Oleh Ummu Hilya 
Aktivis Dakwah Muslimah


Di tengah hiruk pikuk menjelang hari-H pesta demokrasi 2024, aroma pencitraan semakin kuat. Salah satunya pencitraan melalui program bantuan sosial (bansos) yang dinilai berjalan di atas uang rakyat.

Sungguh tak habis pikir, sudahlah rakyat menderita masih saja memanipulasi bansos yang merupakan hak kesejahteraan rakyat. Alih-alih memberikan bansos yang katanya itu murni bantuan rakyat, namun faktanya tidak demikian. Dan hal itu suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi, sistem politik warisan peradaban kuno Romawi.

Sistem demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku, ditambah pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya mahal, sehingga calon kontestan berlomba-lomba menarik suara rakyat dengan berbagai macam cara. Bahkan setiap ada peluang akan dimanfaatkan dalam merebut kursi kekuasaan, apalagi sistem ini rentan dengan dinasti kekuasaan.

Dan sistem demokrasi jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Apalagi terkait hajat hidup rakyat baik kesehatan, pendidikan, maupun kesejahteraan yang lain apabila tidak memakai aturan agama maka akan rusak. Seperti fakta distribusi biaya APBN untuk bansos lebih besar jelang pemilu daripada anggaran kesehatan. Pos belanja kesehatan dalam APBN 2024 ditetapkan Rp97,42 triliun. Sedangkan anggaran belanja bansos 2024 dinaikkan dari tahun sebelumnya menjadi Rp157,3 triliun. (Databoks Katadata, 1/2/2024)

Disamping itu, Presiden Jokowi memberikan alasan terkait penyaluran bansos yang masif di tahun politik 2024 karena memang ada kenaikan harga beras di seluruh negara bukan hanya Indonesia saja dan untuk memperkuat daya beli rakyat di tengah kenaikan harga pangan. Alasan ini makin diperkuat dengan pemberian sederet bansos sudah diberikan jauh-jauh hari sebelum pemilu 2024, sejak akhir tahun kemarin. Mulai dari bantuan pangan beras 10 kilogram, BLT El Nino Rp200.000/bulan, hingga yang terbaru BLT mitigasi risiko pangan Rp200.000/bulan. (Detik, 2/2/2024)

Inilah politik ala sistem demokrasi, masih banyak masyarakat yang masih belum merasa akan kondisi ini. Pasalnya, kesadaran politik yang rendah, pendidikan minim, dan kemiskinan yang menimpa, membuat masyarakat akan berpikir pragmatis sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Kemiskinan menjadi problem kronis negara. Negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar persoalan, bukan sekadar dengan pemberian bansos berulang, apalagi meningkat saat menjelang pemilu.

Kembali kepada Islam

Islam mengharuskan negara menjamin kesejahteraan dan keadilan rakyat individu per individu. Islam pun memandang kekuasaan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Rasulullah bersabda,

“Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syariat. Islam juga mencetak insan yang berkepribadian Islam, termasuk amanah dan jujur.

Negara pun akan mendidik rakyat dengan prinsip-prinsip Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat mempunyai kesadaran akan kriteria yang sahih seorang pemimpin. Seorang muslim yang menjadi pemimpin pun jelas berkualitas karena iman dan takwa kepada Allah serta memiliki kompetensi, tidak perlu pencitraan agar disukai.

Inilah fakta kepemimpinan tatkala berada dalam naungan Islam. Sudah saatnya umat sadar betapa pentingnya kembali kepada syariat Islam. Dengan kembali kepada Islam, kehidupan umat akan mulia dunia maupun akhirat. Dan Islam akan tegak apabila ada institusi yang menaunginya yakni Khilafah. Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama