Oleh Hawilawati, S.Pd
Muslimah Permata Umat


THR atau Tunjangan Hari Raya merupakan tradisi yang diberikan bagi buruh atau pekerja untuk memenuhi kebutuhan di hari raya. Hal ini pun sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Permenaker No.6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Kedua beleid itu mengatur antara lain sanksi berupa denda 5 persen bagi pengusaha yang terlambat membayar THR kepada pekerja/buruh. THR wajib dibayarkan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Denda tersebut pun  tidak menghilangkan kewajiban THR yang harus tetap dibayarkan ke pekerjanya. Dan jika pengusaha tidak membayarkan THR keagamaan, maka secara administratif akan diberikan sanksi teguran tertulis dan pembatasan kegiatan usaha.

Tentu dengan pembayaran THR tepat waktu, akan sangat membantu rakyat dalam memenuhi kebutuhan di hari raya. Namun saat ini THR menjadi polemik bagi pekerja, sebab besarnya THR tidak sesuai dengan ekspetasi awal karena diberlakukan pajak.

THR dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini memang merupakan bagian dari penghasilan yang dikenakan pajak dengan cara dipotong oleh perusahaan untuk di setorkan ke kas negara. Dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 Direktorat Jenderal Pajak (DJP), disebutkan bahwa penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai Tetap adalah seluruh penghasilan bruto yang diterima dalam satu bulan.

Penghasilan itu meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur maupun tidak teratur lainnya, termasuk uang lembur. Dan Bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, merupakan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur. Adapun THR kena pajak apabila jumlah yang diterima karyawan/pekerja tersebut di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yakni melebihi Rp4,5 juta sebulan atau Rp54 juta setahun. 

Dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini, pajak yang diambil dari rakyat, memang menjadi sumber pendapatan negara yang berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak di alokasikan untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan. Contoh fungsi pajak ini adalah menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya.

Tak dipungkiri keberadaan pajak saat ini yang diambil tetap oleh negara dari rakyat dari berbagai jenis pajak sangat dirasa menjadi beban rakyat. Untuk memenuhi kebutuhan primer saja (sandang, pangan dan papan, pendidik, kesehatan) rakyat masih berada dalam kesulitan. Sekalipun ada THR  pengeluaranpun juga semakin besar, bahkan bisa dikatakan kebutuhan pokok untuk hari raya lebih besar ketimbang nominal THR yang diterima karena dipotong pajak. 

Berbeda dalam sistem ekonomi Islam, yang diadobsi oleh kholifah, pajak disebut dhoribah yang akan dipungut jika baitul mal dalam keadaan pailit dan sifatnya insidental saja. Tak semua rakyat dibebankan pajak, hanya rakyat yang terkategori Aghniya (kaya) versi islam saja yang akan dikenakan pajak. Jika ternyata dana tersebut belum terpenuhi untuk  mengurusi rakyat, maka kholifah akan mengeluarkan kebijakan berikutnya yaitu menawarkan kepada siapapun bersedia untuk mendermakan hartanya kepada negara demi kemaslahatan hidup rakyat atau umat. 

Dalam sejarah kegemilangan Islam, kas Baitul Mal kosong pun hanya dalam kondisi tertentu, tidak setiap saat yang harus dibayarkan pajak oleh rakyatnya, Misal dalam keadaan peperangan, paceklik, wabah penyakit atau bencana alam yang dahsyat. Adanya kebijakan pajak  dalam daulah Islam, sebab negara dalam keadaan  terpuruk ekonominya, sehingga bukan hal yang dibanggakan dengan mengeluarkan kebijakan pajak. Justru bagaimana Kholifah beserta para diwan dan khubaronya membuat kebijakan selanjutnya untuk  menyehatkan kembali kondisi keuangan negara tanpa membebankan rakyatnya lagi. 

Sebagaimana qoul ulama besar Ibnu khaldun, seorang ilmuwan besar yang ahli di bidang ekonomi serta politik, bahwa "diantara tanda sebuah negara akan hancur, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya".

Sehingga  jika negara terus menerus mengambil pajak dari rakyat bertanda negara tersebut berada dalam kebangkrutan. Lalu, apa yang akan dibanggakan jika infrastruktur berdiri megah namun rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan, sebab pajak terus dibebankannya.

Berbeda dengan Islam, pajak  dipungut secara  insidental saja, Inilah sebuah keberhasilan sebuah negara menjalankam sistem ekonominya sehingga rakyat benar-benar merasakan kesejahteraannya. Dalam pembiayaan dan memajukan pembangunan negara tidak membebankan  rakyat, bahkan tidak  sampai rakyat terkena denda jika tidak membayar pajak sebab kesulitan ekonomi.

Dalam Islam pemasukan negara sangatlah banyak, inilah harta yang akan dikelola negara sebagai amanah Allah untuk meriayah (mengurusi) rakyat dalam memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan) dan pembangunan infrastruktur atau fasilitas umum.

Berdasarkan kitab Nizhamul Iqtishadi fiil Islam (Sistem Ekonomi Islam) karya berlian Syaikh Taqiyuddin An-nabahani  dalam Bab Baitul Mal. Adapun sumber pemasukan Baitul Mal adalah fai', ghanimah (harta yang diperoleh dari peperangan), anfal, kharaj, jizyah (diwajibkan bagi kafir dzimmy yang mampu) dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang dan harta zakat. 

Pengelolaan SDA berbagai jenis tambang  adalah aset penting negara, secara syar'i merupakan  harta milik rakyat, sehingga negara bertugas mengelolanya dan di kembalikan lagi keuntungannya untuk kesejahteraan rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga tidak ada rumus dalam sistem ekonomi Islam, SDA di kelola oleh kaum kapital atau investor asing, aseng atau swasta. Karena harta ini jumlahnya melimpah ruah, akan sangat berbahaya jika dikuasai segelintir orang hingga dimonopoli yang akan menghalangai rakyat hidup sejahtera.

Sekalipun negara sudah tidak memberlakukan pajak, negara akan terus memberlakukan wajib zakat baik zakat  Mal (yang akan diberikan untuk  ashnaf) dan zakat  fitrah bagi muslim yang mampu (yang akan diberikan untuk  fakir dan miskin dari kalangan kaum muslimiin). Serta mensupport untuk gemar bersedekah sebagai bentuk saling ta'awun sesama umat manusia. 

Demikianlah hebatnya ekonomi Islam yang dilegalkan negara, mangatur kesejahteraan rakyat tanpa membebankan bahkan membuat rakyat semakin hidup terhimpit. Saat ini rakyat hidup jauh dari layak bukan karena malas bekerja, tapi karena secara sistemik penghasilannya tidak cukup, sebab kebutuhan primer yang kian mahal dan yang seharusnya menjadi tanggungjawab penguasa, justru dibebankan kepada rakyat di tambah adanya berbagai pajak ini itu. 

Kita harus menyadari, karut marut dan kerterpurukan ekonomi saat ini bukan tanpa sebab, melainkan sistem ekonomi Kapitalisme yang masih melekat dalam tubuh negeri ini. Sudah seharusnya kebijakan negara merujuk kepada sistem ekonomi Islam dalam naungan khilafah Islam  yang mampu membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Wallahualam bisawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama