Oleh Hermin Setyoningsih
Praktisi Kesehatan


Multaqa Ulama Al-Qur'an di Pesantren Al-Munawir, Krapyak melahirkan enam rekomendasi. Salah satunya, para Ulama Al-Qur'an yang hadir merekomendasikan pengarusutamaan wasathiyah Islam. Multaqa Ulama Al-Qur'an berlangsung tiga hari, 15 - 17 November 2022. Kegiatan ini diikuti 340 peserta yang terdiri dari para ulama, akademisi, praktisi, dan peneliti Al-Qur'an dalam dan luar negeri. Multaqa ini mengangkat tema “Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara”. Para peserta berdiskusi dalam beberapa sessi panel. Malam puncak panel menghadirkan tiga narasumber, yaitu: Prof Dr. Said Agil Husin Al-Munawwar, dan KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. Sementara Prof Dr. M. Quraish Shihab menyampaikan materinya secara daring.

Multaqa Ulama yang mengusung tema “Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara” ini juga berhasil menghasilan enam rekomendasi, yaitu: (1) Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama perlu terus memberikan perhatian penuh kepada upaya peningkatan pelayanan, pengawasan dan evaluasi pendidikan Al Quran, baik dari sisi bacaan, hafalan, dan implementasinya di tengah masyarakat. (2) Di tengah heterogenitas kehidupan masyarakat Indonesia, perlu pengarusutamaan wasathiyah sebagai metode berpikir, bersikap, dan beraktivitas sehari-hari. Sehingga, terwujud keberagamaan yang moderat, toleran, ramah, dan rahmah di tengah kebinekaan Indonesia. (3) Melihat antusiasme masyarakat Indonesia dalam mempelajari dan mendirikan lembaga pendidikan Al Quran, Kementerian Agama, khususnya Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren perlu segera menindaklanjuti usulan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang salah satunya mengatur tentang penjenjangan Pendidikan Al Quran di Indonesia mulai tingkat dasar hingga tinggi. (4) Desain kurikulum pendidikan Al Quran perlu disusun secara berjenjang dan berkesinambungan dengan memuat materi kekhususan ilmu-ilmu Al Quran ditambah dengan wawasan kebangsaan, keagamaan, dan isu-isu global dengan bingkai wasathiyah Islam. (5) Melihat fungsi sanad yang sangat penting bagi verifikasi data dan keabsahan jalur keilmuan, maka lembaga-lembaga pendidikan Al Quran perlu memperhatikan ketersambungan sanad, baik dari sisi bacaan, pemahaman, maupun pengamalan. Kementerian Agama juga perlu memfasilitasi proses dokumentasi dan pencatatan jalur sanad keilmuan ulama Al Quran di Indonesia. (6) Mengimbau kepada masyarakat, khususnya orang tua, para pendidik dan pengelola lembaga pendidikan Al Quran, agar menanamkan ajaran Al Quran secara komprehensif, mendalam dan moderat sebagaimana pernah dilakukan para ulama pendahulu, sehingga Al Quran benar-benar dapat menjadi petunjuk dan rahmat bagi umat, bangsa dan semesta. (Gontor news.com, 18 November 2022)

Ada beberapa hal yang harusnya umat Islam kritisi, terkait 6 rekomendasi tersebut, khususnya di rekomendasi kedua, terkait pengarusutamaan wasathiyah sebagai metode berfikir yang bisa mewujudkan keberagaman yang moderat, toleran dan ramah. Moderasi beragama yang gencar diopinikan, sebagai wujud dari pelaksanaan rekomendasi tersebut, sejatinya telah lama dijalankan yang sejatinya justru menjadikan umat Islam memiliki perilaku yang sekuler, yakni tidak menjadikan agama sebagai landasan dalam setiap berfikir. Moderasi beragama menjadikan umat meragukan ajaran Islam, tidak bangga dengan agamanya, dan sinkretisme dengan pemikiran di luar Islam. Sebut saja tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama yang dianggap untuk menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, akan tetapi itu malah menyuburkan kemunafikan. Demikian juga dengan kata wasathiyah yang kerap dijadikan dihubungkan dengan moderat yang sudah jelas berbeda maknanya. Tafsir Jalalain (1/149) menyebutkan bahwa makna ‘ummat[an] wasatha’ dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah ‘khiyar[an] wa ‘udul[an]’ (umat terbaik dan adil). Jadi, ummat[an] wasatha bukanlah umat moderat sebagaimana pengertian Barat. Dengan demikian istilah moderasi Islam lebih pada upaya mengubah ajaran Islam ke arah liberal. Sedangkan pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme.

Pengarusan moderasi memang dilandaskan pada asumsi yang dipaksakan bahwa agama Islam yang dipahami dengan pola pikir radikal hanya akan menjadi ancaman. Masalahnya, ancaman buat siapa? Terlebih, tidak bisa ditutupi bahwa narasi terorisme dan radikalisme adalah ciptaan Barat untuk menghalangi kebangkitan ideologi Islam. Tidak bisa menafikan pula bahwa proyek moderasi Islam adalah rekomendasi sekaligus proyek global Barat untuk menjauhkan umat dari modal kebangkitan. Dokumen-dokumen lama RAND Corporation jelas menunjukkan, ada hubungan erat antara penyebarluasan Islam moderat di negeri muslim dengan agenda liberalisasi ekonomi. Ada kaitan pula antara pembentukan jaringan muslim moderat ini dengan kepentingan nasional Amerika di kancah politik internasional. Oleh karena itu, alangkah naifnya jika umat Islam turut berpikir bahwa proyek moderasi Islam adalah proyek yang baik untuk mereka. Apalagi mereka turut mendukung, bahkan mau menjadi eksekutor lapang untuk menyukseskan target global pengukuhan penjajahan Amerika.

Padahal, multaqa ulama adalah kumpulan para ulama yang merupakan warosatul anbiya (pewaris para nabi). “Abu Ad Darda berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Diriwayatkan Abu Daud no. 3641). Mengingat peran ulama sabagai pewaris nabi dan penjaga misi kenabian serta pengontrol dan penasehat penguasa. Iman Al Ghozali dalam kitab Ihya ulumuddin menyampaikan, “Umat yang rusak di sebabkan oleh penguasa yang rusak. Sedangkan Penguasa yang rusak disebabkan oleh ulama yang rusak. Keberadaan ulama menjadi rujukan untuk dimintai pendapatnya oleh pemerintah dan calon pemimpin.“

Negeri kita saat ini mengalami krisis multidimensi, mulai dari krisis ekonomi yang sudah jatuh ke lubang resesi, problem sosial dengan maraknya kasus perceraian dan rusaknya generasi. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan, merebaknya kezaliman (ketidakadilan), kerusakan lingkungan, dan penyebaran wabah saat ini, tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem sekuler Demokrasi kapitalisme neo-liberal. Sistem ini meniscayakan dominasi kepentingan kelompok pemodal yang berkolaborasi dengan kekuasaan. Tak heran jika negara penganut sistem ini kerap mengeluarkan kebijakan anti rakyat bahkan anti Islam. Sebagaimana Indonesia sendiri yang diakui sudah lama dikuasai oleh kekuatan korporatokrasi. Salah satu bentuk penguasaannya yang fenomenal adalah pengesahan Undang-undang Ciptaker yang pro kepentingan kapitalis, sang pemilik modal. Sungguh, Barat telah memikat umat dengan angan-angan kosong. Alih-alih sejahtera, umat Islam terpasung dengan moderasi beragama yang justru menjauhkan umat dari penerapan syariat. Rendahnya kesadaran politik telah membuat umat terkebiri dan menjadi budak di negeri sendiri.

Oleh karena itu, ulama seharusnya justru berperan untuk meluruskan umat, dengan berupaya keras untuk membendung moderasi beragama. Manusia fitrahnya sebagai hamba, makhluk yang lemah, maka segala aturan apa pun harus berasal dari Allah SWT lewat wahyu-Nya. Aqidah Islam memerintahkan setiap jiwa untuk hanya tunduk dan beribadah kepada Allah semata. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ibadah tersebut dilakukan dalam segala bentuk sebagaimana yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah sSAW, seluruh perbuatan terikat dengan hukum syara’, kebebasan dalam berbuat dilakukan bila sesuai dengan syariat sebab capaian tertinggi hamba adalah keridhaan sang Pencipta Allah SWT. Aaq3 slam diturunkan bukan semata sebagai siraman spiritual belaka, ketenangan umatnya tak cukup dalam perkara aqidah, ibadah, dan muamalah sebagiannya. Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan (kaffah). Allah SWT telah berfirman bahwa Islam telah sempurna dan menyeru umatnya masuk dan menerapkan secara kaffah syariatnya. “Hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian, mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian serta meridhai Islam sebagai agama bagi kalian”. (QS. Al-Maidah: 3).

Untuk bisa membendung arus moderasi beragama, pemikiran yang salah ini harus dilawan dengan terus menggaungkan pemikiran Islam Kaffah ke tengah umat Islam. Setiap muslim harus memahami Islam sebagai ideologi sehingga tidak terpengaruh pada ide di luar Islam sebagai pedoman kehidupan. Kemudian mengungkap makar Barat Kuffar dalam melemahkan umat Islam, menyadarkan tentang bahaya ide moderasi. Sebenarnya, kalau sekadar menginginkan hidup berdampingan secara damai, ramah, dan toleran dengan penganut agama lain, bahkan tanpa moderasi beragama Islam telah mengajarkan demikian. Yang terjadi hari ini sebagian besar karena tidak hadirnya negara sebagai institusi yang memfasilitasi dan menjaga kaum muslim tetap berada dalam koridor taat. Perpecahan antar kaum muslim bahkan terhadap non muslim yang diakibatkan oleh lemahnya pemahaman akan syariat Islam yang sempurna. Maka memperjuangkan Khilafah bukanlah sesuatu yang membahayakan, sebab dengannya Islam kaffah akan diterapkan. Sejarah telah membuktikan ketika Islam diterapkan secara sempurna tingginya peradaban Islam tampak dan pantaslah predikat umat terbaik disebut atas umat Islam. "Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang maruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. (QS. Ali Imran: 110).
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama