Oleh. Tya Ummu Zydane
Aktivis Dakwah 


Tujuh belas Agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka, Nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Mer...de...ka...
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia Membela negara kita

Riuh suara tepuk tangan murid kelas empat A Sekolah Dasar Inpres hari itu. Aku tak ketinggalan menambah kebisingan, tapi nadaku sedikit pelan.

"Tya, maju ke depan dan nyanyikan lagu yang kita nyanyikan bersama tadi."

Bu Ratna, guru kesenian sudah berdiri tepat di depan mejaku.
Jantungku berdetak kencang, panik, takut dan gugup. Keringat mulai jatuh dari pelipis sampai ke dagu dan baju. Rasanya semua mata tertuju sadis padaku yang kaku duduk di bangku. 

Bu guru membawa penggaris kayu
panjang, terlihat seperti pedang yang siap menebas leherku, aku tercekat. Ku coba mengingat kembali bait-bait lagu itu, yang ku hafal hanya beberapa bait saja. Sedangkan yang lain abstrak tak tersusun menjadi kata, apalagi menjadi lagu yang berirama.

"Mutia... Maju sekarang!" Perintah guruku. 

Spontan tubuhku berdiri, dari ujung ke ujung tubuh mulai gemetar. Aku berusaha sekuat tenaga berjalan ke depan, mendengar teriakan Bu Ratna yang semakin menggelegar.

Teman sekelas mulai riuh menertawakan gadis kecil yang mulai basah indra penglihatannya. Sepatah kata pun tak mampu ia keluarkan dan malaikat penolong datang di saat yang sangat tepat. Guru olahraga mengetuk pintu kelas, Bu Ratna keluar dan setelahnya masuk kembali membubarkan kelas. 

"Anak-anak Ibu mau rapat, besok kita lanjutkan pelajaran keseniannya." Seru Bu Ratna. 

Aku merasa seperti baru di selamatkan saat hampir tenggelam di lautan, lega rasanya.

"Pak, tadi di sekolah Tya diminta menyanyikan lagu hari kemerdekaan, tapi Tya belum hafal. Besok akan dilanjutkan lagi pak, tolong ajarkan ya Pak." Pintaku sambil bergelayut manja menatap bola mata Bapak yang memberi kode iya.

Kertas bertuliskan bait lagu yang bikin aku kaku di depan kelas, ku bawa kemana-mana. Bahkan sampai ke tempat tidur. Aku sangat berusaha keras untuk mampu menghafalkannya. Ku coba melawan kantuk yang mulai melemahkan penglihatan, bibirku terus komat-kamit sampai kertas lepas dari pegangan. 

Pagi itu aku sudah rapi, Bapak membelikanku seragam, tas, dan sepatu baru. Menambah semangatku untuk tampil dan menyanyikan lagu kemerdekaan.

Mikrofon diberikan Bu Ratna dan mempersilahkan aku naik ke panggung. Dengan cepat dan percaya diri aku berjalan menuju  cinta pertamaku. Aku menyalami dan memeluk Bapak, terdengar bisikan lembut Bapak ke telingaku, 

"Anak bapak hebat, semangat ya Nak, Bapak ada disini." Kata Bapak memotivasiku. 

Bisikan semangat penuh cinta merasuk sampai ke sanubariku. Dengan lantang kunyanyikan lagu kemerdekaan yang sudah ku hafal keseluruhan. Dari bawah panggung tampak Bapak tidak kalah semangat mengabadikan momen itu dengan kamera kesayangannya dan memberi apresiasi dua jempol atas penampilanku. Hingga Aku menyelesaikannya dengan sempurna.

"Tya, ayo bangun! Nanti kesiangan  sekolahnya." Suara Mamak melenyapkan suasana indah yang sedang ku alami.

Aku terduduk, terpaku, menyesali ternyata tadi hanya mimpi. Bergegas ku bersiap, tak ada sarapan pagi, aku hanya dibekali uang saku untuk makan di kantin sekolah.

Sengaja pagi ini aku berjalan ke sekolah sendirian, tidak mengajak Intan seperti biasanya yang sudah siap di depan rumahnya. Aku ingin fokus menghafal lagi setiap bait lagu yang nanti harus ku nyanyikan.

Atap sekolah mulai terlihat dari kejauhan, ku percepat langkah karena suara bel sudah terdengar. Aku masih sangat ketakutan dengan pelajaran Kesenian nanti, sampai berharap Bu Ratna tidak masuk sekolah hari itu.

Pak Mukhlis mengawali dengan pelajaran Matematika. Sedikit pun tidak ada yang nyangkut di otakku. Di balik buku pelajaran Matematika, aku sembunyikan catatan lagu kemerdekaan, liriknya masih terus ku hafal. Harapanku Bu Ratna tidak masuk pupus sudah,  saat terdengar ciri khas detak sepatu pertanda Bu Ratna akan muncul di kelas.

***

Hari ini, saat usiaku empat puluh lima tahun, saat Indonesia raya yang "katanya" akan memperingati kemerdekaan yang ke tujuh puluh tujuh tahun, lagu itu masih melekat di ingatan.

Setelah aku hijrah dan mengkaji Islam kaffah, aku menyadari bahwasanya Indonesia belum merdeka. Slogan kemerdekaan hanya tipu muslihat penjajah, dikarenakan mereka kesulitan memerangi para pejuang tanah air yang tidak gentar dengan senjata api.

Penjajah memberikan kemerdekaan semu, dan mulai merancang penjajahan cara baru. Bukan dengan senjata agar tidak terendus pribumi yang semangat juangnya sangat menggebu, tapi perang pemikiran yang melemahkan semangat para pemuda. Walau terjajah, tapi tidak terasa. Sehingga bermunculan generasi hedonis yang cinta dunia, takut mati dan pesimis.

Peringatan kemerdekaan Indonesia  di usia ke empat puluh lima tahun dalam hidupku. Satu per satu mulai tersibak tabir kebohongan itu. Semakin ku kaji Islam, semakin terang kebobrokan yang terlihat. Lagu kebangsaan terasa seperti gula dalam minuman, hanya pemanis belaka tanpa fakta. Setelah berganti beberapa kali pemimpin negeri, bukannya rakyat semakin sejahtera, tapi malah sebaliknya.

Tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem sekuler ciptaan manusia yang dipakai di Indonesia. Tangan-tangan para kapitalis yang bengis sangat leluasa berkuasa dalam sistem zalim ini, sehingga yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin menderita.

Aku bersyukur, Allah pilih berada dalam barisan pejuang penegak syariat Islam. Sehingga akal sehat ku manfaatkan untuk terus berbenah sembari meriayah umat, bersama jama'ah menyadarkan masyarakat akan pentingnya hidup diatur dengan hukum Allah.

Semoga yang masih bertahan, Allah beri keistiqamahan sampai waktunya pulang dan semoga siapa pun yang sudah mundur Allah gerakkan kembali untuk menguatkan barisan.
Indonesia milik Allah, wajib berhukum dengan hukum Allah.
Allahu Akbar. [] (UZ)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama