Oleh Rita Rosita
Guru Raudhatul Athfal 


Begitu banyak kasus kekerasan, salah satunya kekerasan seksual, sungguh memilukan. berinisial R, seorang remaja berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, dilecehkan oleh hingga 11 laki-laki di tempat dan pada waktu yang berbeda. Peristiwa tragis ini bermula ketika pada tahun lalu R membawa bantuan dari Poso untuk korban banjir di Desa Toroe, Parimo. Namun naasnya, R bertemu dengan salah satu pelaku yang menjanjikannya pekerjaan di sebuah rumah makan.

Ternyata, bukannya memberikan pekerjaan, pelaku malah melecehkannya. Tidak berhenti sampai di situ, pelaku juga mengajak pelaku lain untuk melecehkan R. Mereka mengiming-imingi R dengan berbagai imbalan, seperti narkoba jenis sabu-sabu, termasuk mengancamnya dengan senjata tajam. Akibat pelecehan tersebut, R mengalami sakit di organ reproduksinya.

Pada Januari 2023, R menceritakan pelecehan yang ia alami kepada orang tuanya yang kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polres Parimo. Saat ini, kepolisian telah menetapkan para pelaku sebagai tersangka. (Detik, 28/5/2023)

Mirisnya, dari hasil penyidikan, beberapa pelaku merupakan sosok yang seharusnya mengayomi masyarakat, tetapi justru bertindak biadab. Salah satu pelaku (HST) adalah anggota Brimob dan menduduki jabatan perwira polisi. Pelaku lainnya adalah HR, seorang kepala desa, dan ARH, seorang ASN guru.

Lebih jauh lagi, ada dugaan bahwa kasus Parimo ini adalah prostitusi anak. Dugaan ini mencuat karena melibatkan banyak pihak dan ada iming-iming korban mendapatkan uang dan pekerjaan.

Kasus Parimo merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak terberat selama 2023 karena banyaknya pelaku dan dampaknya pada korban. Saat ini, korban mengalami infeksi akut pada alat reproduksinya hingga harus dilakukan operasi pengangkatan rahim. (BBC Indonesia, 31-5-2023). Kasus berat lainnya terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Korban (12) diperkosa oleh delapan orang pada waktu yang berbeda.

Dengan begitu banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data Kemen PPPA, pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus).

Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Pertama adalah aspek sanksi yang tidak menjerakan. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. (Kompas, 6/1/2022)

Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya dipenjara, bahkan realisasinya bisa sangat ringan. Banyak kasus menguap begitu saja jika publik tidak mengawal ketat. Hanya dengan modus pemberian sejumlah uang terhadap keluarga untuk berdamai, kasus bisa “hilang” tanpa penyelesaian secara hukum. Hal ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan selanjutnya ia maupun orang lain enteng saja melakukan kejahatan serupa karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya.

Aspek kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara para aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku.

Ketiga, buruknya pengaturan media massa. Pornografi dan pornoaksi banyak bergentayangan di medsos. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.

Keempat adalah buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.

Anak-anak pun tidak luput dari keburukan sistem ini. Mereka menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem sekuler, selama itu pula akan terus ada yang menjadi korban kejahatan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.

Kondisi ini jelas tidak boleh dibiarkan. Harus ada tindakan konkret untuk memutus rantai kejahatan, yaitu mengganti sistem sekuler dengan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam berasaskan akidah Islam sehingga keimanan dan ketakwaan menjadi dasar penyelesaian setiap masalah.

Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah bermaksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syara. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan non mahram selain dalam ikatan pernikahan. Praktik prostitusi akan dihilangkan sehingga tidak ada istilah “prostitusi legal”. Semua praktik prostitusi adalah haram.

Sistem media massa dalam Islam mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual. Sistem ekonomi dalam Islam pun menempatkan perempuan sebagai pihak yang dinafkahi sehingga mereka tidak perlu pontang-panting mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri hingga menempatkannya pada bahaya.

Pelaksanaan semua sistem tersebut akan mencegah terjadinya kekerasan seksual, termasuk terhadap anak. Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.

Dalam QS. An-Nur: 2, Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.

Adapun perkosaan atau rudapaksa  bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”

Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, yaitu bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan.

Demikianlah, hanya dengan penerapan Islam kafah kekerasan seksual terhadap anak bisa tercegah dan tersolusi hingga ke akarnya.
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama