Oleh Dini Syam
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah


Dengan fakta betapa banyaknya penengak hukum yang terjerat korupsi, menambah subur dan semakin mengakar liar, menunjukkan betapa pemberantasan korupsi di negeri ini masih belum tuntas.

Ketika Hakim Agung Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya dalam kasus suap jual-beli putusan di Mahkamah Agung (tempo.co, 23/9/2022). Di dalamnya terdapat Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara dan pihak swasta. Hal tersebut memperlihatkan semakin maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ada di instansi hukum.

Pihak yang terjerat kasus tersebut menjadi orang yang kesekian kalinya yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya ada Jaksa Pinangki yang juga terlibat perkara suap dan gratifikasi dalam kasus Djoko Candra, pelaku skandal Bank Bali. Kemudian KPK juga pernah menangkap tangan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Saat itu dirinya menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah di awal tahun 2022.

Hilangnya empati publik pada penegakan hukum dikarenakan banyaknya instansi penegak hukum yang tertangkap, khususnya dalam kasus korupsi.

Berdasarkan data KPK ada 34 orang instansi pemerintah yang terjerat kasus korupsi. Lagi dan lagi, membuat masyarakat jenuh mendengar beritanya.

Lambatnya penyelesaian kasus dugaan adanya aliran judi online di kepolisian juga membuat penasaran publik tentang arah kasus ini. Berdasarkan temuan dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada aliran dana sebesar Rp155 triliun dari aktivitas perjudian online mengalir ke oknum anggota kepolisian.

Sebelumnya, seorang perwira polisi di Polda Sumsel setiap bulannya memberikan uang senilai Rp500 juta per bulan kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus). Ia pun ditetapkan menjadi terdakwa kasus dugaan penerimaan suap atau fee Rp10 miliar. Dana fantastis tersebut diduga bersumber dari Dinas PUPR Kabar Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.

KPK yang awalnya dibentuk bertujuan untuk pemberantasan korupsi, nyatanya justru didapati banyak oknum di dalamnya yang juga melanggar. Lolosnya Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang terlibat menjadi bukti betapa penegakan hukum perihal korupsi demikian lemah. Namun lebih aneh lagi ketika saat itu dirinya hanya mendapat sanksi kode etik, lalu mengundurkan diri.

Faktanya korupsi sungguh memiskinkan bangsa, merontokkan moralitas dan budaya bangsa. Seharusnya sebagai imbalannya, seorang koruptor tidak perlu diberi remisi.

Jika aparat penegak hukum terlibat korupsi, suap dan menerima gratifikasi, maka keadilan dan penegakan hukum yang berjalan sudah tentu dipertanyakan. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan sepanjang tahun 2020 rerata sanksi yang diberikan kepada pelaku korupsi terlalu ringan, hanya 4 tahun.

Maka sungguh, selama aparat penegak hukum masih mudah dibeli, pemberantasan korupsi tak akan pernah memperoleh hasil yang signifikan. Ini bisa dengan gampang kita lihat dari sejumlah kasus tindak pidana korupsi (tipikor) yang divonis bebas atau mudahnya pemberian remisi kepada pelakunya.

Pemberantasan korupsi di Indonesia belakangan ini dinilai banyak pihak berada pada titik nadir, bahkan sebagian secara ekstrim menyatakan telah mati. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya, rendahnya komitmen Presiden untuk melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan ketika terjadi revisi UU KPK. Juga sikap bergeming Presiden atas rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM yang menyatakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mengandung mal-administrasi dan melanggar hak asasi manusia.

Pada bulan September tahun 2022 ini saja ada 23 terpidana korupsi yang bebas bersyarat. Khusus Jaksa Pinangki misalnya, dirinya diberi diskon masa tahanan hingga 60%. Pemerintah beralasan bahwa hal itu adalah amanat undang-undang.

Penegakan hukum seringkali timpang bagi warga miskin, dan pihak yang lebih kuat berpihak kepada mereka yang dekat dengan kekuasaan dan uang.

Semua terjadi karena sistem kehidupan yang dianut negeri ini adalah Kapitalisme sekuler yang menjauhkan aturan agama dari kehidupan.

Sistem Islam adalah Penyelesai Utama dan Tuntas

Hakim mempunyai peranan penting dalam hukum. Firman Allah tentang berlaku adil dengan menerapkan syariat dalam peradilan, berdasarkan kalam-Nya di Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 8.

Selanjutnya Rasulullah saw. menjelaskan sekaligus memperingatkan para hakim tentang kedudukan mereka kelak di akhirat dalam hadis riwayat Ibnu Majah.

"Hakim itu ada tiga golongan, dua di neraka dan satu di surga, hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan perkara dengan ilmunya, maka ia berada di surga, kemudian hakim yang memberikan putusan kepada manusia atas dasar kebodohan dan kecurangan, maka ia di neraka."

Nabi Muhammad saw. juga bersabda:

مَنْ وَلِيَ الْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ

"Siapa saja yang menjabat sebagai hakim, sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau." (HR Abu Dawud)

Karena itulah Imam Fudhail bin Iyadh berkata, "Mestinya hari-hari seorang hakim itu hanya terbagi dua. Sehari di pengadilan dan sehari lagi ia habiskan untuk menangisi dirinya."

Banyak para ulama dulu yang menghindar bahkan menolak jabatan menjadi hakim. Ayyub as-Sukhtiyani berkata, "Sungguh saya mendapati orang yang paling berilmu itu adalah orang yang paling kencang berlari menghindar dari jabatan (hakim) itu."

Islam memberikan sejumlah jalan keluar dalam peradilan agar tidak menjadi masalah. Pertama, jabatan hakim hanya diamanahkan kepada orang alim dan bertakwa. Sebuah musibah jika hakim dijabat oleh orang yang jahil dan rakus kekuasaan.

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berkata, “Siapa saja yang mengurus urusan kaum Muslim, kemudian dia menyerahkan urusannya itu kepada seseorang karena kecintaan atau kekerabatan di antara keduanya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.”

Kedua, dalam sistem Islam hakim cukup mengadili menggunakan hukum Islam saja, tidak dengan hukum yang lainnya. Hukum Islam adalah hukum Allah Swt. yang menjamin keadilan bagi umat manusia. Jaminan keadilan untuk seluruh bani insan, ketika mereka tunduk pada hukum Islam semata. Bebas dari intervensi manusia dan tidak bisa ditafsirkan sesuai hawa nafsu. Produk hukumnya pun terlepas dari intervensi pihak manapun, serta terlarang menafsirkannya menggunakan hawa nafsu.

Adalah perkara dosa apabila seorang hakim memberi vonis hukuman berdasarkan produk hukum buatan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 65.

Hukum buatan manusia bisa dibeli sesuai kepentingan kekuasaan dan uang. Hanya mereka yang berkuasa dan berduit yang bisa mendapatkan keadilan. Akibatnya, justru orang-orang zalim yang sering dimenangkan di pengadilan.

Ketiga, diwajibkan penerapan hukuman sesuai syariat oleh hakim. Dalam pengadilan Islam tidak ada remisi atau pun naik banding. Nabi saw. pernah marah kepada Usamah bin Zaid ra. karena mencoba membatalkan vonis hukum potong tangan bagi seorang perempuan bangsawan yang mencuri.

Sabda beliau, “Sesungguhnya yang merusak/membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka membiarkanya, tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya."

Khalifah sebagai kepala negara juga akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para hakim. Sebagai kepala negara, Khalifah akan memantau dan menghitung kekayaan setiap hakim dan pemegang kekuasaan lainnya. Apabila ditemukan pengembangan usaha dan jumlah kekayaan yang tak wajar, negara akan menyita dan memasukkannya ke Baitul Mal.

Hanya Islam solusi tepat menangani gurita korupsi khususnya di lembaga peradilan. Maka jelas sudah betapa hanya Islam sajalah yang dapat memberi solusi terbaik dan tuntas menyelesaikan gurita korupsi, terkhusus di instansi peradilan. Itu karena keadilan dipersembahkan oleh Islam untuk semua lapisan tanpa kecuali.

Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 50 mempertanyakan kepada seluruh manusia, hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya). Apakah keinginan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah itu karena mereka ingin kembali pada hukum jahiliah yang mereka kehendaki?
Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama