Oleh Arda Sya'roni 


Hidup adalah sebuah pilihan, benar demikian? Ya, kehidupan memberikan kita berbagai pilihan yang harus kita pilih. Pilihan yang kita pilih tentunya akan membawa sebuah konsekuensi untuk dijalani dan tentunya ada sebuah resiko yang menyertai.

Manusia adalah makhluk sempurna dengan adanya akal dan hati nurani yang disertakan dalam penciptaannya. Dengan akal dan hati nurani manusia dapat mengolah informasi yang didapatkan dari apa yang dilihat, didengar, dirasa dan dibaca sehingga informasi itu menjadi sebuah pemahaman. Dan dengan akal itu pula manusia mampu untuk menimbang mana maksiat dan mana takwa, seperti tercantum dalam surat Asy Syams : 8, yaitu :

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”

Takdir dan Pilihan Hidup

Memang benar bahwa takdir Allah adalah sebuah kepastian yang kita tidak bisa merubahnya dan kita harus mengimaninya pula sebagaimana yang tercakup dalam Rukun Iman. Namun, takdir yang bagaimanakah?

Iman kepada Qadha dan Qadar dimana ketetapan Allah sudah tercatat di Lauh Mahfudz, yaitu tentang rezeki kita, kapan kita lahir, jodoh kita dan kapan kita mati. Hal-hal tersebut jelas tidak bisa kita hindari karena sudah sebuah ketetapan takdir Allah. Namun, bagaimana kita mati, rezeki kita, jodoh seperti apa yang akan kita dapati adalah sebuah hal yang bisa kita ubah melalui ikhtiar, doa dan amalan yang kita lakukan. Sesuai dengan firman Allah dalam  surat Ar Rad : 11 :

 إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Ibu dan Peradaban 

Di era saat ini dimana kemaksiatan merebak di berbagai penjuru, himpitan kehidupan menyerang dari segala sisi, dan semakin menjauhnya masyarakat dari penerapan aturan Allah, jelas semakin memperburuk kondisi kehidupan kita. Di sinilah kita diberikan pada dua pilihan, turut serta dalam memperburuk keadaan dunia ataukah berjuang untuk membalikkan keadaan dalam kondisi ketaatan sepenuhnya terhadap aturan Allah. 

Bila peradaban suatu bangsa bisa dirusak dengan merusak kaum ibu sebagai pencetak generasi, maka semestinya dari kaum ibu jua peradaban gemilang bisa diraih. 

Ibu sebagai madrasah pertama sekaligus madrasah utama bagi anak tentu diharapkan mampu memberikan pondasi kokoh pada tumbuh kembang anak. Melalui ibu yang cerdas dan shalihah tentu akan terlahir generasi yang tangguh, cerdas dan shalih pula. Bukankah buah  jatuh tak jauh dari pohonnya?

Ibu yang cerdas dan shalihah tentu tak dapat terbentuk secara instan. Ibu cerdas dan shalihah akan terbentuk melalui proses panjang yang tak mudah karenanya ibu harus selalu semangat dalam belajar dan memperbaiki diri terus dan terus hingga ajal memanggil. 

Sekarang pilihan ada di tangan kita, mau jadi ibu cerdas dan shalihah ataukah ibu yang hanya mencari sensasi agat menjadi viral?
Wallahualam bissawab. []

Sidoarjo, 10-10-23

Post a Comment

أحدث أقدم