Oleh Ranti Nuarita, S. Sos. 
Aktivis Muslimah


Maraknya korupsi di Indonesia sudah melampaui batas. Mengutip dari Antaranes.com, Kamis (9/11/2023) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI yakni Firli Bahuri menyatakan,  bahwa lembaga antirasuah tersebut sudah menangkap setidaknya sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir mulai  2003–2023.

Banyaknya koruptor yang ditangkap menggambarkan bobroknya sistem negara. Bahkan pembentukan lembaga anti korupsi pun tak mampu mencegah.  Padahal salah satu agenda dari reformasi ialah menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Faktanya setelah puluhan tahun berlalu, agenda ini tidak terlaksana dengan baik.

Sudah banyak sekali usaha untuk memberantas korupsi di Indonesia, mulai dari mengeluarkan berbagai peraturan hingga membentuk lembaga khusus. Adapun peraturannya antara lain,  diterbitkannya UU Nomor 31 tahun 1971, UU Nomor 31 tahun 1999, UU Nomor 20 Tahun 2001,  hingga dibentuknya lembaga independen khusus untuk menangani korupsi, yang tidak lain kita kenal dengan KPK.  Di mana dalam menangani kasus, KPK diberi kewenangan memperpendek jalur birokrasi serta proses dalam penuntutan. Artinya KPK mengambil sekaligus dua peranan yaitu tugas kepolisian juga tugas kejaksaaan.

Belum cukup sampai di situ di tahun 2005 pun dibentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak pidana korupsi (Timtas Tipikor) melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2005. Timtas Tipikor ini terdiri dari, Kejaksaan, kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan,  juga Pembangunan (BPKP) yang di mana lembaga tersebut diamanahkan untuk melakukan koordinasi antar lembaga dengan pelaksanaan dan wewenangnya masing-masing. Sayang seribu sayang meski sudah  dibuat berbagai macam peraturan, lembaga-lembaga di atas nyatanya belum mampu membuat gurita korupsi menghilang dari negeri ini.

Bukan tanpa alasan, mudahnya korupsi memang suatu keniscayaan dalam sistem sekularisme kapitalisme demokrasi.  Apalagi sistem ini berbiaya tinggi dan sarat kepentingan oligarki.  Tambah lagi adanya  keserakahan, rusaknya integritas abdi negara, para penguasa, belum lagi toleransi atas keburukan, serta lemahnya iman makin memudahkan korupsi.

Islam merupakan agama yang sempurna. Islam mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya urusan pemerintahan. Dalam pandangan Islam kekuasaan hakikatnya ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah Swt. (Al-Qu'ran dan hadis). Maka kepala negara (Khalifah) yang diangkat berdasarkan rida juga pilihan rakyat ialah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan hadis, pun para pejabat yang diangkat juga untuk melaksanakan pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunah Rasul-Nya.

Perlu diketahui dalam pemerintahan Islam pengangkatan kepala daerah juga pemilihan anggota majelis ummah/majelis wilayah berkualitas, amanah, dan tidak berbiaya tinggi. Alhasil pemilihan serta pengangkatannya bisa mendapatkan kandidat yang benar-benar berkualitas, amanah,  juga mempunyai kapasitas dan siap melaksanakan syariat sesuai petunjuk Al-Qur'an  dan sunah. Karenanya, maka secara mayoritas pejabat negara dalam pemerintahan Islam tidak melakukan kecurangan, seperti korupsi, suap dan lainnya. Meski demikian tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negara.

Belum cukup sampai di situ dalam sistem Islam harta-harta yang diperoleh sebab memanfaatkan jabatan juga kekuasaannya semisal suap, ataupun korupsi maka harta tersebut termasuk kedalam harta ghulul (harta yang diperoleh secara curang: korupsi, suap, mark up anggaran)  dan harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak dapat dimiliki dan haram tentunya.

Perbuatan korupsi itu sendiri dalam pandangan Islam sama dengan fasad, yaitu perbuatan yang merusak tatanan kehidupan manusia yang di mana pelakunya dikategorikan melakukan jinayat alkubra atau dosa besar. Islam dengan tegas melarang perilaku korupsi, sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Beliau Saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.”

Allah Swt. juga berfirman  dalam Al-Qur'an Al-Baqarah:188, yang artinya, ”Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud, agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Perilaku korupsi dapat menghalangi pelakunya untuk masuk surga, sebab seperti yang dijelaskan di atas harta hasil korupsi adalah harta haram.

Tentunya dalam sistem pemerintahan Islam terkait dalil-dalil larangan melakukan tindakan korupsi akan terus disosialisasikan kepada masyarakat melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Sehingga, masyarakat dalam negara yang menerapkan aturan Islam kafah  dapat menyadari bahwa akan ada pertanggungjawaban atas korupsi yang dilakukannya pada kehidupan di akhirat. Masyarakat pun akan diarahkan untuk memiliki kesadaran tinggi, bahwa ada pengawasan dari Allah Swt. Atas tindakannya yang merugikan orang lain.

Masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam  pun tidak akan ragu untuk melaporkan jika ada tindakan pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan pejabat tanpa takut adanya intimidasi dari pejabat tersebut.

Hal ini tergambar dalam sejarah sebagaimana ketika Umar bin Khattab selaku khalifah (pemimpin) pada masa Khulafaur Rasyidin dikritik rakyatnya, sebab melakukan penetapan terkait jumlah mahar yang harus diberikan seorang laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahinya. Umar menerima kritikan tersebut dengan baik, bukan malah bertindak sewenang-wenang kepada rakyat yang mengkritiknya.

Adapun jika tindakan korupsi tetap terjadi maka syariat Islam mengatasinya dengan memberikan hukuman atau sanksi yang tegas dan setimpal. Di mana hukuman untuk pelaku korupsi masuk kategori takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran sampai memberikan hukuman yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman tersebut  disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hlm. 78-89)

Pemberian hukum dalam sistem Islam tentunya tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akan tetapi, siapa pun yang melakukan pelanggaran terhadap syariat maka ia harus bersiap dengan konsekuensinya. Inilah yang menyebabkan kasus korupsi di masa kegemilangan Islam bisa ditekan, tidak seperti sekarang yang begitu menggurita.
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama