Oleh. Vera
Komunitas Bunda Shalihah


Meskipun pemilihan Presiden masih cukup jauh, masih sekitar 2 Tahun lagi. Namun demikian, demi menduduki kursi No.1 di Pilpres 2024 aroma persaingan sudah mulai tercium. Terbukti, banyak para pejabat dan politisi yang mulai sibuk bermanuver. Demikian juga dengan Partai Politik.

Ada beberapa Nama yang muncul dan di munculkan sebagai Balon (Bakal Calon) Presiden. Di sisi lain banyak yang menghendaki Jokowi dari PDIP menjadi Presiden tiga periode. Meski banyak di tentang berbagai kalangan, ada sejumlah pihak sempat bermanuver untuk memuluskan hasrat Jokowi tiga periode ini.

Semua Pejabat, Politisi, dan Parpol sibuk fokus memikirkan Pilpres 2024 yang masih jauh. Seolah tak ada satu pun Penguasa, Pejabat, Politisi, dan Parpol yang fokus mengurus rakyat. Padahal saat ini justru rakyat sedang banyak dirundung masalah, terutama masalah ekonomi. Naiknya harga Pertamax, tarif listrik dan gas yang melambung tinggi. Tapi pemerintah tak peduli, mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi. 

Dalam sistem demokrasi, tak ada kawan atau lawan abadi yang ada hanya kepentingan abadi. Mungkin saat ini menjadi oposisi, namun tak menutup kemungkinan esok akan berkoalisi. Begitu pun sebaliknya. Tentu kita semua masih ingat bagaimana gelaran Pilpres 2019 yang pertempurannya begitu terasa panas. Bahkan hingga kini kubu “cebong”, “kampret” dan “kadrun” masih sering disebut dalam perbincangan di media sosial.

Lantas untuk apa diadakan pilpres setiap 5 tahun sekali dengan mengambil biaya APBN hingga mencapai puluhan triliun rupiah? Padahal, alangkah baiknya jika dana tersebut dialihkan untuk mensejahterakan rakyat. Dengan begitu setidaknya akan mengurangi angka kemiskinan di negeri ini.

Belum lagi soal besarnya dana yang dibutuhkan untuk berkampanye, hal tersebut menjadikan masing-masing capres membuka peluang selebar-lebarnya bagi pengusaha dan perusahaan yang ingin ikut andil dalam pembiayaan kampanye. Akan tetapi dana segar yang mengalir tentu saja tidak diberikan secara cuma-cuma karena ada politik balas budi yang harus dibayar sebagai konsekuensi bertransaksi di atas prinsip politik demokrasi, yaitu tidak ada makan siang gratis.

Maka tidak heran jika muncul berbagai kebijakan yang menguntungkan pengusaha daripada membela rakyat. Inilah potret nyata rusaknya negeri demokrasi yang secara teori adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Namun faktanya adalah dari pengusaha, oleh pengusaha, dan untuk pengusaha. Maka dalam piramida demokrasi puncak tertinggi kekuasaan bukanlah di tangan rakyat tetapi di tangan para kapitalis, terutama para kapitalis global bermodal besar.

Jangan pernah berharap akan terpilih pemimpin dambaan umat yang akan bekerja semata-mata demi kemaslahatan umat di negeri penganut demokrasi ini. Pemilu dalam sistem demokrasi telah membatasi penegakan syariat sebagai cikal bakal lahirnya manusia-manusia bertakwa. Hal ini menjadi penjelas bahwa perjuangan menerapkan syariat Islam kaffah tak bisa selaras dengan demokrasi.

Sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Seorang pemimpin (khalifah) dipilih dalam rangka untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, dia harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dia tidak boleh berhukum dengan hukum buatan manusia yang bisa berubah-ubah sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu.

Syarat pertama untuk menjadi khalifah dalam pemerintahan Islam haruslah seorang Muslim. Kemudian syarat in’iqad lain yang harus dipenuhi adalah laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu menjalankan amanah. Semua syarat tersebut harus terpenuhi, jika ada salah satu saja syarat yang tidak terpenuhi, maka akad pengangkatan seorang khalifah menjadi tidak sah.

Metode pengangkatan seorang khalifah di dalam Islam bersifat baku, yakni dengan baiat yang diambil dari umat. Sedangkan cara untuk memilih seorang khalifah bisa bermacam-macam, bisa dengan penunjukan atau melalui pemilihan yang dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi, yang merupakan representasi umat. 

Jabatan khalifah tidak dibatasi oleh waktu, akan tetapi dibatasi oleh ketaatannya dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah. Jadi, jika seorang khalifah telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum syara maka pada saat itu juga ia akan diberhentikan dari posisinya sebagai seorang khalifah oleh Mahkamah Madzalim.

Dengan model pemilihan seperti itu, maka biaya pemilihan pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam sangatlah murah jika dibandingkan dengan pemilihan dalam sistem demokrasi yang harus dilakukan setiap 5 tahun sekali. Selain itu, seorang khalifah tidak akan mudah dikendalikan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan dan aturan-aturannya pun tidak akan mudah berubah sesuai dengan kepentingan swasta. Sebab, sumber segala peraturan dan undang-undangnya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah bukan kepada akal dan hawa nafsu manusia. 

Semoga sistem pemerintahan Islam segera tegak di muka bumi ini. Supaya rakyat sejahtera dan tidak terabaikan oleh pemerintah yang hanya berebut kekuasaan. 
Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama