Oleh. Ummu Syakira 
Muslimah Peduli Negeri


Pemerintah secara resmi mengatur tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan berlaku mulai 1 Januari 2023. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh. Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang diteken Jokowi 20 Desember 2022. Perubahan tarif pajak ini sejalan dengan dirilisnya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Adapun secara lengkap, tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dibagi menjadi lima layer. Pertama, penghasilan sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif pajak PPh sebesar 5%. Dengan demikian, karyawan dengan gaji Rp 5 juta per bulan harus membayar pajak PPh sebesar 5%. Kedua, penghasilan lebih dari Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan tarif pajak PPh 15%. Ketiga, penghasilan lebih dari Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta tarif pajak PPh yang dikenakan 25%. Keempat, penghasilan di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar dikenakan tarif pajak PPh sebesar 30%. Kelima, penghasilan di atas Rp 5 miliar dibandrol tarif pajak PPh sebesar 35%.

Sebagai catatan, tarif pajak penghasilan yang berlaku tahun 2023 ini menggantikan lapisan tarif yang sudah berlaku sejak Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh. Bedanya adalah terjadi perubahan rentang penghasilan yang kena tarif PPh 5%. Jika semula penghasilan sampai dengan Rp 50 juta setahun dikenai tarif 5%, maka sekarang tarif 5% dikenakan untuk rentang penghasilan sampai dengan Rp 60 juta setahun. (Kontan.co.id, 01/01/2023)

Pajak Beban Rakyat

Pemerintah mengeklaim dengan menciptakan bracket (penghasilan orang pribadi) baru, memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah, dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar membayar lebih tinggi. Namun tentunya penetapan pajak penghasilan di atas Rp 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara. Inilah yang terjadi jika negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat.  Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada.

Semua ini dikarenakan negara kita menggunakan sistem kapitalisme sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, mengesampingkan aturan agama (Islam) dalam menata ekonomi, sehingga menjadikan pajak sebagai cara negara mendapatkan pemasukan APBN. Pajak dibebankan kepada rakyat serta bersifat memaksa sebagaimana yang termaktub dalam UU KUP Pasal 1 ayat (1), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Islam Memandang Pajak

Kondisi ini berbanding terbalik dengan Islam. Dalam Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa kas negara atau baitulmal dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang tetap yakni zakat, jizyah, usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfhal, ghanimah, fai, khumus, kharaj dan sebagainya. Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan rakyat.

Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitulmal kaum muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]

Pajak (dharibah) hanya diberlakukan oleh Khilafah saat negara kehabisan kas, dan dibebankan hanya pada muslim yang mampu, dan nonmuslim tidak dibebani pajak. Jika ada kaum muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Namun, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya. Dan ketika kebutuhan negara sudah terpenuhi, maka pajak dihentikan.

Inilah paradigma yang berbeda pada Khilafah. Pajak adalah pungutan insidental sesuai kondisi keuangan Khilafah dan hanya dipungut dari rakyat yang kaya. Sehingga pajak bukanlah pemasukan utama kas negara atau baitulmal. Karenanya tak akan ditemukan pemalakan harta rakyat atas nama pajak pembangunan. Meskipun Khilafah memiliki kebijakan jaminan gratis pada bidang kesehatan, pendidikan dan keamanan, kas baitulmal akan dipastikan mencukupi, karena pengelolaan harta baik milik umum ataupun negara yang dikelola berdasarkan syariat Islam akan membawa keberkahan.

Kesejahteraan Hakiki

Sejarah telah mencatat, masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu Khilafah Dinasti Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 hingga 720 Masehi. Salah satu prestasi yang dicapainya hingga ia begitu dicintai rakyatnya dan mendapat sebutan "Khulafaur Rasyidin Kelima", adalah kesejahteraan yang diraih oleh rakyatnya hingga tak dijumpai satu pun Mustahik, atau orang yang berhak mendapatkan zakat. Karena semua rakyatnya sejahtera, bahkan pundi emas ditaruh di depan rumah pun tak ada yang mencuri. Dan tentu saja tanpa ada penarikan pajak sepeser pun pada rakyatnya. Meski tidak dimungkiri pernah pada masa kekhalifahan, terjadi penarikan pajak oleh negara karena keadaan paceklik, namun hal itu tidak pernah berlangsung lama.

Adapun kebutuhan-kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang pembiayaannya bisa diambil dari pajak, jika baitulmal dan sumbangan sukarela kaum muslim sudah tidak mencukupi untuk menutup pembiayaannya adalah sebagai berikut:

Pertama, pembiayaan jihad dan semua hal yang berkaitan erat dengan aktivitas jihad. Dengan demikian jihad dan semua hal yang berhubungan dengannya harus dibiayai dalam kondisi ada maupun tidak adanya harta di baitulmal. Jika tidak ada lagi harta di baitulmal, maka negara wajib menarik pajak dari kaum muslim yang mampu. Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, bahwa Rasulullah saw. pernah meminta kaum muslim yang mampu untuk membiayai jihad. Nabi saw. berkhutbah untuk mendorong kaum muslim untuk membiayai Pasukan al-Usrah.

Kedua, pembiayaan industri militer maupun pabrik-pabrik penunjangnya, yang memungkinkan negara memiliki industri persenjataan. Oleh karena itu, pendirian industri-industri militer dan penunjang jihad berhukum wajib, dan harus dibiayai baik ada harta ataupun tidak di baitulmal. Jika harta baitulmal tidak mencukupi, negara akan menarik pajak dari kaum muslim yang mampu saja.

Ketiga, pembiayaan bagi fakir miskin dan ibnu sabil. Pembiayaan terhadap mereka harus tetap dilakukan, baik di baitulmal terdapat uang maupun tidak. Jika di baitulmal tidak ada uang, maka kewajiban tersebut berpindah kepada kaum muslim. Karena pembiayaan terhadap fuqarâ, orang-orang miskin dan ibnu sabil telah diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslim dengan zakat, sedekah dan lainnya.

Keempat, pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan untuk kemaslahatan kaum muslim. Mereka berhak memperoleh gaji dari baitulmal atas pekerjaannya itu. Pembayaran gaji mereka merupakan kewajiban baitulmal yang bersifat tetap, baik ada harta maupun tidak. Jika di baitulmal tidak ada harta lagi, maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim.

Kelima, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemanfaatan dan kemaslahatan umat yang keberadaannya sangat dibutuhkan, dan jika tidak dibiayai akan menyebabkan bahaya (dharar) bagi umat. Misalnya, pembiayaan jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain. Pembiayaan untuk urusan-urusan tersebut bersifat tetap, baik di baitulmal ada harta ataupun tidak. Jika di baitulmal ada uang, maka dikeluarkan untuk membiayai sarana-sarana umum tersebut. Jika tidak ada, kewajiban itu beralih kepada umat.

Keenam, pembiayaan untuk keadaan darurat maupun bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi dan angin topan; atau pembiayaan untuk mengusir musuh. Pembiayaan untuk urusan-urusan ini tetap dilakukan walaupun peristiwanya tidak ada, bahkan termasuk pembiayaan yang bersifat tetap, harus dipenuhi baik ada harta maupun tidak ada di baitulmal.

Inilah kondisi-kondisi yang mewajibkan negara untuk memungut pajak dari kaum muslim. Selain kondisi-kondisi di atas, negara tidak boleh (haram) mewajibkan pajak.

Khatimah

Dengan demikian jelas, negara tidak boleh memungut pajak sebagai sumber pemasukan utama negara. Khilafah akan mengutamakan pengelolaan aset-aset kepemilikan umum, dan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat. Adapun pajak hanyalah pemasukan yang bersifat darurat, atau exit emergency. Masihkah mau bersahabat dengan negara pemalak atas nama pajak? []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama