Oleh Hani Iskandar
Ibu Pemerhati Umat
Ibu terkenal sebagai orang ternama yang melekat di hati dan pikiran keluarga. Tanpanya hari-hari terasa sepi, nasihat tulus, ocehan, omelan, kebawelannya pun begitu dirindukan karena penuh makna. Hanya di saat kita beranjak dewasalah baru bisa memahaminya.
Ibu adalah seseorang yang benar-benar tulus mencintai, melindungi, merawat, mendidik, dan mengarahkan anak-anaknya. Dari asuhan seorang ibu akan lahir jiwa-jiwa pemimpin, pejuang, pembangun peradaban yang akan melanjutkan estafet kehidupan. Singkatnya, ibu adalah ujung tombak kehidupan. Maju mundurnya suatu bangsa, baik buruknya suatu peradaban, ditentukan seberapa lihai dan terampilnya seorang perempuan dalam mencetak generasi-generasi setelahnya.
Setiap tahun, Peringatan Hari Ibu terus berulang, bahkan diperingati secara nasional. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Peringatan Hari Ibu tahun ke-95 tahun 2023 yang mengusung tema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju” menjadi momen khusus yang diharapkan menjadi inspirasi kepada semua pihak untuk terus mendukung perempuan dan menyadari peran mereka dalam mencapai kemajuan Indonesia.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga mengungkapkan, peringatan hari ibu yang bersamaan dengan periode politik persiapan pesta demokrasi 2024 merupakan momentum yang tepat untuk meningkatkan wawasan, kesadaran, dan sikap positif perempuan Indonesia tentang peran strategis perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik praktis, pemilu 2024. (kominfo.go.id, 22/12/2-23)
Kedudukan seorang perempuan masih dianggap penting dan strategis, tetapi mirisnya, hingga saat ini, belum ada satu pun pemahaman yang seragam bagaimana bentuk penghargaan untuk bisa menghargai dan mempresentasikan rasa bangga terhadap perempuan tersebut, mengapresiasi pengorbanannya, mendukung tabiat alamiahnya sebagai pendidik utama dan pertama bagi generasi.
Banyak yang berpendapat, bahwa salah satu penghargaan terhadapnya adalah dengan membuat para perempuan itu berdaya, terutama berdaya secara ekonomi dan politik. Perempuan yang mandiri dalam persfektif kapitalisme saat ini adalah perempuan yang mampu berkarya, bekerja, dan produktif secara finansial.
Dengan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan perempuan, diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh para perempuan sekarang ini seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, kekerasan terhadap perempuan, dan terpenuhinya hak-hak mereka di segala bidang.
Kiprah mereka di ranah publik, dianggap bisa mendongkrak dan menopang perekonomian negara. Tak heran jika saat ini, pemerintah berupaya memberdayakan perempuan dengan berbagai program pemberdayaan perempuan yang sebagian besar terfokus pada sektor ekonomi.
Menjamurnya pelatihan-pelatihan kewirausahaan, UMKM yang didominasi oleh para perempuan sebagai penggerak utamanya, juga dibukanya lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi perempuan di berbagai sektor, menjadi bukti betapa seriusnya pemerintah memfasilitasi para perempuan menjadi mitra terbaik bagi peningkatan perekonomian.
Sikap ulet, teliti, sabar, dan penurut, jarang protes, bahkan bersedia digaji berapa pun untuk pekerjaannya menjadi hal yang menarik bagi setiap perusahaan untuk lebih banyak mempekerjakan perempuan dibanding laki-laki.
Di sektor politik, kaum perempuan didorong untuk berkontribusi dalam kegiatan politik praktis, penambahan kuota bagi suara perempuan di parlemen dimaksudkan agar perempuan memiliki kiprah yang sama dalam menentukan arah kebijakan yang bisa membangun Indonesia ke arah yang lebih baik dan lebih berpihak pada perempuan dan generasi. Menyukseskan kampanye, menjadi panitia KPU, hingga mencalonkan diri sebagai caleg adalah hal lumrah bagi perempuan saat ini
Antara Pemberdayaan dan Eksploitasi "Perempuan"
Sekilas, Peringatan Hari Ibu (PHI) 2023 bertema “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju” sangat menarik dan menginspirasi, berharap hal ini sesuai dengan harapan dan kenyataan di lapangan. Bahwa ibu adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang harus dimuliakan, dilindungi, diayomi, pada faktanya sungguh jauh dari apa yang dicita-citakan.
Ibu yang seharusnya menjadikan ranah domestik (dalam keluarga) sebagai tempat utamanya berkiprah untuk mengasuh, mendidik, membersamai keluarga terutama anak di masa tumbuh kembangnya, kini menghadapi kenyataan hidup yang dilematis. Ia tak lagi menjadi tulang rusuk suaminya, tetapi kebanyakan berubah menjadi tulang punggung keluarga.
Banyak faktor yang menyebabkan ia terpaksa keluar rumah (berkarier di sektor publik), meninggalkan anak-anaknya dan menitipkan pengasuhan kepada pihak lain. Mulai dari faktor kebutuhan karena tidak ada yang menanggung nafkah, suami sulit mendapat kerja, lapangan pekerjaan terbuka lebar di banyak perusahaan bagi perempuan, atau karena ambisi meraih prestise yang digadang-gadang sebagai penyakit turunan dari sistem kapitalisme saat ini.
Sistem kapitalis yang diberlakukan melalui regulasi ketenagakerjaan, menjadi alat eksploitasi tenaga perempuan tanpa disadari. Banyak perusahaan dalam negeri, milik BUMN maupun swasta, lebih banyak membuka peluang usaha dan lapangan kerja untuk para wanita, karena selain tekun dan penurut, harga jasa dan tenaganya yang lebih murah daripada laki-laki.
Maka, beramai-ramailah perempuan bekerja menjadi buruh, menjadi pekerja karena tuntutan hidup. Walhasil, ibu jarang di rumah, pengasuhan tak terarah, terkadang menyebabkan rumah tangga yang tak sakinah. Anak-anak menjadi tidak terkendali, kehilangan arah, berbuat kenakalan d luar rumah, tawuran, minuman keras, narkoba, pergaulan bebas menjadi pelarian bagi mereka. Jika sudah begini, apakah mungkin sebuah bangsa memiliki kemajuan dan masa depan yang cerah? Sungguh ironis.
Islam Memuliakan Perempuan Sepanjang Waktu
Jika saat ini, Hari Ibu hanya diperingati satu tahun sekali. Namun Islam sebagai ideologi yang sempurna, justru memberikan penghargaan tiada terkira bagi wanita secara umum. Bukan temporer saat momen Hari Ibu semata tetapi setiap hari. Islam memerintahkan kita memuliakan semua wanita yang kita miliki, mulai dari ibu, adik, kakak, nenek, dan sebagainya dengan penyikapan yang luar biasa.
Islam memberikan hak dan kewajiban umum secara sama, baik kepada laki-laki maupun perempuan seperti perintah salat, zakat, haji, saum, menutup aurat, menuntut ilmu, berdakwah.
Islam pun memberikan hak kewajiban yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan, bukan semata karena diskriminasi, tetapi sesuai dengan fungsi biologisnya masing-masing. Ayah sebagai tulang punggung mencari nafkah, sementara ibu menjadi tulang rusuk yang menemani ayah dalam mengurus dan mendidik anak-anak di rumah.
Sejak awal, Islam menyatakan bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Sebagaiaman hadits Rasulullah Saw: “… surga itu berada di bawah telapak kakinya (ibu)” (HR. Imam Al Baihaqi). Karena ibu adalah madrasatul Ula, ia berhak mendapat penghormatan dari anak-anaknya. Ia pun berhak mendapatkan nafkah dari suaminya secara makruf.
Perempuan pun bisa berkiprah, mengembangkan karier, bekerja untuk mengamalkan ilmunya dengan sepenuh hati dan tanpa keterpaksaan untuk menghidupi keluarga. Karena sampai kapan pun, baginya bekerja di luar rumah adalah kebolehan, selama tanggung jawabnya di dalam rumah telah dilaksanakan dengan baik, pemberiannya terhadap keluarga dpandang sebagai sedekah. Islam mengatur kehidupan dalam rumah tangga, dalam masyarakat, dan dalam lingkup negara dengan mengeluarkan regulasi aturan yang memudahkan laki-lai dan perempuan mendapatkan kemuliaannya.
Perempuan akan kembali pada fitrahnya sebagai ibu yang terjamin segala kebutuhannya, sehingga ia mampu berkonsentrasi mencetak generasi-generasi calon pemimpin masa depan yang tangguh demi kemajuan yang mulia.
Wallahualam bissawab. []
Posting Komentar