Oleh Yuli Ummu Raihan
Aktivis Muslimah Tangerang


Al Zaytun kembali menarik perhatian publik. Pondok pesantren yang kontroversial sejak awal berdirinya seolah tidak pernah tersentuh meskipun telah banyak protes dan aduan yang dilakukan beberapa pihak. 

Ponpes yang disebut-sebut merupakan afiliasi dari Negera Islam Indonesia (NII) bahkan pernah dibahas dalam sebuah buku yang terbit 2011 lalu berjudul "Al Zaitun, the Untold Stories: Investasi Terhadap Pesantren Paling Kontroversial di Indonesia". Buku ini ditulis berdasarkan hasil investigasi Tim Peneliti Indonesian Institute for Society Empowerment terhadap ponpes yang berdiri sejak 1996 yang sekarang dipimpin oleh Abu Maarik alias Syamsul Alam alias Abdus Salam Alias Abu Toto atau yang lebih dikenal dengan nama Panji Gumilang. 

Di antara kontroversi yang muncul dari ponpes ini adalah pelaksanaan salat Idul Fitri yang diberi jarak antar makmumnya, bahkan ada jamaah perempuan antara saf laki-laki, mengaku bermazhab Soekarno, hingga salam Yahudi yang akhir-akhir ini viral di media sosial. 

Sebenarnya sejak lama sudah banyak pihak yang melaporkan kejanggalan atau penyimpanan yang terjadi di ponpes ini yaitu MUI dan Forum Ulama dan Umat Islam Indonesia (FUUI). 

Namun sayang Al Zaytun seperti menjadi anak emas sehingga berbagai aduan dan laporan seolah tidak digubris oleh pemerintah. 

Mirisnya beberapa elit pemerintahan justru memberi dukungan dan pujian kepada pondok pesantren terbesar dan termegah se-Asia Tenggara itu. Ponpes yang dibangun di kompleks seluas 1.200 hektar di Desa Mekarsari Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat ini.

Pada tahun 2002 lalu, Menteri Agama, Said Aqil Siraj membentuk tim investigasi yang terdiri dari MUI, LIPI, Depag, dan aparat keamanan untuk menyelidiki ponpes yang memiliki santri ribuan ini. Sayang investigasi ini berhenti di tengah jalan. Padahal saat itu telah ditemukan beberapa penyimpangan terhadap syariat Islam seperti kewajiban hijrah kepada NII, tebusan dosa dengan uang, mengutamakan ajaran NII ketimbang saqlat dan lainnya. 

Di ponpes ini juga ada pembagian santri luar dan santri dalam. Santri luar adalah para santri dari masyarakat umum, sedangkan santri dalam diduga mereka yang terkait dengan NII. 

Pada tahun 2009-2010 Al Zaytun juga kembali mencuri perhatian. Tapi sekali lagi Al Zaytun seolah tidak tersentuh karena sulitnya mencari akses masuk ke dalam pondok. 

Mengapa Al Zaytun Tidak Pernah Tersentuh?

Dengan semua kontroversi yang ditimbulkan, segala aduan dan laporan mengenai kesesatan yang terjadi di ponpes ini, mengapa ia tidak bisa ditindak? Benarkah Al Zaytun menjadi anak emas? 

Pemerhati politik M. Rizal Fadillah, dalam tulisannya berjudul "Tuntut dan Bubarkan Al Zaytun"  menuliskan bahwa dari sisi ideologi ponpes ini menjadi markas NII yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan NII (KW) 9. Pembiaran atas semua kesesatan yang muncul tentu membuat kita bertanya apakah memang Al Zaytun "binaan" pemerintah untuk memecah belah umat Islam? Atau ia adalah bagian dari "Operasi Intelijen"? Bahkan sekelas Kepala BIN sangat peduli dan pasang badan untuk ponpes ini. 

Dalam sistem politik sekuler hal ini sangat wajar terjadi. Semua bisa dilakukan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Apalagi belakangan tuntutan untuk menerapkan Islam secara kafah kian nyaring yang tentunya menjadi ancaman untuk rezim sekuler. 

Rezim sekuler akan melakukan segala cara agar kepentingan mereka tidak terusik. Salah satunya dengan membuat stigma negatif terhadap Islam dan mengebiri kekuatan umat Islam. Dibuatlah berbagai gerakan untuk menjaring potensi orang-orang yang radikal. Sebagian mereka dibuat seradikal mungkin dan sebagian yang lain dimoderatkan. 

Sejak orde baru negara ini dikenal sangat antipati terhadap Islam. Isu tentang bahayanya negara Islam, teroris, kelompok ekstrimis, radikal, dan sejenisnya terus disuarakan. Hal ini berhasil membuat umat terpecah belah bahkan ragu serta menjauh dari agama. Satu sama lain saling curiga, bahkan tidak sadar saling menjelekkan. 

Mirisnya ada sebagai umat Islam yang begitu mesra dengan umat lain, namun sangat garang terhadap saudara seiman. Mereka bahkan turut menjaga dan mengamankan tempat ibadah agama lain, sementara pengajian dibubarkan. Mereka mengelu-elukan nonmuslim dan menghina kaum muslimin termasuk ulama dan keturunan nabi. 

Atas nama toleransi dan HAM penyimpangan dibiarkan. Sementara mereka yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dicurigai, dikriminalisasi, bahkan diintimidasi. 

Dalam sistem sekuler penyimpangan dianggap sebagai sebuah perbedaan yang harus ditoleransi. selama tidak ada UU atau peraturan yang dilanggar maka tidak bisa ditindak. Atau ketika masyarakat tidak merasa terganggu dengan penyimpangan tersebut. 
Paradigma inilah yang membuat Al Zaytun tetap menjadi anak emas. 

Islam Menjaga Akidah Umat

Dalam Islam tidak ada pemaksaan agama. Namun, ketika seseorang telah menjadi seorang muslim ia terikat dengan aturan Islam. Islam juga memberikan kebebasan bagi nonmuslim untuk menjalankan agamanya. Negara Islam hadir untuk menjaga kebebasan ini dan penerapan syariat Islam di tengah-tengah umat. 

Selama berabad-abad umat Islam bisa hidup berdampingan dengan agama lain tanpa mengikis akidahnya. Dalam Islam tidak ada istilah toleransi untuk orang munafik dan perusak agama. Rasulullah saw. pernah memerintah untuk membakar Masjid Dhirar yang didirikan kaum munafik untuk membuat ragu kaum muslimin dalam beragama. Bahkan Abu Bakar memerangi Musailamah Al Khazab yang mengaku menjadi nabi palsu. Kaum Khawarij diperangi Ali bin Abi Thalib karena menyebarkan bid'ah di tengah masyarakat. Di Indonesia sendiri ada Sultan Fatah di Demak yang menghukum mati Syekh Siti Jenar yang mengajarkan kepercayaan menyatukan Allah dalam diri manusia (wihdatul wujud). 

Negara wajib menjaga akidah umat karena ia adalah perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. 

Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim dan Ahmad) 

Negara wajib mengurus semua urusan rakyat termasuk menjaga akidah dan agama mereka. Semua ini tentu hanya bisa terwujud jika Islam diterapkan secara kafah dalam sebuah institusi negara. Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama