarkan keterangan Dirjen PHU Kemenag surat resmi dari Pemerintah Arab Saudi terkait penambahan kuota jemaah Indonesia datang pada Selasa (21/6). Tanggal tersebut berjarak sekitar 12 hari dari kloter keberangkatan terakhir jemaah Indonesia di tanggal 3 Juli 2022.

"Selama ini kami di komisi VIII DPR RI mengusulkan agar Pemerintah melakukan lobi tingkat tinggi agar mendapatkan kuota haji yg bertambah, juga menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia agar ada penambahan kuota haji sehingga bisa memangkas lama antrian jamaah. Ketika Pemerintah Saudi memberikannya, aneh sekali malah ditolak oleh Kementerian Agama, tanpa dibahas secara resmi dan tanpa melalui persetujuan formal dengan Komisi VIII DPR RI. Tentu hal ini sangat disayangkan," paparnya. Dilansir dari DetikNews (01/07/2022). 

Polemik ibadah haji, selalu muncul dan jadi perdebatan. Dana haji yang tiada, kasus pembatalan pemberangkatan ibadah haji karena pandemi. Serta kasus calon jemaah haji yang mengalami masalah administrasi akibat kelalaian pemerintah yang menjadikan jemaah haji rawan gagal berangkat. 

Tercermin pada daftar tunggu jemaah haji Indonesia yang kian tahun kian membengkak. Bahkan, waktu tunggu keberangkatan mencapai puluhan tahun. Dan makin diperparah dengan adanya pembatasan kuota jemaah haji.

Kondisi yang belum stabil ini seharusnya menjadikan pemerintah cekatan dan sungguh-sungguh dalam melakukan para calon jamaah haji dengan asas negara hadir mengurusi urusan rakyatnya. Nyatanya peluang penambahan kuota yang telah diberikan pemerintah Arab Saudi malah ditolak. Ribuan calon jemaah haji menjadi korban ketidaksiapan pemerintah Indonesia.

Pemerintah tidak bisa menyiapkan. Para calon jamaah cadangan tak kunjung mendapat informasi terkait keberangkatan. Informasi terkesan terlalu mepet karena ketidaksigapan pemerintah. 

Padahal haji adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan bagi yang mampu. Namun, dalam penerapan sistem Kapitalis Sekuler ini membuat segala hal yang bersangkutan dengan ibadah umat Islam selalu dipersulit dalam hal administrasi, salah satunya ibadah haji. 

Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduk muslimnya terbanyak di dunia. Namun, saat ini mayoritas negara muslim justru menerapkan kapitalisme berbasis sekuler sebagai paradigma berpikir dan asas dalam membuat seluruh sistem dan hal kebijakan.

Beginilah realita kepemimpinan yang berasaskan kapitalisme. Pemimpin tak pernah hadir secara sungguh-sungguh sebagai pelayan umat yang seharusnya senantiasa mempermudah urusan umat.

Ibadah haji termasuk pokok ajaran Islam yang ada dalam rukun Islam. Tentu ini bukan perkara remeh. Penyelenggaraannya harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Penguasa yang menggunakan asas kapitalisme dalam kepemimpinannya hanya akan melahirkan kebijakan yang bervisi kapitalisme. Sehingga dipastikan gagal mengurusi masalah yang tidak terkait mendatangkan keuntungan. Padahal dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi seharusnya pemerintah mampu mengatasi kendala yang terkait dan memberikan dukungan terhadap rakyatnya.

Pemberian dukungan yang penuh ini seperti yang terjadi dalam pemerintahan kekhalifahan Islam. Diantaranya pada masa Sultan Hamid II dimana beliau membangun infrastruktur dengan membangun jalur kereta api di Hijaz pada tahun 1900. Jalur kereta ini bisa mempendek perjalanan calon jamaah haji dari 40 hari menjadi 5 hari saja.

Beginilah pemimpin yang amanah. Sebagai pemimpin, beliau bisa menjalankan fungsinya sebagai pengatur urusan umat. Pemimpin yang kebijakan-kebijakannya memudahkan urusan umat dalam melakukan kebaikan. Semua didasari pada sistem politik Islam yang bersandar pada Aqidah Islam. Dengan begitu seorang pemimpin akan menyadari bahwa dalam setiap kepemimpinannya akan dimintai tanggung jawab oleh Allah.

Sedangkan dalam pandangan kapitalisme, dorongan terbesar melakukan sebuah perbuatan adalah untuk mendapatkan manfaat berupa materi. Itulah sebab, bukan hal aneh ketika untung dan rugi menjadi pertimbangan dasar dalam menyusun berbagai sistem dan kebijakan, termasuk haji.

Sudah selayaknya sistem yang sekarang ini diganti dengan sistem Islam yang bisa menaungi lebih dari 50 negeri kaum muslim. Islam memiliki mekanisme tertentu.

Pertama: membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah. Karena itu terkait dengan Masalah administrasi, maka urusan tersebut bisa di desentralisasikan, sehingga memudahkan calon jemaah haji dan umrah.

Kedua: Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah haram (Makkah dan Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Islam adalah mengurus urusan jemaah haji dan umrah, bukan paradigma bisnis, investasi dan sebagainya.

Ketiga: penghapusan visa haji dan umrah, kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum Syara tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Karena seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Mekkah dan Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor.

Serta masih banyak lagi mekanisme yang seharusnya memudahkan untuk umat muslim beribadah. Sehingga tidak menghalanginya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semoga Daulah Islam kembali tegak lagi di muka bumi ini.
Wallahu a'lam bissawab. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama