Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Bela Islam AMK


Setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Peringatan Hari Ibu (PHI) tahun 2023 ini mengusung tema Perempuan Berdaya, Indonesia Maju (CNN Indonesia, 17/12/2023). PHI sendiri sudah mulai dirayakan sejak berlangsungnya Kongres Perempuan Indonesia I, 22-25 Desember 1928. Kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum hawa di Nusantara menjadi pusat perhatian dalam kongres tersebut kala itu. Selanjutnya pada tahun 1959, 22 Desember diputuskan melalui Dekrit Presiden Nomor 316 sebagai Hari Ibu Nasional.

Siaran pers laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menyiarkan rangkaian PHI tahun ini diawali dengan pembagian 250 paket bantuan makanan oleh Menteri Kemen-PPPA Bintang Puspayoga kepada anak-anak di Kampung Pemulung Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok pada Kamis, 14 Desember 2023. Acara juga dibersamai dengan penyediaan layanan kesehatan gratis, cek gula darah. Agenda ini hasil kerja sama dengan Lions Clubs Jakarta Selatan Tulip Distrik 307-B1.     

Muncul pertanyaan, seperti apa perempuan yang berdaya itu? Benarkah perempuan berdaya akan menghantarkan negeri ini maju?

Ibu Berdaya: Mendulang Materi dan Aktif Berpolitik? 

Fakta yang bisa diindra hari ini betapa wanita berdaya dipandang dari seberapa banyak ia mampu mendulang materi. Maka, perempuan berdaya itu adalah mereka yang bekerja (sektor swasta maupun PNS), menjadi pebisnis, atau berwirausaha. 

Perempuan pun dianggap berdaya jika ia  berperan dalam politik praktis. Dengan masuk ke lingkup eksekutif menjadi penguasa setingkat lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden. Atau ketika berkiprah di ranah legislatif, menjadi anggota dewan baik di daerah hingga pusat. Pun di saat mereka bisa duduk di kursi yudikatif.

Lantas apa yang terjadi ketika perempuan telah berstatus sebagai seorang ibu? Sementara di pundaknya telah bertambah satu amanah yakni mengasuh, mendidik, dan membersamai anak-anaknya dalam menjalani kehidupan. Juga menghantarkan mereka ke gerbang kebahagiaan dan kemuliaan dunia akhiratnya. 

Peran ibu pada akhirnya kini mengalami pembajakan karena seharusnya ibu adalah pendidik generasi. Pendidik yang akan menghasilkan generasi masa depan cemerlang dan kuat. Betapa mirisnya hari ini kita dapati problem generasi yang bermunculan dalam  beragam aspek. Mulai dari seks bebas; persoalan narkoba; tawuran dan perundungan; pribadi rapuh yang dihinggapi stres, depresi, hingga mental illness; dll. 

Peran yang demikian mulia tersebut pada gilirannya terbelokkan karena sosok-sosok ibu disibukkan dengan urusan pemberdayaan diri yang justru melalaikan. Melalaikan peran utama dan mulianya mendidik generasi. Maka sungguh diperlukan adanya revitalisasi peran ibu sebagai pendidik generasi. Mengembalikan posisi ibu yang demikian mulia dan berharganya.

Kapitalisme Sekuler Membajak Peran Ibu

Kapitalisme yang dianut hari ini telah menghasilkan kemiskinan sistemik merebak di setiap penjuru negeri. Ketimpangan ekonomi yang ada bertambah parah ketika para suami kehilangan pekerjaan-pekerjaan mereka. Faktanya arus investasi bersamaan dengan dibukanya deal-deal yang merugikan negeri ini. Para investor asing berinvestasi bersamaan membawa pekerja-pekerja dari negara mereka. Di sisi lain tak sedikit dari industri-industri yang lebih membuka lowongan pekerjaan untuk perempuan dengan banyak alasan yang sesungguhnya tak masuk di akal. Maka terjadilah pertukaran peran ibu dan ayah yang pada gilirannya naluri fitrah yang dipaksa bertukar ini menghasilkan ragam problematik di tengah keluarga. 

Kapitalisme pun telah menyebabkan kesenjangan ekonomi yang tak terelakkan. Penguasaan harta terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu yakni para kapitalis. Negara dalam hal ini berperan sebagai regulator dalam membuat peraturan-peraturan yang nyata pro kapitalis, alih-alih pada rakyat luas.

Harta kekayaan alam yang semestinya dikuasai negara untuk dinikmati hasil dan kemanfaatannya bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, diserahkan ke tangan-tangan korporat swasta. Terlebih ketika negeri ini turut dalam permainan kapitalisme global, sehingga wajib tunduk pada telunjuk Barat dengan aturan pasar bebasnya. Jadilah pihak asing berdatangan dengan klaim investasi, dimana sesungguhnya berada pada posisi mengeruk kekayaan bangsa. Dalam waktu bersamaan rakyat dibiarkan merana, menjadi babu di rumah sendiri. 

Apalah daya, para ibu yang semestinya fokus mendidik generasi menghadapi kesulitan ekonomi yang makin menjadi. Ia pun terpaksa membagi fokusnya untuk bekerja demi dapur agar tetap ngebul.

Kapitalisme pula yang mendudukkan peraihan materi di atas segalanya. Para ibu lebih merasa berdaya dan terhormat ketika di tangannya ada materi, yang sanggup ia kumpulkan dari upayanya sendiri. Tanpa harus menunggu pemberian dari suami. Jargon-jargon menyesatkan semisal "wanita berdaya berdiri di atas kakinya sendiri” dan seterusnya telah membius para ibu untuk berkiprah di luar rumah. Urusan rumah, anak, dan keluarga hanya waktu, energi, dan perhatian sisa. 

Kondisi ini diperparah dengan asas sekularisme. Prinsip sekuler benar-benar menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan. Hasrat memenuhi hawa nafsu untuk menjadi pribadi berkuasa, ber-uang, terkenal mendominasi benak para ibu. Sebagiannya lagi ada di posisi tak berdaya keluar dari kungkungan kemiskinan sistemik yang memaksa mereka untuk tetap dalam lingkaran berdaya ala kapitalisme dengan tebusan anak dan keluarga terlalaikan. Bahkan sekularisme pula yang menjadikan para penguasa negeri menerapkan aturan yang bertentangan dengan agama (Islam). Dampak buruk yang menimpa keluarga sebagai inrtumen terkecil di masyarakat menjadi tebusan mahal dari berdayanya seorang ibu dalam bingkai kapitalisme sekuler. Akankah cita-cita Indonesia maju teraih?

Islam Memuliakan Posisi Ibu dan Memajukan Negara 

Sebagai agama yang sempurna, Islam mengatur setiap aspek persoalan kehidupan, tak terkecuali urusan memajukan sebuah negara. Dengan asas akidah Islam, kemajuan negara dipandang ketika mampu mengurus setiap urusan rakyat dengan diberlakukannya syariat Islam di dalam dan luar negeri.

Kemuliaan seorang ibu dalam Islam adalah ketika ia mampu membaktikan hidupnya menjadi pencetak generasi cemerlang. Baik generasi yang lahir dari rahimnya, juga generasi umat secara keseluruhan.

Perempuan dalam Islam dibolehkan untuk bekerja, tetapi tidak diposisikan wajib. Mereka dipersilakan untuk mempersembahkan ilmu dan skill yang dimiliki untuk kemaslahatan umat. 

Berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, termasuk ibu dan keluarga, Islam memiliki mekanisme khas yang tangguh. Penjaminan kebutuhan perempuan (para ibu) dan anak-anak dibebankan ke pundak laki-laki (suami). Jika suaminya tidak sanggup, penjaminan beralih pada ayahnya atau saudara laki-lakinya. Ketika jalur kerabat tidak ada yang mampu, negaralah yang menjaminnya. Negara dalam hal ini berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang luas dan memastikan iklim usaha yang kondusif bagi setiap rakyatnya.

Negara memastikan penjaminan tersebut dengan penerapan sistem ekonomi Islam bersamaan dengan sistem politik dan kehidupan lainnya. Sumber-sumber pemasukan yang banyak ragamnya, satu di antaranya adalah harta kekayaan alam yang melimpah akan mencukupinya. 

Kebutuhan rakyat secara komunal seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan negara yang menyelenggarakan dan menjaminnya. Dengannya, pendapatan di rumah tangga hanya akan terfokus pada pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan saja. Para ibu akan memiliki waktu yang cukup untuk fokus dalam perannya sebagai istri dan ibu. Lebih jauh, mereka juga akan fokus dalam berperan di tengah masyarakat, aktif berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar.

Dari pemaparan di atas, sudah jelas, bahwa untuk membawa Indonesia maju dibutuhkan sistem Islam kafah (menyeluruh). Kemuliaan ibu dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan pun niscaya akan teraih. Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama